Sunday, May 30, 2010

Mengelola SDM Berbasis Talenta

Manajemen berbasis talenta mengubah pendekatan “superman” menjadi “superteam”. Bagaimana konsep lengkapnya? Benarkah bisa mengatrol kompetensi karyawan dan menjawab kebutuhan perusahaan?

Ketika diserahi tanggung jawab sebagai Presdir PT Inti Ganda Perdana (Grup IGP) pada tahun 2000, Gunardi Hadi Atmodjo melihat perusahaan manufaktur yang memproduksi rear axle dan propeller shaft ini memiliki kompetensi yang rendah. Dengan kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang minim, Gun — demikian ia biasa disapa — menyadari, perusahaannya tak akan mampu bersaing di pasar global. Pada saat itu, ia pun teringat Pande N. Agus Jaya, teman lamanya ketika sama-sama di Astra-Honda Motor.

Mereka akhirnya bertemu. Di situ Gun mengemukakan visinya yang ingin membawa IGP menjadi perusahaan berkelas dunia. ”Saya ceritakan masalah di IGP. Lalu, saya minta Pak Pande membantu saya menangani SDM di sini. Saya ingin IGP mampu berkompetisi secara global. Untuk itu, kami sepakat agar SDM-nya dibenahi lebih dulu,” tutur Gun memaparkan visinya.

Bersama Direktur SDM IGP, Jan Burhanudin, Gun serta Pande yang kemudian ditunjuk sebagai Kepala SDM & Knowledge Management, mulai memikirkan langkah untuk membangun kompetensi karyawan IGP yang berjumlah 2.000 orang. Mulanya, mereka melihat, yang perlu dibenahi adalah mentalnya dulu. ”Seingat saya, Pak Jan butuh waktu setahun lebih untuk mengubah mental karyawan,” ungkap Gun yang dibenarkan Jan dengan anggukan kepala.

”Dulu, orang yang rajin dan tidak rajin hanya dilihat dari disiplin masuk kerja. Tapi, itu terlalu standar. Sekarang, bukan hanya sekadar masuk kerja. Tetapi, selama bekerja orang itu menghasilkan apa,” tukas Jan menambahkan. Contoh lainnya, masih kata Jan, ”Karyawan biasanya menunggu ditelepon customer untuk mengetahui barangnya ditolak atau tidak. Padahal, seharusnya kita sudah tahu sebelum customer menelepon. Jadi, karyawan harus lebih proaktif,” katanya menandaskan.

Dari berbagai kondisi yang dihadapi, disertai perenungan mengenai masa depan IGP, Pande kemudian menemukan ide yang diyakininya dapat meningkatkan performa karyawan. Ide ini didasari pada pengamatan dan pengalamannya selama berkutat di bagian SDM sejak 1990. Ketika masuk ke IGP, Pande menilai, salah satu penyebab kurangnya kompetensi SDM karena mereka tidak ditempatkan selaras dengan talenta atau bakatnya. Bakat?

Pande mengangguk seraya menjelaskan, seseorang yang bekerja tidak berdasarkan bakat alaminya akan mengerjakan tugas-tugasnya dengan terpaksa. Akibatnya, hasil pekerjaannya tidak optimal. Tak percaya?

Untuk membuktikannya, Pande memberi satu kasus di perusahaannya. ”Suatu ketika, saya dipanggil Pak Gun untuk membahas seorang karyawan di perusahaan kami. Karyawan yang dipanggil ke ruang direksi ini menduduki jabatan sebagai Kepala Pabrik. Karyawan ini dinilai kurang menjalankan tugasnya dengan baik. Sebagai Kepala Pabrik yang seharusnya dapat mengontrol dan mengawasi operasional pabrik, ia kelihatan kurang menjiwai,” ungkap Pande memaparkan. Oleh manajemen, karyawan ini lalu dipindahkan ke bagian lain. Pekerjaan baru yang diberikan kepadanya adalah cost control. Adapun tugasnya, mengontrol semua biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan. Namun, apa yang terjadi kemudian?

”Setelah setahun dengan pekerjaan barunya, karyawan ini tetap tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Lalu, bersama-sama kami me-review karyawan bersangkutan. Dari hasil review, saya baru menyadari bahwa selama ini dia berada di posisi yang salah,” lanjut Pande bercerita. Kenapa demikian?

Pande lalu menjelaskan. Pekerjaan sebagai cost control memiliki job caracter tertentu, di antaranya dibutuhkan fungsi kontrol yang kuat. ”Itu berarti, dia harus mempunyai karakter detail dalam menangani pekerjaan,” Pande menuturkan. Masalahnya, karyawan yang bersangkutan tidak memiliki talenta tersebut. ”Dari hasil review, yang kami lihat justru sebaliknya: orangnya ekstrover dan berpikir global. Dari situ kami menemukan bahwa orang ini cocoknya sebagai resource investigator, yang tugasnya mencari berbagai informasi dari karyawan,” katanya seraya melanjutkan, ”Akhirnya, job role baru yang kami berikan kepadanya adalah business performance control.” Di posisi ini dia diharapkan dapat memberi informasi kepada perusahaan di bagian mana saja yang tidak efektif.

Menurut Pande, posisi ini sebelumnya tidak ada. Bila karyawan tersebut tetap dipertahankan di posisinya yang lama, selain tidak bahagia, dia juga tidak dapat memberi kontribusi yang besar kepada perusahaan. ”Kalau sudah begitu, perusahaan harus bisa menyediakan job role baru yang sesuai dengan talenta karyawan.”

Barangkali, job role baru yang disediakan Pande untuk karyawan terkesan mengada-ada. ”Tapi, sebenarnya tidak,” katanya tegas. Dalam menghadapi kompetisi yang semakin ketat, banyak pekerjaan yang selama ini tidak tertangani karena keterbatasan SDM di perusahaan. ”Jadi, job role sebagai business performance control itu memang dibutuhkan di perusahaan kami,” tuturnya menyimpulkan.

Berawal dari kasus-kasus yang ditanganinya, Pande kemudian merumuskan konsep SDM yang dinamakan Talent Based Human Resources Management (Talent Based-HRM). Pengembangan SDM berbasis talenta ini didefinisikan Pande sebagai berikut: membangun keunggulan kompetensi seseorang hingga mencapai tingkat kelas dunia selaras dengan bakatnya. Mengingat IGP adalah perusahaan manufaktur, karyawan yang dibutuhkan harus yang bakatnya cocok dengan bidang pekerjaan di perusahaan ini.

Bila dikaitkan dengan persaingan yang makin ketat saat ini, Pande menerangkan, perusahaan membutuhkan karyawan yang memiliki kompetensi tinggi di bidangnya. Karena itu, konsep Talent Based dipandang lebih baik daripada konsep human resource management (HRM) lainnya. Alasannya, dijelaskan pria kelahiran Gianyar, Bali, 45 tahun lalu ini, pertama, dalam hal kecepatan (speed). ”Orang yang beraktivitas berdasarkan bakatnya akan memiliki kemampuan belajar yang lebih baik,” ujar lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga ini. Kedua, berbicara tentang performa (prestasi), orang-orang yang bekerja sesuai dengan talentanya mampu mencapai prestasi yang tinggi dan memberi kontribusi yang besar kepada perusahaan. Ketiga, mereka juga memiliki daya tahan yang lebih tinggi terhadap pekerjaan yang digelutinya. Dan keempat, orang yang bekerja sesuai dengan bakatnya akan mempunyai komitmen yang lebih tinggi.

