Asep Budiman: Sang Kolaborator Wayang & Keroncong
Kegelisahannya tersebut mendapat titik terang saat menonton dua pertunjukan yang digemari masyarakat, tetapi mulai terpuruk akibat perkembangan zaman, yaitu wayang dan keroncong.
Saat dia menonton pertunjukan wayang golek. Asep melihat raut kebosanan penonton saat wayang golek dimainkan. Tanpa improvisasi gerak dan dialog, pertunjukan wayang golek jadi membosankan. Kondisi serupa juga muncul saat ia melihat pertunjukan keroncong. Musik yang dikenal di Indonesia sejak abad ke-17 ini hanya disaksikan penonton berusia tua yang ingin bernostalgia.
”Saya berpikir, seperti apa kalau teater, wayang, dan keroncong menjadi satu? Kolaborasi ketiganya pasti memunculkan identitas seni baru dengan rasa lebih Indonesia,” katanya.
Setelah melakukan sejumlah penelitian kecil dan kolaborasi, Asep memunculkan genre baru seni asli Indonesia bernama wayang keroncong pada 2009 lewat lakon Cuk dan Cis. Dalam wayang keroncong, ia tak hanya menggunakan satu jenis wayang. Ia menggabungkan wayang golek, wayang orang, hingga wayang kulit.
”Ceritanya diambil dari berbagai sumber seni dan budaya bangsa Indonesia. Contohnya pertunjukan Bisma Roboh. Ceritanya terinspirasi kisah Mahabarata. Semuanya digabungkan menjadi satu kesatuan pertunjukan yang bisa dinikmati segala usia,” katanya.
Wayang Keroncong: Pada mulanya
Pada awalnya, wayang keroncong mengundang komentar ”miring” karena dianggap menabrak pakem dan lemah dalam penataan panggung. Ada anggapan wayang keroncong terlalu sesak karena dipenuhi berbagai unsur kesenian. Muncul pula pendapat, wayang keroncong itu pertunjukan tanpa aturan jelas dan berjalan sporadis.
”Saya anggap itu sebagai dukungan. Artinya, karya saya diperhatikan orang. Namun, sejak awal saya hanya ingin menjawab kritikan itu dengan karya nyata, tak sekadar pembelaan kata-kata,” katanya.
Atas dasar itu, Asep justru semakin rajin mempromosikan wayang keroncong bersama kelompok seni Behind The Actor ke berbagai tempat, dalam dan luar negeri. Pertengahan 2010 ia diajak berkolaborasi dengan musisi Dwiki Darmawan membawakan jazz wayang di pentas teater tiga kota di Italia, yaitu Roma, Napoli, dan Venesia.
Ketika tampil pada Festival Wayang Internasional di Vietnam, 5-9 September 2010, wayang keroncong menuai pujian dengan menyabet empat medali emas dari 15 kategori, yakni kategori Pertunjukan, Dalang, Desain Artistik Pertunjukan, dan Desain Pertunjukan.
”Kami ke Vietnam dengan biaya sendiri. Bahkan untuk ongkos pergi-pulang kami harus berutang, jumlahnya sekitar Rp 32 juta. Entah bagaimana caranya, tetapi utang harus dilunasi. Semua itu tak membuat saya dan teman-teman berhenti berkarya. Prinsipnya biar tekor asal sohor,” ujar Asep tertawa.
Darah Turunan Seniman
Darah kreatif Asep menurun dari ayahnya, pegawai negeri sipil yang juga pemimpin latihan sandiwara masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Ketertarikan Asep semakin mengental saat duduk di bangku SMA dan mendirikan Teater Kaper tahun 1989, yang hingga kini masih berdiri itu berhasil menjadi juara Festival Teater Remaja Jawa Barat tahun 1992. Kecintaannya pada teater berlanjut saat ia melanjutkan pendidikan ke Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI).
Ia sempat bergabung dengan beberapa kelompok teater seperti Payung Hitam (pimpinan Rachman Sabur), Republik (Benny Yohanes), dan Studiklub Teater Bandung (STB, pimpinan Suyatna Anirun). Beberapa karya sastra dan teater yang pernah dia ciptakan adalah Fatum (Takut Hujan) tahun 2006, Helego Herero (2005), Ibu (2005), dan saduran bebas karya Vincent Mahieu, Cuk dan Cis.
Di ASTI, ia memperdalam seni teater, belajar menari, dan memainkan gamelan. ”Proses yang saya jalani sejak SMA hingga duduk di bangku kuliah mengajarkan kepada saya bahwa keadaan yang memprihatinkan itu bisa membuat seseorang justru menjadi lebih rajin dalam melakukan beragam hal. Bukti nyata, saat bersama Behind The Actor, kami rajin melakukan pendalaman kesenian yang akhirnya menciptakan wayang keroncong.”
Setelah wayang keroncong dikenal banyak kalangan, tawaran pentas pun berdatangan. Pengundang biasanya tertarik dengan keberhasilan mengolaborasikan beberapa jenis kesenian tradisi menjadi sajian khas ala Indonesia. Tahun 2011 wayang keroncong akan tampil dalam Festival Kesenian Turki dan Festival Tong Tong di Belanda.
Selain itu, kolaborasi pun dilakukan antara lain dengan nama-nama besar di dunia wayang seperti Wayang Kulit Gaya Solo Sanggar Redi Waluyo dan Wayang Orang Bharata dengan lakon Pendidikan Karakter Pandawa.
”Indonesia itu punya beragam kebudayaan dan cerita rakyat yang belum tergarap oleh seni kontemporer. Bila bisa dikembangkan, akan banyak cerita asli dan khas Indonesia yang bisa menjadi inspirasi berkarya para seniman. Ibaratnya, kalau Inggris punya cerita Hamlet, Indonesia punya kisah Lutung Kasarung,” ujar Asep.
Sumber: Kompas, my.opera.com
No comments:
Post a Comment