Sunday, January 16, 2011

Juliana Sutanto: Assistant Professor di ETH Zurich, Swiss yang Tetap Cinta Indonesia



”Setiap orang mempunyai persepsi berbeda terhadap kata nasionalisme. Bagi saya, bekerja di luar negeri bukan berarti tak nasionalis. Yang penting adalah kontribusi untuk bangsa dan dunia, di mana pun mereka berada. Dengan karya kreasi mereka yang diakui internasional, ilmuwan di luar negeri bisa mengangkat dan mengharumkan nama bangsa dan negara.”
Itulah prinsip yang dipegang Juliana Sutanto, lulusan B.Comp (Hons) Information Systems, National University of Singapore (NUS), 2003 ini.

Sejak Agustus 2008, peraih Ph.D. Information Systems, NUS, 2008, dengan disertasi ”Task Coordination in Global Virtual Teams: An Empirical Study in the Context of Software Development” ini diangkat sebagai assistant professor (jenjang profesor paling junior) di ETH Zurich, Swiss. Dia menjabat sebagai Kepala Grup Riset pada bagian Management Information Systems (MIS), Department of Management, Technology and Economics (D-MTEC).

Sebagai kepala grup riset, Juliana bertanggung jawab mengembangkan riset di bidang MIS. Saat ini, fokus grup risetnya adalah mobile commerce, social network, dan virtual community/team.Dia adalah salah seorang ilmuwan yang akan hadir pada acara International Summit 2010 Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4), 16-19 Desember 2010, di Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta.

Selain riset, ia juga mengajar mahasiswa tingkat master dan Ph.D. Mata kuliah yang diajarkan berhubungan dengan bagaimana mengintegrasikan bisnis dan strategy information systems.

Untuk mengembangkan grup risetnya, Juliana membimbing murid-murid Ph.D mengerjakan riset dan membantu mempublikasikannya di jurnal internasional. Dia juga berusaha mendapat dana riset tambahan di luar yang diberikan universitas, berkolaborasi dengan ilmuwan di ETH Zurich dan universitas lain, serta menjalin kerja sama dengan perusahaan yang berkaitan dengan risetnya.

Menurut Juliana, hal paling menarik dari pekerjaannya saat ini adalah kesempatan untuk berkarya dengan fasilitas riset yang memadai. ETH Zurich, kata Juliana, juga memberikan kesempatan karier yang sama antara pria dan wanita tanpa diskriminasi.

Satu-satunya tantangan yang dia hadapi adalah karena usianya yang masih relatif muda. ”Saat mengajar, tak sedikit orang yang menganggap saya mahasiswi atau sekretaris di universitas,”kata wanita kelahiran Manado, 14 Juli 1980 ini.

Di Eropa, lulusan S-3 harus melewati jenjang post-doc dan rehabilitasi sebelum menjadi assistant professor. Karena Juliana tak melewati jenjang post-doc dan rehabilitasi, usianya kini masih relatif muda jika dibandingkan assistant professor lainnya.

Meski bekerja dan berkarya jauh dari Tanah Air, istri dari Fadly ini tetap cinta tanah kelahirannya. Dia tak segan menyebut dirinya sebagai orang Indonesia. ”Saya memilih bekerja di luar negeri, dalam hal ini di Swiss, karena peran dan keahlian ilmuwan sangat dihargai di sana. ETH Zurich menyediakan dana riset besar, akses buku dan jurnal penting, serta fasilitas riset yang kondusif untuk inovasi riset dan teknologi,” katanya.

Iklim riset di Indonesia, menurut dia, kurang mendukung dalam berbagai aspek. ”Saya juga memperhatikan kurangnya kesadaran perusahaan di Indonesia berkolaborasi dengan universitas dan lembaga penelitian,” kata Juliana.

Setelah beberapa lama melakukan riset yang berkontribusi komersial, Juliana tergerak melakukan riset yang berkontribusi untuk masyarakat Indonesia. Ini dilakukan Juliana karena ingin berbakti pada bangsa dan negara dengan ilmu dan keahliannya.

Riset yang tengah dikembangkan Juliana bernama K-Village. Riset ini bertujuan mengembangkan potensi desa-desa di Indonesia dengan basis IT sehingga migrasi ke kota bisa dihindari. ”Saya memulai riset ini dengan kontak-kontak pribadi saya. Riset ini dimulai di Sulawesi Utara dan di Yogyakarta dengan beberapa orang di Universitas Gadjah Mada yang memiliki visi sama dengan saya,” katanya.

Proyek ini sejalan dengan UN Millennium Development Goals. Saat ini Juliana masih dalam proses formal untuk mendapat dukungan dari United Nations. ”Apabila kami berhasil mengembangkan potensi desa yang kami pilih dengan basis IT, kami dapat membuat protokol yang bisa digunakan desa di daerah lain yang mempunyai karakteristik sama,” kata peraih penghargaan Dean’s Graduate Award NUS, 2004/2005 dan Government Linked Company Undergraduate Scholarship, Ministry of Education, Singapore, pada tahun 1998-2003 ini.

Juliana sebenarnya tertarik mengembangkan proyek lain dengan menggandeng instansi pemerintah ataupun swasta di Indonesia. Namun, dia kesulitan mendapatkan kontak dan respons positif dari instansi pemerintah dan swasta di Indonesia. ”Saya berharap sesudah International Symposium I-4 nanti, terbuka peluang untuk bekerja sama dengan instansi pemerintah dan swasta di Indonesia,” katanya.

Dia berharap bisa meneliti apakah hasil riset mobile commerce di luar negeri bisa diimplementasikan di Indonesia. Di luar itu, Juliana juga ingin membuat penelitian mengenai natural disaster warning system di Indonesia.

”Saya sedih dan prihatin melihat banyaknya korban jiwa akibat tsunami di Mentawai dan erupsi Gunung Merapi. Karena riset saya di bagian MIS, saya ingin berkolaborasi dengan instansi terkait di Indonesia untuk menganalisis masalah teknis ataupun nonteknis dari natural disaster warning system dan bagaimana cara mengatasinya,” kata Juliana.

Meski kariernya terlihat mulus karena langsung ditawari S-3 setelah menyelesaikan S-1 dan langsung mendapat pekerjaan sebagai assistant professor begitu lulus S-3, perjalanan Juliana ke posisinya kini tidaklah mudah.

”Sebelum saya memulai kuliah S-1 di bidang teknik informasi, saya hampir tak pernah menyentuh komputer. Padahal, di bidang teknik informasi saya harus membuat program-program komputer,” tuturnya.

Saat kuliah S-3, tesis PhD Juliana membutuhkan data dari banyak perusahaan. ”Saya harus bersusah payah untuk mendapat akses data-data itu sampai saya berpikir tak akan pernah bisa lulus,” katanya.

Saat ini, target yang ingin dicapai Juliana tak muluk. Dia hanya ingin terus berkontribusi pada komunitas, baik komunitas di Indonesia maupun dunia. Tempat untuk bekerja dan berkarya baginya bukan hal penting. Dengan pesatnya kemajuan teknologi saat ini, dunia hampir tak ada batasnya. Hal paling penting adalah keinginan untuk berkarya dan berkreasi bagi bangsa dan dunia.

”Saya berharap pelaksanaan International Summit I-4 nanti juga bisa memberikan perspektif baru tentang peran yang dapat dimainkan ilmuwan Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri, pada masa depan,” kata Juliana.

Sumber: Kompas

No comments: