Monday, February 8, 2010

Koran Tempo

Minggu, 18 Mei 2008

Tamu

Hadi Susanto
Kebangkitan Nasional Harus Dilakukan Setiap Hari

Tak banyak yang mengenal nama ini: Hadi Susanto. Ia tak
beredar di Tanah Air sejak awal milenium baru, hampir
sepertiga dari umurnya yang baru 29 tahun. Apalagi untuk
mendengar reputasinya sebagai salah seorang matematikawan
muda yang sedang memahat nama di jajaran legenda pakar
matematika dunia.

Bahkan para pembaca novel superlaris Ayat-ayat Cinta karya
Habiburrahman El-Shirazy pun tak akan menduga bahwa Hadi
Susanto yang menulis kata pengantar menarik di novel itu
adalah Hadi yang di umur 27 tahun meraih gelar doktor
matematika dari Universiteit Twente, Belanda, dan kini
mengajar di Nottingham, Inggris.

Lahir di sebuah desa kecil di Kabupaten Lumajang, Jawa
Timur, Hadi mencecap pendidikan di SDN Kunir Lor 1, SMPN
Kunir, dan SMAN 2 Lumajang. Saat di bangku SD, ia selalu
terpilih sebagai wakil sekolah dalam lomba cerdas cermat di
tingkat kabupaten. Anehnya, begitu bertanding nilainya
hampir selalu nol. “Saya selalu grogi melihat anak dari
sekolah lain yang selalu tampak keren dan bergaya,” katanya.

Kini dunia berbalik. Banyak yang “grogi” melihat prestasi
mahasiswa terbaik ITB tahun 2000 yang juga aktif berkiprah
di dunia sastra itu. “It is impossible to be a mathematician
without being a poet in soul,” ungkapnya mengutip Sofia
Vasilyevna Kovalevskaya (1850-1891),
matematikawan- cum-penyair Rusia perumus teorema
Cauchy-Kovalevsky.

Saat dikontak harian ini sebagai calon ?Tamu? berkaitan
dengan Hari Kebangkitan Nasional, pada awalnya Hadi menolak.
“Saya membaca wawancara Koran Tempo dengan Pak Anies
Baswedan (Rektor Universitas Paramadina– Red.) lewat kiriman
e-mail seorang teman. Saya tak sebanding dengan Pak Anies
untuk menjadi ?Tamu?,” katanya dengan suara lembut di
ujung saluran telepon internasional.

Akhirnya, Kamis lalu, calon ayah yang sedang menunggu
kelahiran anak pertamanya pada Juli depan ini bersedia juga
diwawancarai wartawan Tempo Akmal Nasery Basral setelah
berkorespondensi lewat surat elektronik dalam beberapa
kesempatan sebelumnya.

Mengapa menurut matematikawan muda yang 26 karya ilmiahnya
sudah muncul di sejumlah jurnal internasional itu
kebangkitan nasional tak akan terjadi jika hanya muncul dari
perayaan yang timbul setahun sekali? Petikannya:

Anda menyelesaikan kuliah dalam tiga tahun dan terpilih
sebagai Mahasiswa Terbaik ITB tahun 2000. Bagaimana
ceritanya?
Sebetulnya masa kuliah saya hampir empat tahun. Yang kuliah
saja memang tiga tahun, tapi memasuki tahun keempat saya
mendapat kesempatan mengunjungi Belanda selama delapan bulan
untuk mengerjakan TA (tugas akhir–Red.) di Universiteit
Twente (UT). Begitu diwisuda, saya diumumkan terpilih
sebagai penerima Ganesha Prize, Mahasiswa Berprestasi Utama
ITB, dengan hadiah mengunjungi Belanda lagi selama tiga
bulan. Oleh UT saya ditawari melanjutkan kuliah di sana.
Maka mulai Agustus 2001 saya mengambil program kombinasi
MSc/PhD untuk periode empat tahun.

Tapi, selesai PhD Anda tidak kembali ke Indonesia. Mengapa?
Selesai dari Twente saya melanjutkan studi postdoctoral di
Massachusetts, Amerika Serikat. Saya mendapat visiting
assistant professorship selama tiga tahun di University of
Massachusetts (UMass), Amherst. Kewajiban saya mengajar dua
kelas per semester selain tugas melakukan riset. Menjelang
selesai di UMass, saya kirimkan sejumlah aplikasi ke
universitas di Amerika Serikat dan Eropa. Akhirnya, sejak
Januari 2008 saya menjadi dosen di University of Nottingham,
Inggris. Mengapa saya tidak segera kembali ke Indonesia,
karena saya ingin memperdalam dulu bidang ini. Apalagi
sekarang istri saya sudah di sini. Juli mendatang, insya
Allah, anak pertama kami lahir.

Anda terlihat begitu mudah meniti karier. Berpindah-pindah
dari Belanda, Amerika Serikat, Inggris, sebagai doktor
matematika, padahal usia Anda belum lagi 30 tahun. Apakah
semua ini memang semudah yang terlihat?
Tidak. Dua tahun pertama saya kuliah di ITB, kondisi saya
sulit sekali. Saya tak bisa hidup hanya dari beasiswa, harus
kerja juga. Uang kerja dan beasiswa yang saya dapatkan
dibagi tiga: untuk kebutuhan saya di Bandung, keperluan
orang tua di Lumajang, dan biaya kuliah adik. Tiap
Sabtu-Minggu saya keliling hotel dan gedung resepsi di
Bandung bermodal pakaian rapi. Tanpa tahu siapa yang punya
hajat, saya masuk saja ke pesta orang-orang kaya, yang
penting bisa makan. Pernah juga setelah libur Lebaran,
ketika kembali ke Bandung saya tak punya cukup uang untuk
membeli karcis kereta ekonomi. Akhirnya, saya naik kereta
barang, duduk di lantai gerbong bersama sekitar 100-an
orang. Perjalanan sekitar 12 jam itu berlangsung malam hari
dan tanpa lampu di gerbong saya. Gelap sekali. Mungkin kalau
dituliskan bisa jadi Laskar Pelangi (judul novel karya
Andrea Hirata–Red. ) versi orang Jawa (tertawa kecil). Itu
beberapa contoh besar. Kalau penderitaan lainnya banyak
sekali.

Bagaimana Anda melewati masa-masa sulit itu untuk bersinar
di ITB?
Berkat dukungan dan doa banyak orang. Ketika dosen kuliah
agama Islam saya, Ustad Asep Zaenal Ausof, akan berangkat
umrah, saya datangi dia dan minta didoakan khusus. Saat itu
kehidupan saya sedang di bawah sekali. Usaha orang tua saya
yang berjualan kain dan baju di pasar bangkrut total. Kami
terjebak rentenir sehingga harus jual sawah, dan akhirnya
satu-satunya rumah yang kami punya persis menjelang saya
lulus SMA. Begitu lulus SMA, saya sudah memutuskan untuk
tidak kuliah, tapi keluarga saya, terutama ibu, tidak
setuju. Saya harus terus kuliah. Alhamdulillah, saya lulus
UMPTN dan diterima di ITB, tapi untuk membayar uang masuk
yang beberapa ratus ribu saja kami tak mampu. Akhirnya, saya
putuskan lagi untuk tidak mendaftar. Tapi ibu saya berjuang
terus sampai detik terakhir. Akhirnya ketika saya bisa
berangkat ke Bandung, dalam hati saya cuma ada satu tekad
untuk berhasil dan membahagiakan keluarga.

Apa yang menyebabkan Anda begitu tertarik untuk mendalami
matematika?
Sejak SD saya suka mengamati bagaimana angka-angka bisa
dimainkan dengan operasi-operasi yang saling berhubungan. Di
SMP saya mulai menyadari bahwa dasar dari fenomena alam di
sekitar kita bisa dirumuskan melalui matematika. Ketika
sesuatu sudah dituliskan ke dalam persamaan dan rumus,
sesuatu itu menjadi berada di tangan kita yang bisa kita
main-mainkan. Tapi pencerahan saya yang sebenarnya terjadi
di ITB ketika mengikuti ceramah agama yang disampaikan dosen
astronomi Pak Mudji Raharto. Beliau salah seorang astronom
yang sampai saat ini selalu menjadi rujukan dalam penentuan
awal dan akhir bulan Ramadan. Ada satu bagian dari
ceramahnya yang membuat saya terpana, bahwa alam semesta ini
juga bisa dirumuskan dalam formulasi matematika. Saat itu
saya berkata dalam hati, “Tuhan pasti ahli matematika!”
Sejak itu pula saya melihat dunia ini seperti tersusun dari
angka-angka. Mungkin seperti film The Matrix.

Tetapi mengapa bagi sebagian besar siswa Indonesia,
matematika jauh dari pengalaman yang menyenangkan seperti
yang Anda alami?
Matematika menjadi sesuatu yang menakutkan bagi mayoritas
siswa Indonesia karena pesan dari matematika itu sering
tidak sampai. Jika kita belajar matematika sebagai sebuah
hafalan, maka matematika menjadi tidak seksi lagi.
Mempelajarinya menjadi sesuatu yang memberatkan. Tapi jika
kita tahu bahwa yang dipelajari itu adalah, dan tidak lebih
dari, ?perumuman? dari masalah sehari-hari yang sudah
kita kenal, maka matematika akan menjadi sangat
menyenangkan. Di Indonesia ada beberapa matematikawan yang
menguasai betul bagaimana membuat matematika menjadi
menarik, misalnya almarhum Profesor Andi Hakim Nasution yang
dulu rutin mengisi kolom di harian Republika dan almarhum
Profesor Ahmad Arifin dari ITB.

Anda dikenal juga punya minat yang besar dalam sastra,
misalnya dengan menulis kata pengantar novel Ayat-ayat Cinta
karya Habiburrahman El-Shirazy yang kini merupakan film
terlaris di Tanah Air dari jumlah penonton. Puisi-puisi Anda
muncul di banyak antologi bersama. Bagaimana relasi antara
matematika dan sastra ini berkelindan dalam kehidupan Anda?
Sebetulnya saya kenal Ustad Abik (nama panggilan
Habiburrahman El-Shirazy– Red.) lewat internet. Saya waktu
itu di Belanda, beliau di Mesir. Kami bertemu di
pesantrenvirtual. com. Dari situ sering berdiskusi sastra.
Menurut saya hubungan matematika dengan sastra sangat dekat.
Untuk bisa menikmati keindahan matematika tidak hanya
diperlukan logika, tapi juga perasaan, seperti halnya seni.
Einstein mengatakan, “Pure mathematics is, in its way, the
poetry of logical ideas.”

Jadi seorang matematikawan pada dasarnya seorang penyair?
Kurang lebih. Dan itu bukan cuma pendapat Einstein. Sofia
Kovalevskaya, wanita pertama yang mendapat pendidikan formal
PhD di Eropa yang terkenal dengan teorema Cauchy-Kovalevsky,
juga seorang penyair. Dia bilang, “It is impossible to be a
mathematician without being a poet in soul.” Karl
Weierstrass, peletak dasar analisis matematika modern yang
juga mentor Sofia, membenarkan ungkapan muridnya dan
menambahkan, “It is true that a mathematician who is not
also something of a poet will never be a perfect
mathematician. ” Kalau kita percaya dengan ucapan Weierstrass
ini, maka saya paling tidak penggemar sastra, karena belum
bisa disebut sastrawan (tertawa).

Contoh-contoh yang Anda sebut itu dalam konteks apresiasi,
bukan? Bagaimana dalam konteks kreasi atau penciptaan karya
sastra?
Saya kira contohnya juga banyak. Bahkan Hadiah Nobel di
bidang sastra pun ada matematikawan yang memenangkannya.
Pada 1904, Hadiah Nobel untuk sastra diberikan kepada
dramawan dan matematikawan Spanyol José Echegaray. Pada
1950, Nobel Sastra juga diberikan kepada seorang
matematikawan, Bertrand Russell. Dua orang ini disebut
matematikawan karena mereka memang profesor matematika. Saya
mendengar rumor bahwa pada 1999 seorang matematikawan,
associate professor di University of New Mexico, Gallup,
juga sempat dinominasikan sebagai kandidat penerima Hadiah
Nobel sastra.

Apakah relasi yang akrab antara matematika dan sastra itu
juga terlihat di dunia Islam?
Ada, misalnya Omar Khayyam yang terkenal dengan
Rubaiyyat-nya itu. Selain sebagai penyair, Omar Khayyam juga
terkenal sebagai ahli matematika geometri yang mengoreksi
postulat Euklid. Dan saya kira tema-tema seperti ini harus
sering diperbincangkan.

Mengapa?
Saya lihat dunia anak muda di Indonesia terlalu banyak
dijejali dengan tayangan infotainment, seakan-akan menjadi
artis adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh agar
bisa sukses dan terkenal. Ditambah dengan program-program
pencari bakat yang menawarkan ketenaran instan yang tanpa
disadari sering kali menipu. Padahal dunia sains juga
menawarkan gaya selebritasnya sendiri, misalnya setelah buku
Sylvia Nasar A Beautiful Mind terbit, publik jadi
mengidolakan matematikawan John Nash Jr. (A Beautiful Mind
sudah difilmkan dengan judul sama, dibintangi oleh aktor
Russell Crowe sebagai John Nash Jr.–Red.) Bahan-bahan
seperti ini cukup banyak. Saya sendiri terinspirasi untuk
menulis polemik antara Sylvia Nasar dan Prof. Shing-Tung
Yau, salah seorang jenius matematika saat ini yang juga
aktif menulis puisi-puisi Cina. Konflik mereka sangat
menarik di dunia matematika, tak kalah hebohnya dengan
kisruh Maia-Dhani di televisi Indonesia (tertawa).

Seperti apa sih kalau selebritas matematika berseteru?
Konflik mereka dimulai ketika Nasar menulis artikel di The
New Yorker yang menuduh Shing-Tung Yau hendak mencuri kredit
atas usaha Grigori Perelman yang berhasil memecahkan satu
dari Millennium Prize Problems, yang untuk satu solusi dari
masing-masing problem berhadiah satu juta dolar. Dari sini
cerita yang menggemparkan dunia permatematikaan
internasional ini bergulir. Kisah ini, menurut saya, menarik
untuk dibaca anak-anak muda di Indonesia, selain buku-buku
matematika populer yang ditulis oleh mendiang Prof. Hans
Wospakrik. Intinya agar generasi muda kita tahu bahwa
pengertian idola dan selebritas itu bukan hanya dari
kalangan artis.

Jadi, Anda mengharapkan ada semacam kebangkitan nasional,
dari generasi muda khususnya, dalam memaknai masa depan?
Ketika kuliah di Bandung, saya melihat kebangkitan nasional
itu hanya motto belaka bagi kawan-kawan yang berasal dari
kalangan berada. Dan tidak mungkin perubahan besar yang
diharapkan dari kebangkitan nasional itu akan muncul jika
hanya dihasilkan oleh kesadaran yang muncul setahun sekali.
Menurut saya, kebangkitan nasional harus dilakukan setiap
hari, yaitu bangkit untuk bisa bermanfaat bagi orang banyak,
minimal orang-orang yang bisa saya jangkau dengan kedua
tangan saya, dengan membuat mereka bermanfaat pula bagi
orang-orang di sekitar mereka. Dengan saling menularkan
kebangkitan seperti ini, saya kira, arti kebangkitan
nasional itu baru menemukan maknanya.

Bagaimana Anda melihat perkembangan dunia matematika di
Indonesia sekarang?
Profesor Achmad Arifin pernah bilang, “Matematikawan,
khususnya aljabar, Indonesia masih berada pada taraf
memahami pekerjaan orang lain, belum pada tahap
mengembangkan. ” Saya kira pendapat ini benar. Lihatlah
bagaimana guru besar yang seharusnya menjadi ujung tombak
dan tolok ukur kualitas penelitian justru sering kali minim
kontribusinya di jurnal-jurnal internasional. Namun, sebagai
orang yang sejak lulus S1 sampai saat ini belum pernah
tinggal di Indonesia, saya merasa tidak punya hak lebih
untuk memberikan saran. Mesti begitu, saya tahu pasti ada
banyak dosen dan periset di Indonesia yang terus memegang
idealismenya. Mereka orang-orang yang sangat militan di
tengah segala keterbatasan dalam melakukan penelitian.
Pemerintah dan media massa harus membantu mereka.

Ada kisah-kisah yang lucu sebagai dosen matematika di luar
negeri?
Aksen bahasa Inggris di Nottingham ini kan berbeda dengan di
Massachusetts, jadi saya harus beradaptasi lagi ketika
mengajar. Nah, kadang-kadang begitu ada mahasiswa saya yang
bertanya, saya masih belum menangkap inti pertanyaannya,
jadi saya bilang, “Coba ulangi lagi?” Eh, mereka bilang
nggak jadi. Mungkin mereka pikir dosennya ini ngetes apakah
mereka yakin dengan pertanyaan sendiri atau tidak (tertawa).

* * *

Nama: Hadi Susanto
Tanggal lahir: Lumajang, 27 Januari 1979
Istri: dr. Nurismawati Maghfira

Pekerjaan:Dosen matematika di University of Nottingham,
Inggris

Pendidikan:
MSc dan PhD dari Universiteit Twente, Belanda
Sarjana Matematika ITB, Bandung

Penghargaan:
Ganesha Prize (Mahasiswa Terbaik ITB) 2000

Karya Sastra:
Puisi
Graffiti Gratitude (YMS/Angkasa Bandung, 2001)
Les Cyberletters: antologi puisi cyberpunk (YMS, 2005)
Dian Sastro for President #3 (On/Off Book & Insist Press,
2005)

Cerpen
Merah di Jenin (FBA Press, 2002)
Jika Cinta (Senayan Abadi, 2004)
Dari Negeri Asing (Syaamil, 2001)
Graffiti Imaji (YMS, 2002)

Esai
Cyber Graffiti (YMS/Angkasa Bandung, 2002) dan Cyber
Graffiti: edisi revisi (Jendela, 2004)

Karya ilmiah:
http://www.maths. nottingham. ac.uk/personal/ hs/

No comments: