Adrian Benhard Lapian: Maestro Sejarah Bahari Terbaik Asia Tenggara & Peraih Habibie Awards 2010
Penampilan sejarawan berusia 81 tahun itu tak setua usianya. Ingatannya masih tajam, bicaranya pun sangat jelas dengan dialek campuran bahasa Indonesia dan Manado. Hanya pendengarannya saja yang kurang awas lagi.
“Saya menulis buku itu bukan untuk mengejar penghargaan. Saya menikmati profesi ini,” kata kakek yang sudah 16 tahun pensiun sebagai pegawai negeri sipil (PNS) itu.
Walau demikian, rasa syukur tak terhingga diungkapkan Adrian saat menerima penghargaan Habibie Awards 2010 untuk kategori sejarah, di Jakarta, 1 Desember 2010.
Pria kelahiran Tegal, 1 September 1929 itu tidak menyangka kalau hasil karyanya akan mendapat penghargaan. Apalagi mantan peneliti LIPI ini selama berkarir tidak pernah berharap akan diberi penghargaan. “Saya memang sangat mencintai sejarah terutama maritim, makanya semasa saya masih berkarir sampai pensiun, saya terus memperdalam ilmu saya. Saya sudah mendalami ilmu kebaharian sejak 31 tahun lalu,” kata Guru Besar yang mendalami sejarah maritim di Universitas Leiden, Belanda pada 1966 itu.
Tak puas dengan hasil terbitan pertama, Adrian yang pernah menjadi wartawan The Indonesian Observer (1950-an) kemudian merilis lagi buku versi terbaru yang lebih lengkap dan diedit langsung olehnya.
“Ada yang tidak pas dengan buku pertama yang dirilis 2001, terutama tentang bajak laut. Kebanyakan orang mendefinisikan bajak laut sebagai kriminal. Nah itu harus dikoreksi. Bentuk koreksi saya itulah yang saya tulis dalam buku terbaru saya yang diterbitkan tahun lalu,” tuturnya.
Ia mencontohkan Sir Francis Drake, petualang Inggris yang oleh bangsa Spanyol disebut pirate, perompak atau bajak laut. Namun, Pemerintah Inggris justru menganggap Drake sebagai corsair, orang yang diberi hak merompak sebagai tugas negara. Dia bahkan diberi gelar kehormatan, Sir. Kesimpulannya, seseorang disebut bajak laut atau corsair tergantung dari pihak yang bicara. Ini sama dengan mereka yang disebut teroris dan berkonotasi negatif, tetapi oleh pihak lain malah dianggap pahlawan.
Sebagai maestro di bidang sejarah maritim, sejarah kelautan, dan sejarah bahari, banyak pujian yang diberikan pada Adrian. Kemampuannya dalam sejarah maritim malah disebut-sebut belum bisa ditandingi di tingkat nasional, bahkan di Asia Tenggara. Tak kurang dari begawan sejarah Indonesia, almarhum Prof. Sartono Kartodirdjo, memujinya setinggi langit.
“Apa yang dilakukan Prof. Lapian dengan karyanya merupakan keberhasilan cemerlang. Ia sudah melakukan prinsip yang mengarah ke excellence. Caranya memegang dan menghayati prinsip ini dalam berkarya sebagai akademisi mengingatkan bahwa only the best is good enough,” kata guru besar sejarah UGM itu.
Di bawah bimbingan Sartono, profesor yang pendidikan SD-SMA di Tomohon ini, lulus dengan predikat cum laude dalam ujian doktor tahun 1978. Pendapat serupa diungkapkan Anthony Reid, sejarawan senior dan peneliti utama Asia Research Institute, National University of Singapore. Dalam sampul belakang buku Adrian, Reid menilai Adrian sebagai sejarawan Indonesia yang tak ada duanya.
Sementara itu, di usia yang sudah lanjut, doktor ilmu sejarah UGM (1978) itu masih aktif. Penerima Bintang Jasa Utama dari Pemerintah Indonesia (2002) ini pun kelihatan segar bugar walau harus bolak balik Manado-Jakarta. “Sejak pensiun pada 1965, saya tinggal di kampung (Tomohon). Baru beberapa hari ini saya ke Jakarta untuk menerima penghargaan,” ucap mantan Guru besar luar biasa Universitas Indonesia (1992) ini dengan wajah riang.
Prof. Adrian merupakan orang Sulut kedua yang menerima penghargaan tersebut setelah Dr. Wilson Walery Wenas, ahli Fisika lulusan Tokyo University. Prof Adrian juga merupakan penerima penghargaan paling tua dari sekian orang yang pernah mendapatkan Habibie Awards. Dengan penghargaan Habibie Awards ini, dia berharap, pemerintah akan lebih memperhatikan dunia bahari.
Dia pun memuji pemerintah yang mulai care terhadap bahari, salah satunya dengan adanya Kementerian Kelautan dan Perikanan. “Saya senang karena makin banyak sarjana, termasuk sejarawan, yang berminat terhadap masalah kelautan. Saya berharap kecintaan terhadap bahari akan terus tumbuh karena Indonesia tidak hanya dikenal sebagai negara agraris tapi juga maritim,” terangnya.
Di akhir pecakapan, Adrian pun bernyanyi kecil, mendendangkan sebuah lagu tentang pelaut.Nenek moyangku seorang pelaut.. gemar mangarung luas samudra.. menerjang ombak tiada takut.. menempuh badai sudah biasa.. angin bertiup layar terkembang.. ombak berdebur di tepi pantai.. pemuda b’rani bangkit sekarang.. ke laut kita beramai-ramai..
Sumber: ManadoPost (2/12)
No comments:
Post a Comment