Anak Cerdas Istimewa di Indonesia Dibajak Singapura, Malaysia, Korea dan Amerika Serikat
Indonesia memiliki sekitar 1,3 juta anak usia sekolah yang berpotensi Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa (CIBI) atau kerap disebut ‘gifted-talented’. Sayangnya, baru 9.500 (0,7%) anak yang sudah mendapat layanan khusus dalam bentuk program akselerasi/ percepatan.
“Masih sangat banyak siswa CIBI belum memperoleh layanan pendidikan yang sesuai dengan potensi dan kebutuhan mereka,” kata Sekjen Asosiasi Penyelenggara, Pengembang, dan Pendukung Pendidikan Khusus untuk Siswa Cerdas Istimewa dan Berbakat Istimewa (Asosiasi CIBI) Nasional, Amril Muhammad di Jakarta, Selasa (14/12/2010).
Amril menambahkan seharusnya CIBI perlu mendapatkan akselerasi. Ada dua macam akselerasi yang dapat dilakukan, yaitu akselerasi kontens base dan grade base. Disebut akselerasi kontens jika siswa mampu menguasai bidang ilmu dengan baik. Sementara itu, akselerasi grade jenjang sekolah seperti siswa yang seharusnya sekolah tiga tahun, bisa dipersingkan menjadi dua tahun.“Mereka memiliki kecepatan menyerap lebih dari teman sebayanya,” papar Amir.
Perhatian khusus tidak dimaksudkan untuk melakukan diskriminasi, tetapi semata-mata untuk memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi siswa. Untuk program akselerasi misalnya, ini mencakup grade dan konten. Berdasarkan data tahun 2009, dari 260.471 sekolah, baru 311 sekolah yang memiliki program layanan khusus bagi anak CIBI.
Ia menyebutkan bahwa sejumlah ciri anak ‘gifted-talented’ dapat dikenali antara lain dari kecerdasan intelektualnya yang very superior. Seperti, skor IQ (Intelligence Quotient) 130 ke atas, dengan menggunakan skala Wechsler.
Saat ini ada 311 sekolah yang menyelenggarakan CIBI, di seluruh Indonesia dari 22 provinsi, baik sekolah negeri maupun swasta, serta 10 madrasah, dan yang terbanyak di Provinsi Jawa Timur.
Siswa Pintar Dibajak
Siswa CIBI biasanya diambil oleh perguruan tinggi dari negara luar, seperti dari Singapura, Malaysia, dan Amerika Serikat. Sekarang Korea Selatan juga mulai agresif. “Ada sekitar 300 orang lebih bibit unggul kita yang diambil oleh negara luar, karena mereka mampu memberikan iming-iming kesejahteraan melebihi dari kita,” kata Amir.
Amril menyebutkan bibit unggul yang diambil itu terutama berada di kota besar seperti Malang, Semarang, Jakarta, Bandung, dan Makassar. Bahkan di Singapura, mereka ditawari bekerja sampai usia 55 tahun, sehingga usia produktifnya habis baru dikembalikan ke Indonesia.
“Nah andaikan kita bisa melakukan yang terbaik untuk mereka, dipastikan Indonesia akan berkembang,” katanya.
Menurut dia anak pintar dan cerdas ini mendapat beasiswa dari negara asing, terutama jalurnya melalui jalur olimpiade-olimpiade. “Jadi kalau ada lomba olimpiade di luar negeri, kamar anak Indonesia dihampiri oleh agen-agen asing tersebut, untuk ditawari fasilitas dan segala macamnya,” terang Amir.
Sementara itu, perguruan tinggi di dalam negeri tidak melakukan pendekatan itu. Untuk menjawab permasalahan pembajakan tersebut perlu seluruh pemangku kebijakan melakukan program yang komprehensif bagi anak-anak berbebutuhan khusus ini.
Jenius Muda Indonesia yang “Dirawat” Singapura
Menjadi jawara Olimpiade Fisika di tingkat Asia rupanya tak otomatis bisa menikmati beasiswa untuk kuliah di perguruan tinggi terbaik di negeri ini. Pengalaman getir pada tahun lalu itu dialami Hendra Kwee, 30 tahun. Sebagai pembina di Yayasan Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), ia bermaksud membantu anak asuhannya agar bisa mendapatkan beasiswa di Institut Teknologi Bandung.
