BERFIKIR SECARA BISNIS
Rhenald Kasali. PhD. - Pasca Sarjana Universitas Indonesia
PT Dirgantara Indonesia nama yang indah, dan mungkin belum banyak yang pernah mendengarnya. Tapi kalau disebut IPTN (Industri Pesawat Terbang Nasional), bisa jadi seluruh orang Indonesia yang melek baca dan pernah menonton televisi pernah mengetahuinya. Keduanya, secara esesial tidak berbeda karena merujuk kepada satu perusahaan: satu-satunya produsen pesawat terbang Indonesia.
Beda lainnya adalah, PT Dirgantara Indonesia lebih mengesankan profesionalisme. Nama baru ini terkesan akan meninggalkan paradigma lama yang telah diterapkan sejak tahun 1974, ketika perusahaan ini didirikan oleh BJ Habibie, salah seorang ilmuwan terhormat di Indonesia. Sedangkan IPTN mempunyai image sendiri sebagai perusahaan yang tidak mandiri, kurang efisien dan banyak mendapat bantuan dari pemerintah.
Nama perusahaan dalam dunia bisnis tentu saja mengandung arti yang sangat penting. Tadi saya katakan nama baru ini lebih mengesankan profesionalisme, atau lebih tepatnya kita katakan saja bahwa PT Dirgantara Indonesia mengesankan akan dijalankan secara profesional. Mengapa demikian? Jawabnya adalah untuk membuktikan keinginan tersebut dibutuhkan waktu yang cukup lama, sedangkan nama PT Dirgantara Indonesia baru diresmikan pada 23 Agustus 2000. Belum sampai setahun. Sedangkan masa "tidak profesionalnya" berlangsung hampir seperempat abad! Sejak berdiri, tahun 1974 yang lalu. Jadi, memang diperlukan kesabaran yang tinggi untuk membuktikannya, dan kesungguhan yang amat serius dari para pengelolanya.
Tetapi, jika predikat profesional tersebut sudah terasa, masyarakat umum akan memuji langkah yang ditempuh oleh manajemen PT Dirgantara. Kesan profesional tersebut akan terasa oleh masyarakat jika manajemen memancarkan signal-signal positif kepada masyarakat luas, bahwa manajemen Dirgantara akan meninggalkan cara lama dalam mengelola perusahaan yang memproduksi pesawat tersbang ini. Signal positif tersebut harus dipancarkan terus menerus sampai terbentuk persepsi bahwa PT Dirgantara memang betul-betul dijalankan secara bisnis yang benar, profesional, dan tidak lagi bergantung kepada pemerintah dan lembaga lain. Ukuran yang paling sederhana adalah usaha ini sudah bisa mandiri secara finansial (self financing), bisnisnya efisien, mampu bersaing di dalam dan luar negeri, punya sumber daya manusia yang mumpuni.
Selama 25 tahun berjalan, PT IPTN memang masih jauh dari sebutan self financing, dan banyak ekonom yang tidak percaya IPTN akan mampu mencapainya. IPTN berjalan bagaikan bayi raksasa yang gemar makan sehingga membutuhkan dana yang amat besar, bahkan mungkin paling besar dari semua kebutuhan perusahaan yang pernah berdiri di Indonesia. Hal ini bukannya tidak disadari oleh Habibie dan timnya. Ini terlihat dari keterlibatan Presiden Suharto, ketika masih berkuasa, mencarikan dana dari segala sumber. Bahkan dana reboisasi yang bukan pada tempatnya juga ditanamkan pula ke IPTN.
Usaha terakhir untuk mewujudkan cita-cita menerbangkan produk terunggul IPTN, N2130, dilakukan oleh Presiden Suharto dengan membentuk PT DSTP. PT ini bertugas menghimpun dana masyarakat dengan cara yang tidak biasa: menjual saham tanpa keuntungan selama delapan tahun, dan saham yang dibeli tidak bisa diperjualbelikan seperti layaknya saham-saham perusahaan publik. Belum ada perusahaan manapun yang mampu atau diizinkan menghimpun dana seperti ini. Sekarang perusahaan ini tidak terdengar lagi ceritanya.
Tentu saja masih ada banyak lagi cerita miring yang lahir dari IPTN. Dalam satu kalimat mungkin bisa disimpulkan bahwa IPTN lahir dan dibesarkan dengan bantuan kekuasaan Suharto yang memang amat berkuasa ketika itu. Bantuan ini bukan saja dalam bentuk pendanaan, tetapi juga dalam marketing. Ya, kita masih ingat bahwa pembeli pesawat yang dihasilkan oleh IPTN adalah pemerintah dan negara asing yang bisa dikatakan mempunyai hubungan baik dengan Pemerintah Indonesia.Tanpa bantuan pemerintah, sukar rasanya bayi IPTN merangkak dan mampu mencapai usia 25 tahun seperti saat ini.
Karena itu, wajar pula IPTN sedikit sekali memancarkan signal positif ke masyarakat Indonesia. Bahkan sebaliknya selalu melancarkan signal negatif. Artinya, IPTN tercinta sebagai proyek mercusuar, pemborosan uang negara dan sebagainya.
Bahkan sejak perusahaan ini baru berdiri, signal negatif sudah ditangkap oleh para ekonom di tanah air. Mereka mengambil sikap yang berseberangan dengan BJ Habibie, penggagas IPTN, yang kebetulan pada saat itu sangat dekat dengan Suharto yang amat berkuasa. Hal ini bisa dimengerti, karena kedua belah pihak berpikir dengan jalur yang berbeda, mempunyai latar belakang yang berbeda, dan mempunyai kepentingan yang berbeda, kendati keduanya menginginkan Indonesia agar maju di masa depan.
Seperti kita sering dengar, BJ Habibie menginginkan ada lompatan teknologi agar Indonesia cepat tinggal landas. Karena itu, ibarat mengendarai sebuah mobil, Habibie menekan pedal gas dalam-dalam agar Indonesia tumbuh lebih cepat. Bagi Habibie, masa depan adalah teknologi tinggi yang mampu menjadi lokomotif perekonomian.
Sebaliknya, para ekonom berpikir, Indonesia harus berorientasi kepada pertanian, mata pencarian sebagian besar rakyat. Jika jalur ini yang dipilih, maka kemakmuran bisa dicapai dengan lebih merata.
Dua hal di atas telah menjadi wacana publik tanpa kesimpulan yang pasti siapa yang benar dan siapa yang salah, dan tampaknya kedua belah pihak semakin yakin dengan pendapatnya masing-masing. Perdebatan ini jika diteruskan hanya akan menghabiskan energi saja. Sebaiknya kita hentikan saja. Sebab PT Dirgantara Indonesia sekarang tidak lagi mendapat bantuan dari pemerintah. Bahkan sejak tahun 1996 pemerintah seperti kehabisan dana untuk menyusui perusahaan ini, dan memaksa manajemen menjalankan perusahaan seperti layaknya perusahaan swasta.
Hal ini sebenarnya positif bagi PT Dirgantara. Sebab, dengan begini akan terukur dengan jelas apakah usaha Dirgantara layak diteruskan secara bisnis atau tidak. Jika layak, ya diteruskan. Jika tidak, dicarikan solusinya, termasuk soal SDM dan lainnya.
Tetapi, kalau melihat business plan yang disusun manajemen, terlihat adanya keyakinan yang besar bahwa usaha ini layak diteruskan. Namun begitu, untuk menentukan hal ini sebenarnya bukanlah pekerjaan yang mudah. Hanya orang-orang yang betul-betul mengerti bisnis pesawat terbang sajalah yang bisa menilainya. Saya tidak bisa melihat masa depan bidang tersebut. Sehingga sebagai orang awam di bidang pesawat terbang, saya lebih memilih mempercayai business plan yang dibuat manajemen Dirgantara, sepanjang menyangkut pesawat terbang.
Bila membaca business plan tersebut, orang awam tentu akan terpesona oleh langkah yang diambil PT. Dirgantara dalam mengembangkan usahanya. Disebutkan bahwa manajemen mempunyai 4 langkah besar dalam penguasaan teknologi. Yaitu:
Pengenalan teknologi: pemanfaatan teknologi yang sudah ada untuk mencapai proses nilai tambah.
Integrasi teknologi: mengintegrasikan teknologi yang ada untuk membuat pesawat. Produk utamanya CN235
Pengembangan teknologi: teknologi yang ada dan teknologi baru dikembangkan untuk membuat pesawat baru. Produk utamanya N250
Penelitian dasar industri: melakukan penelitian untuk menemukan metoda/teknologi baru. Produk utamanya N2130.
Kalau mengikuti pemberitaan di media massa, sebenarnya Dirgantara telah melalui keempat tahap di atas. Kita sudah menyaksikan prototype N250, dan proyek ini dihentikan pendanaannya dari pemerintah. Sedangkan untuk pesawat jenis N2130, seperti disebut diatas, telah diupayakan dana pembuatannya. Namun semua langkah Dirgantara itu seperti terhenti. Penyebab utamanya yang disebut-sebut oleh manajemen adalah terjadinya krisis ekonomi, dan peristiwa-peristiwa ekonomi beberapa negara maju yang menyebabkan potensi pasar produk Dirgantara terganggu.
Selain itu disadari pula bahwa beban perusahaan terlalu berat untuk menggaji 15.500 karyawan (sehingga sebagian harus dirumahkan). Disebut juga masih banyak hutang yang belum terselesaikan sehingga struktur permodalan perusahaan tidak sehat. Di samping masih ada penumpukkan aset yang tidak produktif.
Di luar masalah krisis ekonomi, saya membaca, semua yang terjadi di Dirgantara menunjukkan bahwa telah terjadi salah urus (miss-management). Sehingga, akibat lebih jauhnya adalah tidak tercapainya tujuan perusahaan. Bahkan saya berani menyimpulkan sejak lama manajemen PT. Dirgantara berfikir tidak secara bisnis. Berfikir secara bisnis artinya perusahaan yang dijalankan harus layak beroperasi secara bisnis, usaha tersebut menghasilkan laba bagi perusahaan agar cashflow-nya aman. Jika rugi terus menerus, dan trend ke depannya ruginya makin besar, usaha ini tidak layak diteruskan. Jadi dengan kata lain manajemen harus kritis, bersifat dinamis dan selalu melakukan terobosan-terobosan baru untuk menembus batas kekalahan.
Berfikir secara bisnis bisa terlihat dari visi perusahaan ini di masa depan. Setelah saya membaca visi perusahaan ini, rasanya masih jauh dikatakan bahwa manejemennya berfikir secara bisnis 100%. Sebab, dari empat tujuan dari berdirinya perusahaan ini, tiga di antaranya mengemban tugas negara. Yaitu, pertama, untuk menumbuhkan kekuatan bangsa di bidang kedirgantaraan untuk menunjang ketahanan dan keamanan nasional. Kedua, menguasai teknologi kedirgantaraan beserta pengembangan untuk mengurangi ketergantungan dari luar. Dan ketiga, menjadi salah satu perusahaan pendorong pertumbuhan industri nasional.
Hanya satu statement yang menyatakan bahwa Dirgantara dibentuk agar mandiri secara bisnis serta mampu bersaing di pasar internasional. Dan visi ini ditempatkan bukan di urutan pertama. Hal ini memperkuat dugaan bahwa awalnya perusahaan ini dibentuk dengan pola berfikir bukan secara bisnis. Kepentingan lain, tampak lebih kental ketimbang kepentingan bisnisnya. Kalau perusahaan berpikir secara bisnis tentu ia akan memulai visinya dengan konsumennya, bukan negara.
Hal ini tentu membawa kosekuensi lain di pundak perusahaan selain mencetak laba. Beban itu terasa sangat berat sehingga membebani perusahaan. Sesungguhnya, kalau melihat materi visi tadi, memang sudah seharusnya Dirgantara dibantu pemerintah agar bias mewujudkan keinginan dari pendiri perusahaan IPTN atau Dirgantara ini. Jadi motif bisnis makin menjauh.
Dari uraian ringkas di atas, saya ingin menekankan pentingnya bagi PT Dirgantara untuk merumuskan visi dan misi perusahaan yang sesuai dengan kondisi terakhir. Visi tersebut harus jelas-jelas memperlihatkan cara berfikir secara bisnis, bahwa perusahaan ini dipertahankan untuk mencetak laba, bukan tujuan yang lain. Untuk sementara lupakan dulu tujuan ideal bahwa Dirgantara sebagai penunjang ketahanan dan keamanan nasional. Sebab, tujuan yang sangat mulia tersebut tidak akan tercapai jika perusahaan tidak memiliki struktur keuangan yang sehat.
Jika secara financial perusahaan ini sudah mandiri, barulah 3 tujuan lainnya bisa dicapai. Jika mengabaikan self financial, secara logis saja bisa dikatakan, bahwa perusahaan ini pasti tidak akan mampu mengemban tugas lainnya, kecuali pemerintah terus kembali membantu keuangan perusahaan.
Jika pemerintah membantu, sebenarnya itu sama saja memperpanjang usia rugi bagi perusahaan, dan akibatnya jauh lebih fatal. Pada akhirnya perusahaan akan merugi juga.
Mumpung sekarang usia ke 25, dan baru mengganti identitasnya, ada baiknya PT Dirgantara berpikir ulang tentang misi dan visi perusahaan. Dengan visi dan misi baru, serta nama baru, industri pesawat terbang ini akan mempunyai peluang untuk maju.
Kalau hal ini tidak dilakukan sekarang, kapan lagi?
***
Rhenald Kasali, PhD.
Penulis adalah ketua Program Ilmu Manajemen - Pasca Sarjana UI. Memperoleh gelar PhD dari Universitas Illinois at Urbana & Champaign, Amerika Serikat dengan disertasi: "Using Communication Strategies to Design Food Marketing Strategies: The Pork Fat Rumor in Indonesia". Selain itu ia juga memperoleh gelar Master of Science dalam bidang Business Administration dari universitas yang sama. Pada tahun 1999 bersama dengan beberapa ahli turut membina IMeDE (Institute of Marketing Education) dan menjadi ketua umum FORMASI (Forum Masyarakat Komunikasi). Banyak terlibat dalam memberikan konsultasi bisnis dan riset pemasaran, mendampingi sejumlah perusahaan dalam merekrut advertising agency dan merumuskan strategi komunikasi pemasaran, mendampingi pengembangan produk, dan merumuskan strategi pemasaran. Keahliannya terutama dalam bidang manajemen pemasaran, prilaku konsumen, komunikasi, dan strategi. Ceramah-ceramahnya yang meliputi topik-topik seperti paradigm shift, consumer behavior, marketing management, STP (Segmentation, Targeting dan Positioning), advertising strategy, public relations, marketing plan, dan change management banyak diminati kalangan bisnis (domestik dan asing) dan akademisi sekaligus. Ceramah bisnisnya yang diberikan secara terbuka di berbagai kota selalu dipadati sekitar 200-400 peminat yang tak beranjak hingga seminar berakhir. Ia telah menulis 8 buah buku. Selain mengajar di Pasca Sarjana UI, FEUI, MMUI, dan MM Komunikasi UI, ia juga menjadi dosen terbang pada Program MM Universitas Udayana (Bali), Universitas Tanjung Pura (Pontianak), Universitas Bengkulu, dan Universitas Surabaya. Ia memiliki pengetahuan yang intens tentang praktek dunia bisnis di Indonesia, namun punya background teori yang kuat. Latar belakangnya sebagai jurnalis sangat mewarnai tulisan-tulisannya yang kaya pengalaman dan konsep. Ulasannya selalu menjadi referensi pengambil keputusan bisnis asing di Indonesia, dan sering difotokopikan para pemimpin bisnis untuk menjadi bahan diskusi. Ulasan-ulasannya dapat ditemui secara rutin di tabloid bisnis Kontan dan berbagai media lainnya. Ia juga mengasuh acara Bedah Bisnis Rhenald Kasali setiap Senin pagi di radio M97 FM dan acara Solusi di ANTV.
No comments:
Post a Comment