Di IGP, konsep ini dinilai pas dan mendapat dukungan penuh dari para direksi. Dilihat dari proses produksinya, perusahaan yang beroperasi di lahan seluas 20 hektare ini memproduksi barang sesuai dengan pesanan customer. Berarti, yang dijual IGP adalah kompetensi SDM-nya. Sejauh ini, barang yang dihasilkan merupakan bagian dari produk yang dimiliki customer. Dengan demikian, bila kompetensi SDM-nya rendah, besar kemungkinan customer akan mengorder ke perusahaan lain atau memutuskan membuatnya sendiri. Pasalnya, ”Customer IGP adalah perusahaan-perusahaan mobil. Sehingga, bila mereka tidak puas dengan hasil buatan kami, mereka tinggal bikin pabriknya sendiri. Jika ini yang terjadi, kami bakal kehilangan pasarnya,” ungkap Pande. Atas dasar itu, IGP memandang penting kompetensi SDM. Tanpa kompetensi yang didasari bakat, mustahil dapat menjadi perusahaan kelas dunia.

Lantas, apa bedanya Talent Based dengan Competency Based? Bukankah keduanya sama-sama menekankan pentingnya kompetensi?

“Fokusnya yang berbeda,” ujar Pande. Di Talent Based, ia menjelaskan, kita memotret dan mengenali bakat setiap orang, lalu kita bangun kompetensinya selaras dengan bakat yang dimilikinya sehingga dalam waktu singkat dia memiliki kompetensi kelas dunia.

Sementara di Competency Based, dibutuhkan role model untuk melihat ciri-ciri pada suatu jabatan. Dari hasil penelusuran itu, SDM yang menempati posisi tersebut harus memiliki kompetensi sesuai dengan ciri-ciri tersebut. Setelah itu, kompetensi karyawan akan dipotret oleh bagian assesment center. Dari penilaian ini, akan diketahui dimana letak kekurangan dan kekuatan kompetensinya. Bila terdapat gap antara kemampuan saat ini dengan kompetensi yang seharusnya dimiliki, orang yang bersangkutan akan diberi berbagai pelatihan yang dibutuhkan sehingga kompetensinya terpenuhi. ”Jadi, pada Competency Based, perusahaan fokus untuk mengatasi gap antara kemampuan orang tersebut dan kompetensi yang seharusnya dimiliki,” katanya. Ia menambahkan, upaya ini akan mengarahkan karyawan menjadi superman. Sebab, dia harus selalu memenuhi kompetensi yang dibutuhkan, tanpa memedulikan bakat yang dimilikinya.

Staf SDM Grup IGP Agustinus Agung Wirawan menambahkan, konsep Talent Based lebih memprioritaskan kelebihan seseorang. Selama ini dia sering melihat, banyak orang berkemampuan intelektual bagus, tapi tidak perform. Ketika orang ini ditelusuri lebih dalam, ternyata dia menempati posisi yang tidak cocok dengan bakatnya. Karena itulah, Agustinus sependapat dengan Pande, ”Kalau perusahaan ingin mengoptimalkan seseorang, sebaiknya fokus pada kekuatannya, bukan kelemahannya.” Bila perusahaan memilih fokus pada kelemahan seseorang, menurutnya, hanya buang-buang waktu. ”Hasilnya tidak optimal,” kata lulusan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada itu. Lalu, bagaimana menutupi kelemahannya? Di Talent Based, kelemahan seseorang bisa ditutupi anggota tim yang lain. ”Kami tidak menciptakan superman, tapi superteam,” ujarnya menguatkan pernyataan Pande.

Secara konkret konsep Talent Based dirumuskan sejak dua tahun lalu. Pande memperkenalkan konsep ini pertama kali pada Desember 2004 dalam forum HRD Club. Setelah itu, ia mulai mengujicobakan konsep ini di IGP, tapi masih dalam tahap coba-coba. Mulanya, pemetaan talenta (talent mapping) dilakukan melalui pengenalan (observasi) yang intensif pada seseorang. Dari situ dapat dilihat karakter personalnya. ”Sekarang, kami sudah berhasil membuat tools-nya, sehingga dapat melakukan talent mapping secara massal,” ungkapnya. Karena itu pula, sejak awal tahun ini Talent Based diterapkan penuh di lingkungan IGP.

Menurut Agustinus, talenta seseorang bisa dilihat dari interaksi sosialnya. Dari sana bisa terungkap empat hal yang berhubungan dengan karakter personalnya. Pertama, seseorang mempunyai perhatian pada orang (focus on people) ataukah tidak. Kedua, ditinjau dari concern-nya, lebih menekankan ke hal-hal yang bersifat aktual (present) atau konsep (future). Ketiga, ditilik dari consideration-nya, bagaimana caranya mengambil keputusan: didasarkan pada sesuatu yang logis (based on thinking/based on head) atau lebih menggunakan intuisi (based on feeling/based on heart). Dan keempat, dilihat dari working style seseorang, dapat diketahui apakah ia seorang yang well organize atau fleksibel. Selanjutnya, ”Keempat hal itu kami ramu sehingga bisa kelihatan, orang yang bersangkutan talentanya di mana atau dalam bidang apa,” tutur Agustinus.

Di IGP, Pande melanjutkan, proses pemetaan talenta dilakukan secara bertahap, lapis demi lapis. Proses ini dilakukan dimulai dari lapis ke-2 (general manager atau kepala divisi) hingga lapis ke-7. Pertama, yang dilakukan Pande adalah mengumpulkan orang-orang di lapis ke-2 (jumlahnya 9 orang) dalam satu ruangan untuk memetakan talenta. Di sini, mereka diberi kuesioner untuk diisi. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner diarahkan untuk menggali talenta masing-masing orang. Setelah datanya diolah, akan diketahui profil talentanya. Selanjutnya, orang yang bersangkutan akan diberitahu hasilnya.

Setelah pemetaan talenta di lapis ke-2 selesai, dilanjutkan ke lapis ke-3 (kepala departemen atau manajer), berlanjut ke lapis ke-4 (kepala seksi atau supervisor), dan seterusnya hingga ke lapis ke-7. Saat ini, proses pemetaan talenta karyawan IGP sudah berjalan hingga lapis ke-5. Pande menargetkan, tahun depan seluruh karyawan IGP yang berjumlah 2.000 orang sudah dipetakan talentanya. Dari yang telah dipetakan, ternyata, lebih dari 60% karyawan bekerja tidak sesuai dengan talentanya. ”Ini fakta. Hal inilah yang membuat perusahaan menjadi tidak efektif,” ungkapnya lugas. Agar IGP bisa berlari kencang, Pande dan timnya harus bekerja keras menyelaraskan antara pekerjaan yang ditangani karyawan dan bakat yang dimilikinya.

Nah, bagi karyawan yang talentanya sudah pas, selanjutnya tinggal dibangun kompetensinya. Berikutnya, pelatihan untuk orang ini akan difokuskan pada bidang yang ditekuninya. Kalaupun dirotasi ke bagian lain, tujuannya hanya untuk belajar dalam rangka mendukung keahliannya. Di sisi lain, bagi karyawan yang bakatnya belum sesuai dengan pekerjaannya saat ini, Pande berusaha mencarikan job role baru. Di IGP, jumlah karyawan di lapis ke-2 hingga ke-4 ada sekitar 200 orang atau 10% dari total karyawan IGP. Mereka inilah yang, menurut Pande, membutuhkan penanganan serius. Bila ke-200 orang ini dapat bekerja selaras dengan talentanya, IGP bisa berlari lebih kencang.

Lantas, bagaimana menanggulangi 60% karyawan yang berada di posisi tidak cocok dengan talentanya? Ada beberapa cara yang dilakukan Pande. Pertama, karyawan bersangkutan akan dirotasi ke bagian lain yang karakter kerjanya selaras dengan talenta yang dimilikinya. Hanya saja, ketika ia berpindah ke bagian yang sesuai, harus ada orang lain yang siap menggantikan posisinya. ”Seperti tukar guling begitulah,” kata ayah dua anak ini.

Bila seorang karyawan yang seharusnya dipindahkan ke bagian lain tapi tak ada yang menggantikan posisinya, untuk sementara waktu akan dipertahankan terlebih dulu. Dengan catatan, karyawan tersebut selama ini dinilai perform, tetapi tidak optimal. Agar pekerjaannya bisa berjalan lebih baik, dia akan dicarikan orang lain dari lapis di bawahnya yang bisa mem-back up kekurangannya. Dengan cara seperti ini, karyawan yang bersangkutan menjadi superteam dan bisa memberi kontribusi lebih besar kepada perusahaan. Namun, karyawan ini tidak bisa selamanya dipertahankan di bidang tersebut. Ia berhak memperoleh pekerjaan yang cocok dengan talentanya. Karena itu, sambil berjalan perusahaan mengader karyawan lain yang bisa menggantikan posisinya.

Bila tidak bisa dikader dari dalam, mau tak mau manajemen akan mencarinya dari luar. Untuk saat ini, di lapis ke-2 IGP telah menambah dua orang, demikian pula di lapis ke-3. Sementara untuk lapis ke-4, IGP melakukan rekrutmen baru sekalian untuk memenuhi kebutuhan di masa mendatang.

Cara kedua, bagi karyawan yang talentanya tidak cocok dengan semua bidang pekerjaan di IGP, Pande akan menciptakan job title baru untuk memberi kesempatan kepadanya berkontribusi kepada perusahaan. Tentu saja, karakter kerjanya akan disesuaikan dengan talenta yang bersangkutan. Karyawan yang masuk dalam kategori ini akan ditangani Pande langsung. ”Sebetulnya atasan punya otoritas menciptakan job title baru bagi anak buahnya. Hanya saja, ada keterbatasan dalam hal penanganannya. Karena itu, orang-orang yang ditempatkan pada job title baru akan saya tangani sendiri sesuai dengan kebutuhan perusahaan,” tuturnya. Setidak-tidaknya, cara ini akan menghindarkan IGP dari kesalahan dalam menempatkan SDM. ”Daripada saya menempatkan orang bagus di tempat yang salah, lebih baik kami menciptakan job title baru yang sesuai dengan talenta orang tersebut,” ujarnya tandas.

Apakah pekerjaan ini sulit dan memakan waktu? Menurut Pande, tidak. Mengingat pemetaan talenta dimulai dari lapis atas, di lapis bawahnya menjadi lebih mudah penanganannya. ”Ketika kami memotret bakat karyawan di layer berikutnya, atasan mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan pada anak buahnya. Dalam eksekusinya, orang-orang yang berada di layer atas berperan dalam penempatan yang cocok bagi anak buahnya. Sebab, mereka pun ingin anak buahnya bekerja sesuai dengan bakatnya agar hasilnya optimal,” ujarnya mengakui.

Upaya menempatkan SDM selaras dengan talenta dinilai Pande tidak merepotkan perusahaan. Penerapannya pun tidak memakan biaya. Bila dilihat dari biaya yang dikeluarkan di perusahaan manufaktur, yang dialokasikan untuk karyawan hanya berkisar 5%-10%. Hanya dengan menambah sedikit biaya, organisasi perusahaan dapat berjalan lebih efektif. Penambahannya tidak sampai 1%. ”Untuk perusahaan manufaktur, pengeluaran terbesar ada pada material cost,” ungkapnya.

Terlepas dari biaya yang dikeluarkan, Pande melihat, manfaat yang dirasakan dari penerapan Talent Based sangat besar. Setelah fokus membangun kompetensi SDM berdasarkan talentanya, akhirnya kompetensi institusi juga meningkat. Pada akhirnya, perusahaan memperoleh kepercayaan dari customer dalam bentuk pesanan yang lebih banyak lagi. ”Kini organisasi menjadi lebih efektif. Bahkan, dalam waktu kurang dari 6 bulan sudah terlihat hasilnya,” katanya bangga. Pande berani mengatakan, sekarang IGP mendapat pengakuan internasional dan produknya diapresiasi sehingga masuk ke ring satu (perusahaan-perusahaan yang dimiliki langsung oleh Toyota – Red.).

Terbukti, setelah menerapkan Talent Based, IGP berhasil mendapatkan proyek baru, di antaranya dari General Motor, Daihatsu dan Suzuki, untuk mendesain beberapa produk seperti propeller shaft. Selain itu, bagi invidunya sendiri, Talent Based dapat mendongkrak motivasi kerja karyawan sehingga lebih bergairah dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, mengalami proses belajar yang lebih cepat dan kompetensinya pun meningkat. Setelah itu, diharapkan karyawan tersebut akan menularkan energi positifnya kepada teman-teman dan anak buahnya.

Sejauh ini Pande tidak menjumpai kesulitan dalam menerapkan Talent Based karena konsep ini telah dipahami dan didukung sepenuhnya oleh Board of Director. Demikian pula karyawan di lapis atas, sejak awal sudah diperkenalkan denganTalent Based satu per satu sehingga ketika konsep ini benar-benar dijalankan, mereka langsung bisa menangkap maksudnya. Diakuinya, ada beberapa karyawan yang bersikap resisten ketika diberitahukan tentang konsep ini. ”Resistensi terbesar ada di layer ke-2,” ia membuka rahasia. Misalnya, ada seorang Kepala Pabrik yang ditarik keluar dan mendapat job role baru. Pande bisa memaklumi kenapa karyawan ini merasa berat meninggalkan posisinya. Sebagai Kepala Pabrik, ia tentu memiliki banyak bawahan. Bila dipindahkan ke bagian lain, tentu merasa kehilangan kebanggaan yang selama ini dimilikinya. ”Mulanya, orang ini tidak bisa menerima. Namun, setelah dijelaskan dengan baik mengenai konsep ini, ia pun bisa memahaminya,” katanya mengenang. Sekarang, karyawan yang dimaksud mendapat job role sebagai spesialis bidang perbaikan sistem produksi.

Dua karyawan IGP yang kami wawancarai mengungkapkan, mereka merasa lebih enjoy setelah ditempatkan di posisinya sekarang. Abun Gunawan, misalnya. Ketika bergabung ke IGP pada 2001, ia ditempatkan di bagian mesin di salah satu pabrik. Kebetulan latar belakang pendidikannya adalah bidang teknik mesin (Institut Teknologi Bandung). ”Jadi, sebenarnya pas dengan kompetensi saya. Tetapi, pekerjaan di pabrik hanya 50% yang bersifat teknis. Selebihnya manajerial,” ujarnya. Pekerjaan di pabrik dijalaninya hanya sekitar setahun.

Setelah dipetakan, manajemen melihat, talenta Abun bukan di sana. Hasil pemetaannya memperlihatkan bahwa ia seorang yang introvert, present, thinking (based on head) serta organized. Dengan talenta seperti itu, jelas saja pekerjaan di pabrik tidak cocok baginya. Oleh Pande, Abun diarahkan menjadi seorang spesialis dan ditempatkan di pengembangan produk. Untuk menggali bakat Abun, perusahaan pun tak segan mengirimnya belajar tentang desain komponen ke luar negeri. “Saya memang bukan tipe orang yang senang mengatur orang lain atau memiliki anak buah yang mempunyai masalah, lalu saya harus mendengarkan keluh kesahnya. Saya lebih suka mengurusi proyek daripada masalah-masalah di pabrik yang berkaitan dengan manusia. Sekarang saya merasa enjoy, karena sudah berada di dunia saya,” ujar Abun blak-blakan. Saat ini ia menggarap beberapa proyek dari customer yang — menurut istilahnya — bukan kacangan, seperti General Motor, Daihatsu dan Suzuki. “Mereka mengorder barang yang saya desain sendiri,” ungkapnya senang.

Cerita Djungdjung Bonar Panjaitan lain lagi. Sejak Mei 2006 ia ditempatkan sebagai spesialis pengembangan kultur. Sejak masuk IGP pada 1996, Djungdjung sudah dirotasi ke mana-mana. Berbagai bidang — mulai dari produksi, organisasi, manajemen proyek, engineering, purchasing, budgeting, dan maintenance — telah dijalaninya. ”Yang sekarang ini merupakan pos saya ke-9,” ungkapnya. Hingga suatu hari, manajemen menyodorinya kuesioner untuk mengetahui talentanya. Setelah mengisi kuesioner, Djungdjung baru mengerti bahwa dirinya bukan tergolong seorang leader, tapi spesialis. “Hasil mapping menyatakan, saya orang yang introvert, future, thinking (based on head), dan organized,” kata Djungdjung tentang talentanya.

Dari situ ia mulai diarahkan menjadi spesialis. ”Perusahaan sedang membangun kultur yang digali dari masing-masing orang. Sekarang, saya diminta menanganinya agar kami menjadi perusahaan kelas dunia,” tuturnya mengenai pekerjaannya saat ini. Ketika masih di bagian produksi, Djungdjung memiliki 120 anak buah. Sekarang, ia tidak lagi menangani anak buah. Namun, baginya itu bukan masalah. ”Saya jadi bisa fokus ke pekerjaan saya karena tidak perlu memikirkan orang lain.”

Mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan Tuty Herlina yang bertajuk ”Nilai Stratejik SDM” (LM-FEUI, 2006), bila perusahaan ingin mencapai keunggulan kompetitif melalui SDM, dibutuhkan banyak waktu dalam pencapaiannya. Akan tetapi, bila tujuan tu telah tercapai, secara substansial dapat bertahan lebih lama dan lebih sulit diduplikasi pesaing. Di sisi lain, diperlukan banyak waktu untuk menerapkan banyak praktik serta output yang dihasilkannya.

Kendati penerapan Talent Based di IGP sudah berjalan baik, Pande menyadari, untuk mengetahui hasilnya harus ada evaluasi. Namun, bagaimana mengevaluasinya? Yang menarik, ia tidak mengukur keberhasilan seseorang dari sisi performanya. Lalu, dari mana? ”Kami mengukurnya dari peningkatan kompetensi plus motivasi karyawan. Sedangkan performa merupakan hasil kali dari kompetensi dan motivasi seseorang. Jadi, bila kompetensi dan motivasinya meningkat, dapat dipastikan performanya pun akan naik,” Pande menjelaskan dengan bersemangat. Namun, demi menghindari subjektivitas di dalam proses evaluasinya, semua karyawan di lapis ke-2 dikumpulkan untuk memberi penilaian.

Hasil positif dari penerapan Talent Based, setidak-tidaknya telah meringankan tugas salah seorang Kepala Pabrik, Marusaha Sitorus. Sejak perusahaannya mengimplementasi konsep ini, ia mengaku, beban pekerjaannya berkurang. Sebelumnya, Marusaha tak pernah pulang cepat. ”Saya sering pulang tengah malam karena selalu saja ada pekerjaan di pabrik yang harus saya bereskan,” ujarnya mengenang. Sebagai Kepala Pabrik, dia dituntut harus bisa menangani berbagai masalah di pabrik. Semestinya, tugas itu bisa dibagi kepada lima manajer di bawahnya. Namun, menurutnya, selalu saja ada yang kurang beres sehingga ia mesti turun tangan. Hal ini membuat lulusan Teknik Industri ITB ini tak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Bahkan, sekadar mengikuti pelatihan yang bisa meningkatkan kompetensinya pun ia sering tak bisa.

Ketika ide mengenai Talent Based dilontarkan, ayah tiga anak ini termasuk yang mendukung. Ia berpendapat, bila anak buahnya bekerja selaras dengan talentanya, tentu akan memudahkan pekerjaannya juga. Dan, memang benar. ”Sekarang pekerjaan saya jadi lebih ringan. Para manajer di bawah saya sudah bisa dipercaya. Saya juga tidak perlu lagi pulang larut malam, sehingga bisa sering berkumpul dengan keluarga,” katanya senang.

Berdasarkan pengalaman di IGP, Pande yakin, Talent Based bisa diterapkan di perusahaan apa pun. ”Perusahaan kecil pun bisa mengimplementasi konsep ini,” katanya optimistis. Hanya saja, bagi perusahaan yang ingin menerapkannya, dibutuhkan komitmen yang tinggi dari semua level, terutama para pemimpinnya. Sebab, bila ternyata sebagian besar karyawan bekerja tidak sesuai dengan bakatnya, perusahaan harus mampu mencarikan job role baru.

No comments: