Sunday, January 16, 2011

Achmad Adhitya: Mimpi Kejayaan Indonesia Lewat I-4


Pertemuan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) di Jakarta pada pertengahan Desember 2010 telah usai. Di balik perhelatan itu, ada seorang anak muda yang jadi ketua penyelenggara dengan cita-cita besar tentang kejayaan Indonesia di antara bangsa-bangsa dunia.

Dia adalah Achmad Adhitya, kelahiran Tanjung Karang, Lampung, 13 Oktober 1979 yang menjabat Sekjen Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (2009-2011) dan kandidat doktor bidang kelautan di Universitas Leiden, Belanda dengan beasiswa dari Royal Academy of Science.

Pertemuan yang dibuka Wakil Presiden Boediono tersebut dihadiri 61 ilmuwan Indonesia yang bekerja di berbagai perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan industri di luar negeri. Mereka berkumpul untuk berkomunikasi dengan rekan-rekannya di Tanah Air, menemukan apa yang bisa mereka berikan untuk ikut memajukan negeri ini.

Dalam pertemuan tiga hari itu, disepakati 11 kelompok berbagai bidang ilmu akan dikembangkan bersama, yaitu percepatan pembangunan ekonomi, informatika dan elektroteknik, inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi, kedokteran dan bioteknologi, ilmu sosial, pendidikan, energi, pengembangan wilayah dan lingkungan, humaniora dan ilmu kemanusiaan, rekayasa industri dan robotika, serta teknologi dan ketahanan pangan.

Tidak mudah mengumpulkan para ilmuwan Indonesia yang tersebar di lima benua itu. Ada kerja panjang dan konsisten harus dilakukan sebelumnya. Pertama-tama, mencari tahu berapa banyak ilmuwan Indonesia di luar negeri, siapa mengerjakan apa, dan di mana alamat mereka. Setelah itu menghubungi satu per satu, membujuk, dan meyakinkan mereka tentang ide Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) agar memberi komitmen.

Itulah yang dikerjakan Adhitya dan teman-temannya sejak 2008. ”Awalnya obrolan ringan beberapa rekan pelajar Indonesia di Jerman tentang kehebatan potensi sumber daya manusia Indonesia di luar negeri. Ada rasa bangga, tetapi juga janggal,” kata penerima beasiswa dari Royal Academy of Science, Belanda, untuk pendidikan S-3 ini.

Bangga, karena banyak orang Indonesia di luar negeri mampu memainkan peran penting, tetapi juga janggal karena informasi mengenai mereka di Tanah Air kurang.

Adhitya yang saat itu masih studi S-2 bidang geologi kelautan di Universitas Kiel, Jerman, lalu memotori pelacakan dari internet, bertanya dari mulut ke mulut, mendatangi satu per satu para ilmuwan tersebut secara fisik. Dia dibantu teman-temannya yang tertular antusiasmenya, termasuk dari Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di berbagai negara.

I-4 Awalnya

Dari sesuatu yang terlihat naif—tak punya dana, tidak kenal satu pun ilmuwan—gerakan ini mulai mendapat bentuknya. Sejumlah ilmuwan bersedia bergabung dan bertemu. Meskipun saat ini terdaftar 800-an ilmuwan dalam basis data I-4, Adhitya sepakat yang lebih penting adalah komitmen berbuat konkret.

Pertemuan pertama, November 2008 di Berlin, dihadiri tiga ilmuwan. Pertemuan kedua berupa simposium internasional sekaligus deklarasi berdirinya I-4 berlangsung pada 3-5 Juli di Den Haag, Belanda, dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui telekonferensi. Oktober 2009 diadakan rapat pengurus pertama di Jakarta, dan Adhitya dipilih menjadi Sekretaris Jenderal I-4. Desember 2010 berlangsung pertemuan di Jakarta.

Meskipun mendapat bantuan pendanaan melalui Kemendiknas dan Dirjen Dikti (waktu itu) Fasli Djalal sempat hadir di Den Haag, tetapi sebagian besar kerja perintisan I-4 dilakukan secara swadana.

”Kami tidak mungkin menggantungkan sepenuhnya kepada Kemendiknas. Dalam 14 bulan awal kerja I-4 dana praktis berasal dari kami sendiri, untuk membiayai perjalanan sosialisasi I-4 ke berbagai negara. Ada Dr Andreas Raharso dari Haygroup di Singapura; Dr Muhamad Reza di ABB, Swiss; Dr Khoirul Anwar di JAIST, Jepang; Dr Ing Subendra di BAM, Jerman; dan Dr Andrea Peresthu, pengajar di TU Delft, Belanda,” tutur Adhitya.

Putra dari Maramis Syukri dan Yusnani Hasyimzoem yang bertubuh tinggi ramping itu terkesan pendiam, tetapi meluap-luap saat menceritakan kehebatan ilmuwan Indonesia di luar negeri, menuturkan bagaimana ”perburuan” meyakinkan Dr Ken Soetanto, dekan non-Jepang pertama di Universitas Waseda, universitas swasta terbesar di Jepang.

”Kami mengejar Prof Ken sampai dua tahun. Awalnya, dia enggak tertarik. Saya coba telepon, tidak mau terima. Saya lalu minta tolong teman yang kuliah di Jepang untuk tidak beranjak dari depan pintu kamarnya sampai Prof Ken mau menemui,” kenang Adhitya yang ditemui di Jakarta. Prof Dr Ken Soetanto, doktor dalam rekayasa elektronika, farmasi, kedokteran, dan ilmu pendidikan, kini menjadi salah satu penasihat I-4.

Mimpi Besar

Bermimpi besar dan bertindak adalah modal dasar Adhitya. Pemicunya pertemuan 12 cabang PPI se-Eropa tahun 2006 di Den Haag. Adhitya hadir sebagai Ketua PPI Jerman. Di situ dia melihat beberapa orang Indonesia menjadi dosen di berbagai universitas, manajer, bahkan mengerjakan proyek penting di luar negeri. ”Pertanyaan dalam diri saya saat itu, mengapa orang-orang hebat itu belum banyak terdengar sepak terjangnya,” papar Adhitya.

Dengan ide dari Den Haag itu, dia dan beberapa teman di Jerman mulai menyusun strategi, mengumpulkan basis data jumlah ilmuwan Indonesia di luar negeri. Dalam semalam, terkumpul lebih dari 100 nama dosen dan manajer. ”Malam itu juga kami sadar, ada tugas besar untuk membangun jejaring ilmuwan Indonesia di luar negeri,” tambah dia.

Secara rendah hati, Pria lulusan S-1 di Universitas Brawijaya, Malang ini mengatakan, terbentuknya I-4 adalah hasil kerja bersama pelajar Indonesia di dalam dan luar negeri. Dia menyebut nama antara lain Willy Sakareza (penghubung di Indonesia), Mahir Bayasut, Teuku Reiza Yuanda alias Ipon, Victoria Sabon, dan Abdullah Abbas.

”Kami rapat, telekonferensi, melalui dunia maya; chat, surat elektronik, atau telepon, dengan beda waktu masing-masing. Mahasiswa S-1 sampai S-3 menjadi perekat I-4, tidak dibayar. Yang menyatukan, harapan dan kebanggaan kepada Indonesia,” ujar Adhitya.

Setelah pertemuan di Jakarta, Desember lalu, langkah berikut adalah merapikan basis data dan mengintensifkan kerja jaringan 11 kelompok bidang ilmu yang sudah terbentuk. ”Bila basis data itu terbentuk mantap, akan terjadi efek bola salju mulai dari ide hingga wujud konkret melalui kerja sama dengan beragam lembaga di dalam dan luar negeri. Bayangkan apa yang akan terjadi,” kata Adhitya tentang mimpi berikutnya.

Sumber: Kompas

No comments: