Mulyoto Pangestu: Lewat Teknik Ekonomis Pembekuan Sperma Raih Emas di Young Inventors Awards Asia Pasifik
Penemuan Mulyoto sangat berguna bagi para ilmuwan dan dokter di negara sedang berkembang yang kekurangan biaya untuk mengadakan peralatan pendingin. Peralatan cold storage untuk menyimpan bahan organis biasanya membutuhkan nitrogen cair sebagai bahan pendingin (coolant). Selain tangkinya mahal dan makan tempat, nitrogen cair sangat berbahaya. Soalnya, agar tetap cair, nitrogen jenis ini harus disimpan di bawah suhu minus 196 derajat Celcius.
Mulyoto justru menemukan cara untuk mengeringkan dan menyimpan sperma dalam suhu ruangan karena ia memakai jasa gas nitrogen. Dan yang luar biasa –ini yang membuat Mulyoto mengalahkan ratusan pesaingnya dari berbagai negara Asia Pasifik– bahan yang dipakainya amat murah, hanya sekitar Rp 2.500,-. Bahan yang dipakai adalah dua lapis tabung plastik mini (ukuran 0,250 ml dan 0,500 ml) yang disegel dengan panas (heat-sealed), kemudian dibungkus lagi dengan aluminium foil. Ia menyebut proses pengeringan sperma yang ditemukannya sebagai pengeringan evaporatif (evaporative drying).
Dikatakan, untuk “pengeringan” sperma, ataupun penyimpanan sperma pada suhu ruang, sebenarnya sudah dilaporkan sejak tahun 1970-an. Namun, laporan-laporan tersebut masih terbatas informasinya. Baru pada Juli 1998, Wakayama dan Yanagimachi dari Universitas Hawaii mempublikasikan hasil penemuan mereka pada jurnal Nature Biotechnology, berupa “kelahiran anak mencit hasil pembuahan menggunakan sperma kering dan beku (freeze-dried sperm)”.
“Hasil penemuan mereka itu yang menarik perhatian saya dan supervisor saya untuk mengulangi sukses mereka. Namun, pada saat itu saya menghadapi kendala yang cukup penting, yaitu departemen saya, Monash Institute of Reproduction and Development, tidak memiliki dana untuk memberi freeze-drying machine. Keterbatasan atau kendala itu menyebabkan saya harus mempelajari kelebihan dan kekurangan penyimpanan freeze-dried sperm dan penyimpanan beku,” tutur Mulyoto.
Setelah melihat beberapa penelitian lainnya dan hasil studi literatur, akhirnya Mulyoto dan supervisornya, Dr Jillian Shaw, menyimpulkan bahwa sperma dapat disimpan pada suatu kondisi yang kering dan bebas oksigen. “Untuk itulah saya menggunakan gas nitrogen untuk mengeringkan atau menguapkan (evaporasi) air atau cairan sperma sehingga sperma tersebut dapat disimpan dalam keadaan kering. Kendala lain yang saya hadapi adalah kemungkinan terjadinya kebocoran atau perembesan oksigen ke dalam kemasan yang berisi sperma tersebut,” tambahnya.
Hasilnya adalah temuan Mulyoto tersebut. Kemasan penyimpanan sperma kering dan beku yang tidak membutuhkan penanganan khusus dan hasilnya dapat tetap dipakai walaupun telah disimpan bertahun-tahun. Memang, sperma hewan yang telah dikeringkan Mulyoto dengan cara ini tidak mampu bergerak lagi (immotile), dan berdasarkan pemeriksaan menggunakan bahan pewarna, diketahui bahwa sperma itu “mati”. Agar bisa membuahi sel telur, sel sperma harus disuntikkan ke dalam sel telur. Teknik ini dikenal dengan nama Intracytoplasmic Sperm Injection(ICSI) dan sudah banyak digunakan pada pembuatan bayi tabung manusia.
Mulyoto sendiri sama sekali tidak mencobakan metodenya untuk sperma manusia karena ethics permit yang dimilikinya hanyalah untuk hewan. Sperma yang sudah dikeringkannya berasal dari mencit (mice), marmoset (sejenis kera), dan juga wombat (binatang asli Australia). “Yang sudah digunakan untuk pembuahan adalah sperma mencit dan marmoset yang mampu membentuk embrio, bahkan untuk mencit sudah berhasil melahirkan anak mencit,” kisahnya.
Temuan Mulyoto kini sedang dalam proses dipatenkan di Australia. Nantinya, paten temuan Mulyoto menjadi milik Universitas Monash, namun ia masih akan tercatat sebagai inventornya.
Mulyoto mengaku mulai terlibat dalam penelitian mengenai sperma sapi dan kambing sejak tahun 1985-an, saat ia masih kuliah di Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto. “Saat itu saya masih bergelut dengan kondisi peternakan di pedesaan. Saya ikut terlibat dalam pengembangan teknik inseminasi buatan pada kambing lokal dan kambing peranakan Etawa di wilayah eks Karesidenan Banyumas,” tulisnya.
Dengan temuannya, Mulyoto bukan lagi jago Banyumas, tetapi telah jadi jago tingkat dunia. Prof Mulyoto Pangestu sekarang menjadi staf pengajar Reproductive Biology, Monash Institute of Medical Research, Melbourne.
Sumber: Kompas (13/01/2001), I-4, KickAndy.com
No comments:
Post a Comment