Namun Hendra hanya bisa terbengong-bengong ketika seorang pejabat Kementerian Pendidikan Nasional meminta agar si pelajar itu kuliah dulu, baru kemudian mengajukan beasiswa.“Kemampuan anak-anak jenius ini sungguh tak dihargai,” kata doktor fisika dari College of William and Mary, Virginia, Amerika Serikat, di kantor Yayasan TOFI pada 19 Mei 2010.
Ia tak habis mengerti, seorang peraih medali emas kompetisi pelajar tingkat Asia, yang sudah mengharumkan nama negara, harus berjuang sendiri untuk bisa kuliah di dalam negeri. Padahal universitas luar negeri mana pun, Hendra melanjutkan, akan menjamin seluruh biaya sejak murid itu mendaftar.
Apesnya lagi, penerima beasiswa di Tanah Air tak serta-merta bisa tenang. Ia ingat betul saat kuliah di ITB, 13 tahun lalu. “Teman saya yang menerima beasiswa harus berutang kanan-kiri karena pencairannya molor lima bulan,” katanya. Karena itu pula, Hendra ogah mengurus beasiswa untuk dirinya sendiri. Padahal ia adalah jawara olimpiade fisika pada 1996.
Entah berkaca pada pengalaman Hendra atau bukan, Winson Tanputraman, 17 tahun, pun lebih memilih kuliah di National University of Singapore (NUS) mulai Juni nanti. “Kampus itu menerima permohonan beasiswa saya,” kata peraih medali emas Olimpiade Fisika tingkat Asia di Thailand, 2009.
Iming-iming dari Negeri Singa itu memang lebih menggoda. “Semua biaya kuliah dan hidup saya ditanggung mereka,” ujar bekas murid SMAK 1 Penabur Jakarta Barat itu.
Yang lainnya, Mohammad Sohibul Maromi, peraih medali perak Olimpiade Fisika tingkat Asia di Taipei, Taiwan, 23-30 April 2010 lalu, sebetulnya sangat ingin kuliah di Singapura. Ia menyebut Nanyang Technological University (NTU) sebagai kampus idaman. “Tapi ibu saya sudah sepuh, kasihan kalau jauh,” kata Romi–panggilannya–yang baru lulus dari SMA I Pamekasan, Madura.
Sementara ini, remaja berkacamata yang mahir bermain gitar itu sudah diterima di Fakultas Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, melalui jalur penelusuran minat dan kemampuan. “Tapi akhir Mei saya akan coba ikut ujian di ITB untuk jurusan yang sama,”ujarnya.
Singapura memang salah satu negara tujuan kuliah pelajar Indonesia. Menurut Kepala Fungsi Perlindungan WNI di Kedutaan Besar Indonesia untuk Singapura, Fahmi Aris Inayah, ada sekitar 16 ribu pelajar Indonesia di negara pulau itu. “Mereka tersebar di berbagai kampus swasta dan negeri di sini,” katanya.
Kampus yang paling banyak menampung adalah NTU dan NUS. Kedua kampus ini masuk jajaran kampus top dunia, dan jawara di Asia. Dalam setahun, NTU dan NUS masing-masing menerima 120-an dan 80-an pelajar Indonesia.
Kampus-kampus di Singapura diketahui agresif memburu para pelajar berprestasi dari Indonesia. Mereka memiliki agen yang mendatangi sekolah-sekolah unggulan di kota-kota besar, untuk merayu para pelajar agar kuliah di Singapura.
Beasiswa yang ditawarkan, kata Hendra Wong, Ketua Pemuda Pelajar Indonesia Singapura, amat menggiurkan dibanding yang ditawarkan pemerintah Indonesia. Angkanya memang bervariasi. Tapi setidaknya sudah menutupi biaya kuliah, yang rata-rata bernilai Rp 112 juta per tahun.
Syaratnya, mereka ikut ujian masuk yang digelar di kota-kota yang ditentukan. Hendra menyebutkan, NTU biasa menggelar ujian masuk di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Magelang. Sedangkan NUS hanya menggelar ujian di Jakarta dan Medan.
Singapura mengikat para penerima beasiswa itu dengan kontrak bekerja di perusahaan milik negara itu selama tiga tahun. Meski setelah itu mereka bebas bekerja di mana saja, menurut Hendra Kwee, ini cara halus agar para jenius itu tetap mengabdi kepada Singapura.
Fahmi menyatakan pemerintah tidak bisa membatasi gerak-gerik pihak Singapura. “Karena (beasiswa itu) tidak ada paksaan,” katanya.
Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Djalal menjelaskan, prosedur beasiswa di Tanah Air mungkin terkesan birokratis. Tapi hal itu dilakukan karena beasiswa merupakan uang negara, dan pemerintah tak mau kecolongan. Sebab, ada kalanya terjadi si penerima beasiswa ternyata kuliah di kampus lain, atau bahkan tidak mengikuti kuliah sementara uang telah digelontorkan. “Uang-uang itu harus bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.
Alokasi dana beasiswa Kementerian Pendidikan Nasional tahun ini Rp 1,5 triliun untuk lebih dari 3 juta siswa dan mahasiswa kurang mampu. Kementerian juga telah menyiapkan Program Beasiswa Bidik Misi sebesar Rp 200 miliar untuk 20 ribu mahasiswa dari keluarga kurang mampu.
“Tidak ada biaya apa pun. Bebas pendaftaran, SPP, bebas biaya hidup, semuanya kami siapkan,” tutur Menteri Pendidikan M. Nuh kepada pers awal Januari lalu.
Ketua Yayasan TOFI Profesor Yohanes Surya mengaku geram terhadap oknum-oknum pemerintah yang menyepelekan pentingnya merawat para jenius muda kita. “Banyak oknum yang sok ngatur, tapi malah bikin kacau,” katanya.
Ia mengaku terpaksa turun takhta, tak lagi mencampuri keikutsertaan Indonesia di Olimpiade Fisika tingkat internasional tahun depan. Yohanes dipaksa hanya bisa mengikutkan anak didiknya di olimpiade tingkat Asia. Padahal selama ini fulus pemerintah tidak selalu mengalir untuk membuat murid-muridnya menjadi jawara. “Kami lebih banyak didanai sponsor,” ujarnya.
Fasli Djalal membantah pengabaian ini. Pemerintah, katanya, secara prinsip membuka tangan lebar-lebar untuk bekerja sama dengan orang semacam Yohanes Surya. Ada bantuan biaya berupa akomodasi sejak berangkat hingga mereka pulang ke Indonesia. “Kalau berangkat atas inisiatif sendiri, tidak kami bantu,” katanya.
Sumber: TEMPOinteraktif
2.000 WNI Jadi Warga Malaysia
Terkait Infrastruktur Jalan dan Fasilitas Umum
Sejak tahun 1997 sekitar 2.000 warga Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Bengkayang yang tinggal di daerah perbatasan Kalimantan Barat-Serawak memilih berganti kewarganegaraan menjadi warga negara Malaysia. Ini akibat kesenjangan infrastruktur dan fasilitas umum di perbatasan Indonesia-Malaysia tersebut.
Ketua Himpunan Kesejahteraan Masyarakat Perbatasan HR Thalib, pada 2 Juni 2010, mengatakan bahwa warga Kalimantan Barat yang berpindah wilayah dan kewarganegaraan itu sebagian besar berasal dari Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau. Sebagian lagi berasal dari beberapa desa di Kabupaten Bengkayang.
”Warga yang akan berpindah wilayah negara dan pindah kewarganegaraan jadi warga negara Malaysia kemungkinan masih akan terus bertambah. Sebab, sampai sekarang infrastruktur dan fasilitas umum di desa-desa itu masih sangat minim,” kata Thalib seraya mengingatkan, desa-desa yang disebutkannya di atas berbatasan langsung dengan Negara Bagian Serawak.
Menurut Thalib, beberapa kampung di Suruh Tembawang saat ini hanya bisa dijangkau dengan menggunakan alat transportasi sungai. ”Perjalanan dari Entikong (pintu lintas batas Kalimantan Barat-Serawak) ke sana lebih dari enam jam. Itu pun masih harus dilanjutkan dengan berjalan kaki tiga jam lebih,” ujarnya.
Fasilitas kesehatan, seperti puskesmas dan sekolah, juga memprihatinkan. ”Sebagian kampung kini makin sedikit penghuninya. Yang tinggal pun umumnya generasi tua. Generasi mudanya lebih memilih menjadi warga negara Malaysia,” kata Thalib.
Tak jauh dari kawasan perbatasan Kalimantan Barat-Serawak, di Malaysia hampir semua fasilitas umum dan infrastruktur tersedia dengan baik. ”Melihat infrastruktur yang seperti itu, mereka (penduduk Kalimantan Barat) pun akhirnya cenderung memilih pindah wilayah. Apalagi, daerah yang disasar tidak terlalu jauh dari kampung mereka,” kata Thalib.
Kepala Bagian Humas Provinsi Kalimantan Barat Numsuan Madsun mengakui, warga Kalimantan Barat yang berpindah wilayah dan kewarganegaraan itu terkait tuntutan perbaikan infrastruktur dan fasilitas umum. ”Pemerintah Kalimantan Barat sudah berkali-kali, bahkan dalam setiap kesempatan, meminta pemerintah pusat segera merealisasikan jalan paralel di wilayah perbatasan sepanjang sekitar 800 kilometer. Sayangnya, sampai hari ini permintaan itu belum terealisasi. Ironis memang,” kata Numsuan.
Ia menambahkan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat sangat bergantung pada kebijakan pemerintah pusat terkait masalah perbatasan mengingat hal itu menyangkut hubungan dua negara.
”Kami juga sudah berkali-kali meminta penambahan puskesmas. Tetapi, karena satu puskesmas minimal harus melayani 2.500 warga, sampai hari ini permintaan itu juga belum dipenuhi. Padahal, jumlah penduduk di satu lokasi yang berdekatan (dengan Serawak) tidak sampai 2.500 orang,” ujar Numsuan Madsun.
Sumber: Kompas, 3 Juni 2010
Mereka Pun Masih Kebingungan
Galang tak berhenti mengungkapkan rasa galaunya. Tanggapan yang diterima dari sebagian besar guru di sekolahnya, SMA 50 Jakarta Timur, tak pernah memuaskan hatinya. Bahkan, sebagian guru seolah mencibir prestasi yang dicapainya bersama lima temannya.
”Ya, kalau mau dibilang kecewa, saya kecewa juga sih. Guru bagian kesiswaan bilang, terus setelah ini apa, seolah tak peduli dengan prestasi yang kami raih,” kata Galang, salah satu anggota School Gate, tim yang akan mewakili Indonesia pada turnamen streetball di Brasil, pekan ini.
Galang, Gusti, Jumadi, Roland, Adit, dan Teo memenangi turnamen Nike Cup Indonesia yang digelar bersamaan dengan pelaksanaan Piala Dunia 2010. Mereka mengalahkan 320 klub dari seluruh Indonesia. Meski tidak secara resmi mewakili sekolah karena saat turnamen digelar telah dinyatakan lulus, mereka semua berasal dari SMA 50 Jakarta Timur.
”Mungkin karena tidak membawa nama sekolah, prestasi kami tidak dianggap. Padahal, sebelum tampil di turnamen ini kami sudah pamit kepada sebagian guru, termasuk kepada guru kesiswaan,” ujar Galang.
”Kepala sekolah menyatakan bahwa kami tidak mewakili sekolah. Kami dianggap sebagai alumni. Tetapi, apa pun kami kan tetap siswa SMA 50,” ujar Gusti, kapten tim School Gate, yang sudah diterima di Universitas Padjadjaran.
Belum habis kebingungan mereka akan kurangnya apresiasi dari sekolah terhadap pencapaian mereka, Adit kembali bingung menghadapi kenyataan dunia sepak bola Indonesia. ”Saya bingung bagaimana caranya masuk klub, menjadi pemain sepak bola profesional yang sebenarnya,” ujar Adit.
Kebingungan serupa dialami Galang, Jumadi, dan Teo. ”Kami ingin menjadi pemain sepak bola profesional, tetapi kami tidak tahu harus ke mana,” ujarnya.
Di tengah upaya PSSI mendatangkan pemain asing dengan kedok naturalisasi, rasanya lebih baik jika mereka mulai melirik dan membina pemain muda Indonesia asli. Tidak terbayangkan, bagaimana pemain naturalisasi itu akan berkiprah, sementara bakat-bakat melimpah, yang kita miliki, sama sekali tidak pernah disentuh PSSI.
Kebingungan mereka menjadi salah satu bukti, bagaimana PSSI tidak pernah mengurus talenta yang banyak itu. Para pemain School Gate makin membuka mata kita bagaimana ketidakpedulian PSSI memantau pemain muda Indonesia.
Di Brasil nanti, School Gate akan bertanding melawan wakil-wakil tim dari Malaysia, Singapura, dan Thailand dalam sebuah turnamen. Di samping itu, mereka akan mendapat sedikit pelatihan bagaimana bermain sepak bola yang benar dari para pelatih Brasil.
Sumber: Kompas, 5 Agustus 2010
Menembus Brunei, Gamang di Negeri Sendiri
Satu jam sebelum keberangkatan delegasi dari Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia ke Brunei dengan misi mengenalkan wayang menak Indonesia kepada masyarakat Brunei, Rabu (13/10), dalang wayang suket Ki Slamet Gundono melayangkan pesan singkat secara beruntun yang memuat kegalauannya akan eksistensi wayang di Tanah Air.
Ia melaporkan sejumlah insiden yang menimpa pementasan wayang kulit di beberapa daerah, terutama di sekitar Solo, Jawa Tengah, yang mendapat intimidasi dari kelompok orang yang mengatasnamakan agama.
”Kasus terakhir di Bekonang. Saat jejer wayangan, datang kelompok itu sehingga wayangan terpaksa berhenti, lalu terjadi nego. Karena dalang dan tuan rumah bertahan, wayangan tetap dilanjutkan. Ini juga terjadi di Forum Watak. Wayangan mereka anggap musyrik,” tulis Slamet Gundono dalam pesan singkatnya.
Ketua Dewan Kesenian Sukoharjo Joko Ngadimin menjelaskan, insiden di Desa Sembung Wetan, Bekonang, terjadi pada Sabtu (9/10) malam. Sekitar 300 orang ”mengamuk” setelah terpancing provokasi dari warga penonton wayang kulit. Pentas wayang sempat terhenti beberapa saat, tetapi bisa berjalan lagi.
Berbagai kalangan menilai aksi sweeping yang dilakukan oleh kelompok itu terhadap pergelaran wayang di berbagai daerah, baik di kota dan pedesaan di sekitar Solo belakangan ini, merupakan intimidasi terhadap bentuk ungkap budaya yang selama ini memiliki daya hidup di masyarakat.
Pengurus Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Senawangi) dan Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) yang menerima laporan spontan menyampaikan keprihatinannya. Ketua Umum Senawangi H Solichin meminta agar insiden-insiden yang menimpa dalang dan pentas wayang di daerah hendaknya dilaporkan berikut datanya secara rinci.
Ketua Pepadi Ekotjipto mengidentikkan aksi kelompok yang mengatasnamakan agama tersebut sebagai premanisme. ”Sekarang ini premanisme merebak di kalangan elite, baik yang berkedok agama, politik, maupun lainnya. Para dalang harus berani menghadapi premanisme seperti itu,” ujar Ekotjipto.
Sekretaris Jenderal Senawangi Amb Tupuk Sutrisno mengungkapkan, pihaknya telah melaporkan fenomena yang tengah merundung dunia pertunjukan wayang di Tanah Air itu kepada Sekjen Kementerian Agama Nazaruddin yang ditemui di Bandar Seri Begawan, Brunei, pekan lalu. ”Pak Nazaruddin berpesan agar persoalan ini tidak di-blow up. Kita juga diminta introspeksi karena menurut beliau, dalam kasus sweeping itu, sering kali didapati warga yang mabuk-mabukan dan bermain judi,” katanya.
Bayang kecemasan terhadap dunia wayang di Tanah Air itu sejenak terlupakan saat rombongan Senawangi menginjakkan kaki di Bumi Brunei. Di negeri yang menganut asas Melayu Islam Beraja ini, Senawangi sengaja ”menawarkan” pertunjukan wayang menak kepada rakyat Brunei (400.000 jiwa). Langkah ini sebagai tindak lanjut Sidang APA III di Manila, Februari 2010.
Brunei adalah satu-satunya negara, dari 10 negara anggota ASEAN, yang belum memiliki seni pertunjukan wayang. Pengertian ”wayang” di sini—disepakati oleh ASEAN Puppetry Asociation (APA) atau Asosiasi Wayang ASEAN—bukan hanya wayang kulit, tetapi juga wayang golek, wayang beber, atau seni pertunjukan boneka (marionnette), termasuk pertunjukan teater tradisional yang membawakan kisah wayang.
Di Brunei, pengertian ”wayang” adalah segala jenis teater, termasuk film. ”Pertunjukan wayang yang dibuat, seperti tayangan di televisi, biasanya sebagai media pendidikan untuk anak. Adapun wayang sebagai budaya tradisi, serta dipertunjukkan secara berkala seperti di Indonesia, belum terdapat di Brunei,” papar Dr Zefri Ariff, budayawan dari Angkatan Sasterawan dan Sasterawani Brunei (Asterawani) dalam Seminar Wayang ASEAN, di Dewan Bahasa dan Pustaka, Bandar Seri Begawan.
Pembicara lain dalam seminar adalah Prof Ghulam-Sarwar Yousof (Malaysia), Dr Suyanto (Indonesia), Prof Amihan Bonifacio-Ramolete (Filipina), dan Dr Chua Soo Pong (Singapura). Seminar yang diikuti pengenalan wayang menak oleh Didy Indriani Haryono dari Senawangi ini dibuka oleh Pejabat Menteri Kebudayaan, Belia dan Sukan, Datin Adina binti Othman.
Didy Haryono memaparkan, wayang menak yang memuat ajaran Islam berkembang di Jawa pada abad ke-17. Kisah menak diangkat dari ”Hikayat Amir Hamzah” yang populer di masyarakat Melayu. ”Menak artinya bangsawan atau ningrat. Ini berhubungan dengan sistem kerajaan yang berlaku di Jawa saat itu,” ujar Didy seraya menambahkan, karena itu jenis wayang menak cocok untuk dibawakan di Brunei mengingat pemerintahannya juga menganut sistem kerajaan (monarki absolut).
Tawaran dari Senawangi yang memilih wayang menak sebagai pertunjukan di Brunei, menurut Tupuk Sutrisno, sebagai ”perjalanan panjang menembus Brunei”. Dari Kedutaan Besar RI di Brunei, pihaknya memperoleh gambaran tentang kesulitan yang bakal dihadapi di Brunei mengingat masyarakatnya berpegang teguh pada nilai-nilai agama (Islam). Selain itu, semua pertunjukan untuk umum harus melalui prosedur sensor.
Sebagai prosedur awal, untuk pertunjukan wayang di Brunei itu, pihak Senawangi harus mengantungi ”surat kebenaran” atau semacam letter of trust. Surat sakti tersebut baru diterima Senawangi tiga hari menjelang keberangkatan ke Brunei. Dan, sebelum dipertunjukkan untuk umum pada Sabtu (16/10), baik wayang menak dengan lakon ”Amir Hamzah Berguru” serta wayang purwa dengan lakon ”Anoman Duta” mesti menjalani uji sensor yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri Brunei.
Ada delapan pegawai kementerian yang dikirim untuk menyaksikan pertunjukan wayang yang dibawakan oleh dalang Ki Junaedi (wayang menak) dan Ki Anton Surono (wayang purwa). Setelah 20 menit menyaksikan pergelaran, petugas sensor menyatakan wayang dari Indonesia itu lolos untuk dipertunjukkan.
Penonton yang hadir di Balai Sarmayuda, tempat pementasan, umumnya mengapresiasi pertunjukan wayang dari Jawa itu. Mereka tampak surprise ketika menyaksikan wayang purwa yang dibawakan Ki Anton Surono yang atraktif dengan dialog-dialog berbahasa Inggris berlogat Tegal, tetapi justru terasa komunikatif.
Sait Haji Jali, Dayangku Hj Fatimah, dan Pangiran Ratna Surya dari Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei menyatakan kekaguman mereka akan budaya wayang yang berkembang di Indonesia. ”Akan sangat sayang kalau budaya tradisi seperti ini punah,” ujar Sait.
Ketiganya tidak melihat wayang identik dengan budaya Hindu, atau sebagai media pemujaan terhadap dewa-dewa. ”Kalau dalam pertunjukan wayang itu didahului dengan mantra-mantra atau pakai sesaji dan membakar kemenyan sehingga orang menjauhi syariat agama, itu yang tidak boleh,” tutur Dayangku Hj Fatimah.
Ketua APA Brunei H Abdul Hakim bin H Moh Yassin mengatakan, setelah menyaksikan pertunjukan wayang dari Indonesia, kalangan budayawan akan mengkaji lebih lanjut bentuk wayang yang cocok diciptakan di Brunei. Tentang anggapan bahwa Pemerintah Brunei melarang pertunjukan boneka sebagai identik pemujaan kepada dewa, Zefri Ariff menjelaskan, larangan itu tidak seketat seperti disangkakan orang. Pasalnya, maskot ayam KFC atau Donald Bebek berbentuk patung pun bisa diterima di Brunei.
Respons positif serta apresiasi masyarakat Brunei terhadap wayang Indonesia itu melegakan dan merupakan sebuah kejutan bagi delegasi dari Senawangi. Namun, di Tanah Air, eksistensi kesenian wayang justru mendapat tantangan baru. Bukan karena transformasi sosial atau modernitas yang menggilas nilai-nilai luhur di dalam wayang, melainkan ”momok” yang lain.
Sumber: Kompas, 22 Oktober 2010