Banyak orang yang bilang kalau merdekanya bangsa kita belum diimbangi dengan kemerdekaan rakyatnya. Kemerdekaan yang dimaksudkan di sini, juga yang sering menjadi pendapat kebanyakan orang mungkin adalah dalam hal kesejahteraannya. Nah, mumpung masih dalam momen-momen tujuhbelasan nih, bagaimana kalau kita semua belajar dan mengambil hikmah dari sosok ibu-ibu Jepang. Saya beranggapan bahwa sosok ibu, dari negara manapun dia berasal tentulah sangat berpengaruh bagi kemajuan bangsa tersebut.
Jepang adalah negara yang sudah kita kenal sebagai negara yang makmur. Walaupun mungkin sama sekali tidak sempurna. Karena di balik sisi kemakmurannya, sepertinya masih banyak juga hal-hal yang menjadi PR pemerintah & rakyat Jepang untuk segera di atasi. Tapi di sini saya tidak akan membicarakan sisi kekurangan Jepang tersebut. Melainkan saya akan berusaha mengajak teman-teman semua untuk sama-sama meneladani sifat-sifat positif penduduk Jepang, khususnya dalam hal ini adalah ibu-ibu Jepang.
Sekarang marilah kita lihat sama-sama gambaran kesejahteraan negara Jepang. Jika dilihat secara regional (seringkali dilakukan perbandingan antara AS, Uni Eropa, dan Jepang), Jepang sebenarnya adalah bangsa paling sejahtera di dunia. Dengan jumlah 126 juta jiwa, yang memiliki GDP tertinggi dunia sebesar US$ 4.760 milyar (GDP US$ 37.800 per kapita). Bandingkan dengan AFTA (AS, Kanada, Meksiko) dengan 411 juta jiwa dan GDP US$ 11.100 milyar (GDP US$ 27.000 per kapita). Uni Eropa (Austria, Belgia, Denmark, Finlandia, Irlandia, Italia, Luxemburg, Belanda, Portugal, Spanyol, dan Swedia) 376 juta jiwa US$ 7.837 milyar (GDP US$ 20.840 per kapita). Cina 1.266 milyar jiwa US$ 1.080 milyar (GDP US$ 853 per kapita). Asean (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunei, Vietnam, Laos, Myanmar, Kamboja) 548 juta jiwa US$ 646 milyar (GDP US$ 1.179 per kapita). (sumber data: METI Japan 2004).
Sebagaimana saya katakan di atas, bahwa ibu-ibu Jepang dapat dikategorikan sebagai salah satu faktor kesuksesan Jepang sekarang ini. Mengapa bisa demikian?
Pertama mari kita perhatikan data kualitas pendidikan di Jepang. Pada tahun 2001, 97,6% gadis Jepang tamat SMA. Sebanyak 48,5 % dari jumlah itu melanjutkan studinya ke jenjang D3 dan SI. Pria Jepang yang tamat SMA sebanyak 96,3%, dan yang melanjutkan hingga selesai D3-S1 sebanyak 48,7% (Sumber data: About Japan Series 5, Fact & Figure of Japan 2002, Foreign Press Center Japan). Dari data ini kita bisa simpulkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Jepang sudah tinggi, hampir 100 % sudah menamatkan SMA, baik wanita dan prianya, sama. Kesamaan tingkat pendidikan antara pria dan wanita Jepang ini juga ada di tingkat pendidikan tinggi, yang berarti separuh penduduk jepang berpendidikan tinggi. Juga, baik wanita dan prianya, sama.
Suatu hal yang menarik dari hasil pendataan yang kita lihat di atas adalah itu merupakan pencapaian hasil di saat sekarang ini. Kita pasti sama-sama bisa mengerti bahwa hasil yang dicapai saat ini adalah sesuatu yang diusahakan oleh mereka di masa lampau bukan? Menariknya, mereka, terutama ibu-ibu yang mendorong putra-putrinya agar selalu melanjutkan studinya itu adalah ibu-ibu yang mungkin usianya sekarang sudah di atas 50-60 tahun. Itu tandanya mereka adalah ibu-ibu Jepang yang justru saat itu hidup di tengah kondisi Jepang yang serba sulit. Mereka adalah ibu-ibu yang tetap semangat membesarkan putra-putrinya justru di tengah berkecamuknya perang dunia dan paham imperialisme yang dianut Jepang pada saat itu. Kita sama-sama tahu bahwa pada saat itu Jepang pernah mengalami kehancuran yang hebat akibat serang sekutu. Pada pertengahan Agustus 1945, kota Nagasaki dan Hiroshima dijatuhi bom atom. Kejadian itu bahkan hingga saat ini masih menyisakan luka yang amat mendalam bagi rakyat Jepang. Waktu itu, dunia memperkirakan bahwa ekonomi Jepang tidak akan pernah bangkit sampai 200 tahun. Tapi kita lihat buktinya sekarang, hanya dalam waktu 25 tahun setelah itu, Jepang kembali dapat memulihkan kondisi ekonominya.
Di Jepang, banyak sekali pola perilaku ibu-ibu Jepang dalam menjalani kehidupan berkeluarganya. Sementara para suami bekerja, para istri bertanggung jawab penuh atas pendidikan anak-anak mereka. Dalam kapasitas sebagai ibu inilah para istri membaktikan hidupnya demi kepastian keturunan mampu memasuki sekolah-sekolah bermutu.
Lalu apakah ibu-ibu Jepang sama sekali tidak bekerja membantu suami-suami mereka dalam mendapatkan penghasilan? Memang tidak 100% ibu-ibu Jepang membaktikan hidupnya hanya untuk mengurusi rumah tangga saja. Ada juga mereka yang tetap bekerja sebagai wanita karir. Tetapi yang perlu kita perhatikan di sini adalah ternyata jumlah ibu-ibu yang bekerja tiap tahunnya justru semakin menurun lho! Grafik pekerja wanita Jepang (usia menikah 27 tahun) yang keluar dari lapangan kerja (untuk membesarkan anak) justru malah terus meningkat.
Bagi saya, ibu-ibu Jepang memang luar biasa. Laki-laki Jepang (para suami) umumnya memiliki kebiasaan buruk suka mabuk-mabukan sehabis pulang kerja. Barangkali ini memang tidak dilakukan oleh seluruh pria Jepang, tetapi hal ini nampaknya sudah menjadi pemandangan yang hampir umum di Jepang. Para suami umumnya tipikal pekerja keras di kantornya. Jadi, untuk melepaskan ketegangan selama bekerja di kantor, biasanya mereka suka minum-minum sake bersama teman-teman sekantornya di warung-warung kaki lima pinggir jalan atau cafe-cafe. Jangankan mereka yang sudah menikah, mereka yang masih menjadi mahasiswa pun biasanya sudah memiliki kebiasaan buruk seperti itu. Akibatnya, setelah pulang, para istri lah yang selalu sibuk mengurusi suaminya yang pulang dalam keadaan mabuk. Tapi apakah mereka lalu marah-marah dan mengomel? Kenyataannya tidak. Suatu hari saya pernah mengantarkan teman yang mabuk pulang ke rumahnya. Saya khawatir setelah tiba di rumah istrinya akan marah-marah. Tapi ternyata apa yang saya lihat sangat berbeda dari anggapan awal saya. Sang istri membukakan pintu sambil tersenyum menyambut saya. Kemudian saya jelaskan bahwa suaminya dalam keadaan mabuk. Lalu istrinya pun langsung menggotong suaminya, membaringkannya di atas sofa, lalu melepaskan sepatu dan kaus kakinya satu persatu. Semuanya dilakukan sang istri dengan penuh kesabaran. Kemudian karena saya merasa tidak enak, saya pun bergegas pamit. Lalu istrinya pun mempersilahkan saya pulang sambil membungkuk ojigi dan mengucapkan berkali-kali ucapan terimakasih.
Jika di Barat ada anggapan bahwa perempuan berpendidikan akademis yang hanya tinggal di rumah membesarkan anak sebagai wasting her talents, di Jepang orang percaya, seorang ibu seharusnya berpendidikan baik dan berpengetahuan cukup untuk bisa memenuhi tugasnya sebagai pendidik anak-anaknya. Kalaupun ada ibu yang mencari nafkah, biasanya mereka hanya bekerja part time agar bisa berada di rumah saat anak-anak pulang sekolah. Tidak hanya untuk memberi makan, tetapi lebih-lebih membantu mereka menyelesaikan dan menguasai PR dan atau menemani mengikuti pelajaran privat demi penyempurnaan pendidikannya.
Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa perempuan Jepang membantu kemajuan ekonomi bangsa dengan dua cara, yaitu melalui proses akademis dan sosialisasi. Secara akademis, mereka berusaha belajar & bersekolah justru bukan untuk kepentingan karir diri mereka sendiri. Mereka bersekolah justru agar bisa mengajari anak-anak mereka lebih baik. Sedangkan aspek sosialisasinya, mereka mengajarkan anak-anak mereka bagaimana berperilaku sopan santun dalam kehidupan sehari-hari. Khusus tentang hal ini, saya teringat cerita dari pak Daud Yusuf. Di sebuah toko buku, beliau melihat seorang ibu sedang memilih-milih buku untuk anaknya, seorang murid SD. Ketika beliau sapa anak tersebut, anak itu menyadari bahwa pak Daud adalah orang asing, anak itu tegak kaku dengan tersenyum malu-malu. Kemudian ibunya datang mendekati dan menekan kepala anaknya agar membungkuk berkali-kali, sebagaimana layaknya orang Jepang memberi hormat, sambil mengucapkan sesuatu yang lalu ditiru anaknya.
Ketika pertama kali teman saya berkunjung ke sebuah SMK di Jepang, mereka kagum dengan kebersihan ruangan bengkel praktik di sana. Apa yang terbayang dengan suasana bengkel kalau di Indonesa? Pastinya banyak ceceran oli di mana-mana kan ya. Tapi tidak demikian dengan bengkel di SMA tersebut. Dari rumah mereka memakai sepatu untuk ke sekolah. Lalu setelah tiba di kelas, mereka mengganti sepatu mereka dengan sendal jepit yang sudah disediakan sekolah untuk memasuki ruangan. Jadi dengan demikian ruangan kelas pun akan tetap bersih. Ketika saya tanya ke gurunya, apakah guru-guru di sini yang mengajari agar mereka berperilaku seperti itu? Lalu gurunya menjawab, bahwa para guru di sini tidak pernah mengajari mereka seperti itu. Justru ibu-ibu para siswa lah yang mengajari mereka sejak mereka masih kecil.
Jadi, perempuan Jepang ternyata berperan positif dalam membina dan mempertahankan kekukuhan pondasi pendidikan dan sosial yang begitu vital bagi kinerja kebangkitan ekonomi bangsanya. Merekalah yang membantu perkembangan ekonomi yang luar biasa dari bangsanya sesudah Perang Dunia. Kerja dan pengaruh perempuan Jepang dapat dilihat dalam jalannya pendidikan nasional dan stabilitas sosial, yaitu dua hal yang sangat krusial bagi keberhasilan ekonomi sesuatu bangsa. Semoga para ibu dan calon ibu Indonesia dapat mengambil hikmah dari sikap positif yang dicontohkan ibu-ibu Jepang ya!
Jepang adalah negara yang sudah kita kenal sebagai negara yang makmur. Walaupun mungkin sama sekali tidak sempurna. Karena di balik sisi kemakmurannya, sepertinya masih banyak juga hal-hal yang menjadi PR pemerintah & rakyat Jepang untuk segera di atasi. Tapi di sini saya tidak akan membicarakan sisi kekurangan Jepang tersebut. Melainkan saya akan berusaha mengajak teman-teman semua untuk sama-sama meneladani sifat-sifat positif penduduk Jepang, khususnya dalam hal ini adalah ibu-ibu Jepang.
Sekarang marilah kita lihat sama-sama gambaran kesejahteraan negara Jepang. Jika dilihat secara regional (seringkali dilakukan perbandingan antara AS, Uni Eropa, dan Jepang), Jepang sebenarnya adalah bangsa paling sejahtera di dunia. Dengan jumlah 126 juta jiwa, yang memiliki GDP tertinggi dunia sebesar US$ 4.760 milyar (GDP US$ 37.800 per kapita). Bandingkan dengan AFTA (AS, Kanada, Meksiko) dengan 411 juta jiwa dan GDP US$ 11.100 milyar (GDP US$ 27.000 per kapita). Uni Eropa (Austria, Belgia, Denmark, Finlandia, Irlandia, Italia, Luxemburg, Belanda, Portugal, Spanyol, dan Swedia) 376 juta jiwa US$ 7.837 milyar (GDP US$ 20.840 per kapita). Cina 1.266 milyar jiwa US$ 1.080 milyar (GDP US$ 853 per kapita). Asean (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunei, Vietnam, Laos, Myanmar, Kamboja) 548 juta jiwa US$ 646 milyar (GDP US$ 1.179 per kapita). (sumber data: METI Japan 2004).
Sebagaimana saya katakan di atas, bahwa ibu-ibu Jepang dapat dikategorikan sebagai salah satu faktor kesuksesan Jepang sekarang ini. Mengapa bisa demikian?
Pertama mari kita perhatikan data kualitas pendidikan di Jepang. Pada tahun 2001, 97,6% gadis Jepang tamat SMA. Sebanyak 48,5 % dari jumlah itu melanjutkan studinya ke jenjang D3 dan SI. Pria Jepang yang tamat SMA sebanyak 96,3%, dan yang melanjutkan hingga selesai D3-S1 sebanyak 48,7% (Sumber data: About Japan Series 5, Fact & Figure of Japan 2002, Foreign Press Center Japan). Dari data ini kita bisa simpulkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Jepang sudah tinggi, hampir 100 % sudah menamatkan SMA, baik wanita dan prianya, sama. Kesamaan tingkat pendidikan antara pria dan wanita Jepang ini juga ada di tingkat pendidikan tinggi, yang berarti separuh penduduk jepang berpendidikan tinggi. Juga, baik wanita dan prianya, sama.
Suatu hal yang menarik dari hasil pendataan yang kita lihat di atas adalah itu merupakan pencapaian hasil di saat sekarang ini. Kita pasti sama-sama bisa mengerti bahwa hasil yang dicapai saat ini adalah sesuatu yang diusahakan oleh mereka di masa lampau bukan? Menariknya, mereka, terutama ibu-ibu yang mendorong putra-putrinya agar selalu melanjutkan studinya itu adalah ibu-ibu yang mungkin usianya sekarang sudah di atas 50-60 tahun. Itu tandanya mereka adalah ibu-ibu Jepang yang justru saat itu hidup di tengah kondisi Jepang yang serba sulit. Mereka adalah ibu-ibu yang tetap semangat membesarkan putra-putrinya justru di tengah berkecamuknya perang dunia dan paham imperialisme yang dianut Jepang pada saat itu. Kita sama-sama tahu bahwa pada saat itu Jepang pernah mengalami kehancuran yang hebat akibat serang sekutu. Pada pertengahan Agustus 1945, kota Nagasaki dan Hiroshima dijatuhi bom atom. Kejadian itu bahkan hingga saat ini masih menyisakan luka yang amat mendalam bagi rakyat Jepang. Waktu itu, dunia memperkirakan bahwa ekonomi Jepang tidak akan pernah bangkit sampai 200 tahun. Tapi kita lihat buktinya sekarang, hanya dalam waktu 25 tahun setelah itu, Jepang kembali dapat memulihkan kondisi ekonominya.
Di Jepang, banyak sekali pola perilaku ibu-ibu Jepang dalam menjalani kehidupan berkeluarganya. Sementara para suami bekerja, para istri bertanggung jawab penuh atas pendidikan anak-anak mereka. Dalam kapasitas sebagai ibu inilah para istri membaktikan hidupnya demi kepastian keturunan mampu memasuki sekolah-sekolah bermutu.
Lalu apakah ibu-ibu Jepang sama sekali tidak bekerja membantu suami-suami mereka dalam mendapatkan penghasilan? Memang tidak 100% ibu-ibu Jepang membaktikan hidupnya hanya untuk mengurusi rumah tangga saja. Ada juga mereka yang tetap bekerja sebagai wanita karir. Tetapi yang perlu kita perhatikan di sini adalah ternyata jumlah ibu-ibu yang bekerja tiap tahunnya justru semakin menurun lho! Grafik pekerja wanita Jepang (usia menikah 27 tahun) yang keluar dari lapangan kerja (untuk membesarkan anak) justru malah terus meningkat.
Bagi saya, ibu-ibu Jepang memang luar biasa. Laki-laki Jepang (para suami) umumnya memiliki kebiasaan buruk suka mabuk-mabukan sehabis pulang kerja. Barangkali ini memang tidak dilakukan oleh seluruh pria Jepang, tetapi hal ini nampaknya sudah menjadi pemandangan yang hampir umum di Jepang. Para suami umumnya tipikal pekerja keras di kantornya. Jadi, untuk melepaskan ketegangan selama bekerja di kantor, biasanya mereka suka minum-minum sake bersama teman-teman sekantornya di warung-warung kaki lima pinggir jalan atau cafe-cafe. Jangankan mereka yang sudah menikah, mereka yang masih menjadi mahasiswa pun biasanya sudah memiliki kebiasaan buruk seperti itu. Akibatnya, setelah pulang, para istri lah yang selalu sibuk mengurusi suaminya yang pulang dalam keadaan mabuk. Tapi apakah mereka lalu marah-marah dan mengomel? Kenyataannya tidak. Suatu hari saya pernah mengantarkan teman yang mabuk pulang ke rumahnya. Saya khawatir setelah tiba di rumah istrinya akan marah-marah. Tapi ternyata apa yang saya lihat sangat berbeda dari anggapan awal saya. Sang istri membukakan pintu sambil tersenyum menyambut saya. Kemudian saya jelaskan bahwa suaminya dalam keadaan mabuk. Lalu istrinya pun langsung menggotong suaminya, membaringkannya di atas sofa, lalu melepaskan sepatu dan kaus kakinya satu persatu. Semuanya dilakukan sang istri dengan penuh kesabaran. Kemudian karena saya merasa tidak enak, saya pun bergegas pamit. Lalu istrinya pun mempersilahkan saya pulang sambil membungkuk ojigi dan mengucapkan berkali-kali ucapan terimakasih.
Jika di Barat ada anggapan bahwa perempuan berpendidikan akademis yang hanya tinggal di rumah membesarkan anak sebagai wasting her talents, di Jepang orang percaya, seorang ibu seharusnya berpendidikan baik dan berpengetahuan cukup untuk bisa memenuhi tugasnya sebagai pendidik anak-anaknya. Kalaupun ada ibu yang mencari nafkah, biasanya mereka hanya bekerja part time agar bisa berada di rumah saat anak-anak pulang sekolah. Tidak hanya untuk memberi makan, tetapi lebih-lebih membantu mereka menyelesaikan dan menguasai PR dan atau menemani mengikuti pelajaran privat demi penyempurnaan pendidikannya.
Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa perempuan Jepang membantu kemajuan ekonomi bangsa dengan dua cara, yaitu melalui proses akademis dan sosialisasi. Secara akademis, mereka berusaha belajar & bersekolah justru bukan untuk kepentingan karir diri mereka sendiri. Mereka bersekolah justru agar bisa mengajari anak-anak mereka lebih baik. Sedangkan aspek sosialisasinya, mereka mengajarkan anak-anak mereka bagaimana berperilaku sopan santun dalam kehidupan sehari-hari. Khusus tentang hal ini, saya teringat cerita dari pak Daud Yusuf. Di sebuah toko buku, beliau melihat seorang ibu sedang memilih-milih buku untuk anaknya, seorang murid SD. Ketika beliau sapa anak tersebut, anak itu menyadari bahwa pak Daud adalah orang asing, anak itu tegak kaku dengan tersenyum malu-malu. Kemudian ibunya datang mendekati dan menekan kepala anaknya agar membungkuk berkali-kali, sebagaimana layaknya orang Jepang memberi hormat, sambil mengucapkan sesuatu yang lalu ditiru anaknya.
Ketika pertama kali teman saya berkunjung ke sebuah SMK di Jepang, mereka kagum dengan kebersihan ruangan bengkel praktik di sana. Apa yang terbayang dengan suasana bengkel kalau di Indonesa? Pastinya banyak ceceran oli di mana-mana kan ya. Tapi tidak demikian dengan bengkel di SMA tersebut. Dari rumah mereka memakai sepatu untuk ke sekolah. Lalu setelah tiba di kelas, mereka mengganti sepatu mereka dengan sendal jepit yang sudah disediakan sekolah untuk memasuki ruangan. Jadi dengan demikian ruangan kelas pun akan tetap bersih. Ketika saya tanya ke gurunya, apakah guru-guru di sini yang mengajari agar mereka berperilaku seperti itu? Lalu gurunya menjawab, bahwa para guru di sini tidak pernah mengajari mereka seperti itu. Justru ibu-ibu para siswa lah yang mengajari mereka sejak mereka masih kecil.
Jadi, perempuan Jepang ternyata berperan positif dalam membina dan mempertahankan kekukuhan pondasi pendidikan dan sosial yang begitu vital bagi kinerja kebangkitan ekonomi bangsanya. Merekalah yang membantu perkembangan ekonomi yang luar biasa dari bangsanya sesudah Perang Dunia. Kerja dan pengaruh perempuan Jepang dapat dilihat dalam jalannya pendidikan nasional dan stabilitas sosial, yaitu dua hal yang sangat krusial bagi keberhasilan ekonomi sesuatu bangsa. Semoga para ibu dan calon ibu Indonesia dapat mengambil hikmah dari sikap positif yang dicontohkan ibu-ibu Jepang ya!
No comments:
Post a Comment