Sunday, January 16, 2011

Hendra Arbie: Raih Penghargaan UNESCO Lewat Bangunan Bersejarah di Medan


Melestarikan bangunan tua di Kota Medan, terutama di kawasan Jalan Hindu, bagi Hendra Arbie tak sebatas mimpi. Sejak tahun 1998, pria kelahiran Medan, 1 Desember 1964 ini bersama teman-teman yang peduli kelestarian bangunan bersejarah di Medan mendirikan Badan Warisan Sumatera atau BWS.

Awalnya BWS ingin menggugah kesadaran warga Medan akan pentingnya peninggalan masa lalu. Terlebih bagi artefak budaya berupa bangunan-bangunan tua yang sarat gaya arsitektur kolonial. Belakangan, BWS menjadi semacam gerakan moral warga Medan menentang penghancuran gedung bersejarah.

Hampir semua bangunan yang berdiri sejak akhir abad ke-19 itu dibiarkan tak terawat. Lebih memprihatinkan lagi karena sebagian besar bangunan itu milik Pemerintah Kota Medan. Pria yang mengecap pendidikan di Jurusan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara dan Information Technology Curtin University Australia ini sejak masih kecil memang diajari orangtuanya, Haji Muhammad Arbie, untuk menghargai bangunan tua.

Tak mengherankan kalau kemudian Hendra, Ketua Dewan Pendiri BWS, ikut merintis pemetaan bangunan yang masuk kategori warisan budaya, bekerja sama dengan Universitas Tokyo.

Kegiatan itu menjadi ”tamparan” bagi Pemkot Medan. Jika data BWS dan Universitas Tokyo menyebut 600 bangunan bersejarah di Medan yang perlu dilindungi, sedangkan peraturan daerah hanya mencatat sekitar 20 bangunan.

Upaya Hendra bersama BWS melestarikan bangunan bersejarah di Medan membawa hasil. Mereka mendapat penghargaan dari UNESCO atas upaya pelestarian Jembatan Kebajikan. Jembatan itu melambangkan kebersamaan multietnis warga Medan.

”Pilarnya menggambarkan kebersamaan masyarakat China, India, Melayu, dan Arab dalam membangun Medan, meskipun jembatan itu dibangun oleh orang China,” kata Hendra.

Lewat BWS, yang beranggotakan puluhan orang, Hendra pun giat mengampanyekan revisi perda perlindungan cagar budaya. Tujuannya, jangan cuma 20 situs yang dilindungi, tetapi lebih dari 600, sesuai hasil pemetaan. Lelaki keturunan perantau Minang ini tak rela jika artefak budaya Medan dihancurkan demi pembangunan kota yang tak manusiawi.

Dalam setiap penghancuran gedung, banyak sejarah kota hilang. ”Tak mungkin lagi anak-cucu kita tahu bagaimana keindahan gedung Mega Eltra, vila milik Deli Spoor Maatschappij. Padahal, tidak ada masa depan kalau tak ada sejarah,” ujar pria penggemar fotografi ini.

Di tengah kesibukannya mengelola bisnis hotel milik keluarganya sejak tahun 1995, Hendra tetap mempunyai waktu untuk mengampanyekan pentingnya melestarikan bangunan-bangunan tua. Caranya, antara lain, dengan memajang foto-foto kondisi Medan pada masa lalu.

Foto-foto seperti yang tercantum dalam buku karya sejarawan Belanda, Dirk Buiskool, Tours Through Historical Medan and Its Surroundings, terpasang di Garuda Plaza Hotel.

”Saya sengaja membeli foto-foto itu karena dari kepemilikan hak cipta foto-foto tersebutlah kebutuhan operasional BWS bisa dibiayai. Hal ini sekaligus merupakan informasi bagi para tamu yang datang agar mereka tahu keindahan Medan masa lalu,” kata Hendra yang mengeluarkan sekitar Rp 20 juta untuk membeli foto-foto itu pada 2001.

Kecintaan terhadap sejarah Kota Medan pula yang membuat Hendra kemudian merencanakan berbagai kegiatan yang terinformasikan kepada khalayak lewat agenda kota. Dia berencana menerbitkan semacam tabloid yang memuat acara apa saja yang berlangsung di Medan selama sebulan itu.

”Rencananya, tabloid tersebut tidak kami jual. Tabloid itu kami terbitkan dan bisa didapatkan secara gratis untuk siapa saja yang memerlukan panduan tentang Kota Medan,” ujar Hendra, bungsu dari tujuh bersaudara ini.

Namun, keinginan ia membuat tabloid bulanan itu tak terwujud. Komisaris Indowebhouse Kreasi ini malah membuat majalah yang tak sekadar berisi promosi tentang Medan, tetapi seluruh wilayah Pulau Sumatera. Sejak September 2004 dia menerbitkan majalah Inside Sumateradengan modal Rp 40 juta.

Dalam perjalanannya, bisa dikatakan, Inside Sumatera menjadi satu-satunya publikasi tentang pariwisata di Sumatera yang kontinu. Berbagai artikel yang dimuat dalam majalah itu, antara lain, menunjukkan tempat-tempat yang menarik sebagai tujuan wisata dari Sabang sampai Lampung. Semua informasi tertulis itu disertai foto yang relatif menarik.

Misalnya, tentang Pulau Weh di Aceh. Keindahan alam di sini belum menarik banyak turis, meskipun lokasi ini pantas dijadikan tujuan wisata menyelam yang tak kalah indah dibandingkan Bunaken, Sulawesi Utara. Foto yang menyertai artikel ini, antara lain, adalah Pantai Iboih yang berpasir putih.

”Saya ingin banyak orang jadi tahu betapa Pulau Sumatera itu kaya akan eksotisme alam dan budaya,” kata Hendra tentang tujuannya mendanai Inside Sumatera yang terbit bulanan dengan tiras 5.000 eksemplar.

Sebagai Direktur Pelaksana Garuda Plaza Hotel Medan, Hendra relatif tak menemui kesulitan berarti mendistribusikan Inside Sumatera untuk hotel-hotel di beberapa kota besar di Sumatera, seperti Banda Aceh, Riau, Padang, Jambi, Palembang, Bandar Lampung, hingga Bangka dan Belitung. Bahkan, Inside Sumatera bisa dijumpai di maskapai penerbangan Garuda yang menuju kota-kota di Pulau Sumatera.

Jerih payahnya berbuah manis. ”Penghargaan untuk Inside Sumatera kami terima dari Dinas Pariwisata di Riau, Jambi, hingga Bangka Belitung. Mereka sering mengundang kami karena merasa promosi lewat Inside Sumatera efektif,” katanya. Setelah lebih lima tahun terbit, Inside Sumatera telah sanggup membiayai dana operasionalnya secara mandiri.

Rupanya tak hanya tempat tujuan wisata dan penghargaan pada sejarah bangunan tua yang menarik perhatian Hendra, dia juga bersedia mendukung penerbitan cerpen dan novel karya para seniman dari komunitas Taman Budaya Medan.

”Saya bersedia karena buku-buku sastra itu nantinya akan disebarluaskan ke sekolah-sekolah. Semoga ini bisa menjadi awal kegiatan para sastrawan go to school’,” katanya.

Sumber: Kompas

No comments: