Sunday, January 16, 2011

Yanuar Nugroho Raih Hallsworth Fellowship Award di Inggris



Setelah akhir 2009 lalu didapuk sebagai Staf Akademik Terbaik di Manchester Business School, Universitas Manchester, Inggris. Tahun ini, Dr. Yanuar Nugroho, dosen dan peneliti di Manchester Institute of Innovation Research, Manchester Business School itu meraih “Hallsworth Fellowship Award”, yaitu salah satu penghargaan internasional bergengsi di bidang ekonomi dan politik di Inggris.

Yanuar merupakan satu-satunya dari kawasan Asia yang menerima penghargaan itu. Dalam keterangan persnya di London, 20 Juli 2010, ia mengatakan, penghargaan itu adalah pengakuan dari komunitas akademik atas semua yang dikerjakan selama ini.

“Apa yang saya teliti, saya tulis, saya sampaikan, dan saya bicarakan dalam berbagai kesempatan, termasuk di Indonesia, semoga menjadi inspirasi dan semangat bagi para peneliti Indonesia lainnya,” ujarnya.

Menurut dia, pengembangan studi ekonomi-politik berdampak besar pada perkembangan masyarakat karena menyangkut kerja ekonomi, konsekuensi sosial dari aktivitas ekonomi, serta tindakan pemerintah mempengaruhi kinerja ekonomi dan struktur institusional dari pemerintah.

“Selama lebih dari dua dasawarsa terakhir ini Hallsworth Fellowship cukup bergengsi di dunia dan menarik minat para peneliti, namun yang menerimanya harus melakukan penelitian di Universitas Manchester,” tutur Yanuar.

Kajiannya tentang inovasi di sektor ketiga, yaitu non-pemerintah, non-bisnis, dilakukannya di Manchester Business School. Kajian tersebut dipandang oleh Komite Hallsworth mempunyai dampak besar terhadap ekonomi-politik di negara berkembang maupun di negara maju.

“Hallsworth Fellowship Award” merupakan skema penghargaan dan pengakuan atas capaian akademik yang dirintis Profesor H. M. Hallsworth tahun 1944 untuk mengembangkan studi ekonomi-politik. Berdasarkan catatan Universitas Manchester, Yanuar adalah warga Asia Tenggara pertama yang menerima “Hallsworth Fellowship Award” sejak diberikan pertama kali pada 1944 silam.

Tahun ini, lebih dari 400 kandidat “Hallsworth Fellowship Award” datang dari seluruh penjuru dunia, termasuk Kanada, Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara di Eropa, termasuk Inggris.

Pada umumnya, penerima penghargaan tersebut berasal dari negara-negara maju. Laksana “bintang baru”, pada 2010 inilah kali pertama penghargaan tersebut jatuh ke tangan seorang peneliti dari negara berkembang seperti Indonesia.

Tercatat, selama di Manchester sampai saat ini, Yanuar telah terlibat dalam lebih dari 17 penelitian yang didanai oleh Dewan Riset Eropa, Dewan Riset Inggris, dan Dirjen Riset Uni Eropa. Kajian-kajiannya banyak berfokus pada bidang inovasi dan keberlanjutan (Innovation and Sustainability).

Tidak mengherankan, beberapa tahun terakhir ini ia kerap ditunjuk menjadi fasilitator dalam perumusan kebijakan sains dan teknologi di beberapa negara anggota Uni Eropa. Seperti pada 12 Juli 2010 lalu, ia menjadi salah satu pembicara seminar Moving Towards A Capable Nation Through Innovation, Multi-Perspectives from Enterpreneur, Academican, and Government di Prasetiya Mulya Business School, Jakarta.

Alumnus dari Fakultas Teknik Industri ITB ini pun telah mempublikasikan gagasan-gagasannya di sejumlah jurnal internasional, menyampaikan presentasi di berbagai konferensi internasional dan menjadi dosen tamu di sejumlah perguruan tinggi bergengsi seperti di Oxford dan Cambridge.

Terhitung, selama di Indonesia dalam kurun 1994-2004, Yanuar tercatat aktif di sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi masyarakat sipil seperti ELSPPAT (Bogor), Uni Sosial Demokrat (Jakarta), dan Business Watch Indonesia (Solo). Kemudian sejak 2008, Yanuar menjadi peneliti di Universitas Manchester.

Setelah bekerja di Universitas Manchester, penghargaan sebagai Staf Akademik Terbaik pada akhir 2009 lalu itu memberinya “kenaikan pangkat” luar biasa dari level associate ke levelfellow. Yanuar mengungkapkan, akan menggunakan dana riset dari fellowship itu untuk meneruskan penelitian yang sudah dimulai dan dikerjakannya selama ini.

Yanuar merintis kajian-kajian tentang inovasi sektor ketiga itu sejak ia mengerjakan disertasi doktoralnya pada 2004 lalu, yaitu tentang organisasi masyarakat sipil di Indonesia yang berinovasi dalam gerakannya melalui penggunaan internet untuk demokratisasi. Intisari gagasan penelitian itu diteruskannya hingga saat ini.

Tak hanya sektor ketiga di Indonesia, Yanuar juga melakukan kajiannya di Eropa dengan gagasan berupa “Penanaman Kembali Inovasi pada Konteks Sosial yang Konkrit” (re-embedding innovation into it’s real societal contexts).

Pada penelitian itu, ia menunjukkan pada Komite Hallsworth, bahwa studi inovasi yang umumnya dilihat dan dikaji secara sangat teknis dan terbatas dari kacamata studi sains dan teknologi, ekonomi dan sosiologi, ternyata berimplikasi ekonomi-politik yang sedemikian luas. Penelitian dan kajian akademik di bidang itulah yang membuat Yanuar digelari penghargaan sebagai Staf Akademik Terbaik di Manchester Business School, akhir 2009 lalu.

Sumber: Kompas

Yanuar Nugroho: Research Associate di Sekolah Bisnis No.1 Dunia di Inggris

Berkarier di negeri orang bukanlah impian Yanuar Nugroho. Semua mengalir begitu saja seperti air. Maklum, pria kelahiran Solo, 15 Januari 1972, ini datang ke Inggris untuk mengambil gelar Ph.D di Manchester Business School (MBS), yang menurutFinancial Times merupakan sekolah bisnis nomor satu di dunia pada 2008 dan 2009.


“Saya beruntung bisa menyelesaikan Ph.D saya dalam waktu kurang dari tiga tahun walau saya kerjakan paruh waktu karena disambi bekerja,” ujar lulusan Teknik Industri Institut Teknologi Bandung, 1994 ini. Barangkali karena prestasi itulah, Yanuar ditawari mengambil program post-doctoral tanpa seleksi. Program pascadoktor yang resminya 18 bulan itu akhirnya ia selesaikan hanya dalam 9 bulan.

Pada Agustus 2008 ia diminta menjadi staf akademik dan riset tetap — disebut research associate — di Institut Kajian Inovasi MBS. Di institusi ini ia merupakan salah satu dari dua orang peneliti Asia, sisanya berasal dari 16 negara di Eropa dan Amerika Serikat.

Bekerja di luar negeri memiliki tantangan tersendiri bagi Yanuar. Tantangan terbesarnya adalah komunikasi. “Tak ada jalan pintas menghadapi tantangan ini kecuali dengan terus melatih diri. Saya pun belum maksimal saat ini dan masih harus terus belajar,” ungkap pendiri dan pemimpin Business Watch Indonesia, sebuah LSM, pada 2002 ini.

Hal lain yang menantangnya adalah bekerja dengan rekan peneliti sejawat dan membimbing atau mengajar para mahasiswa yang berbeda latar belakang kebangsaan dan budaya. Menurutnya, mahasiswa dan rekan sejawatnya sangat kritis. Mereka tanpa ragu dan sungkan bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tajam.

Lalu, apa kunci keberhasilannya? ”Saya mengikuti aturan main. Justru di situlah, saya kira strateginya. Yakni, memahami aturan main sedetail mungkin dan mencoba berada dua atau tiga langkah di depan,” ujar peraih gelar master di bidang information systems engineering dari University of Manchester Institute of Science & Technology, Inggris, 2001 ini.

Misalnya, saat masih mahasiswa Ph.D, ia tahu bahwa posisi pascadoktor butuh persiapan data dan metodologi. Karena itu, meski masih mahasiswa, ia menyiapkan data dan mengasah kemampuan metodologinya. Maka ketika ada peluang studi pascadoktor, mantan Direktur Akademis Universitas Sahid Surakarta ini merupakan satu-satunya calon yang siap saat itu dan ia mendapatkannya tanpa seleksi.

Ia punya pengalaman unik selama bekerja di sana. Suatu hari, salah satu perguruan tinggi di Tanah Air pernah menghubungi MBS dan meminta sebuah kuliah tamu untuk program pascasarjana. MBS menugasi Yanuar mengambil peran ini, karena bidang kajian inovasi dan pembangunan yang diminta tersebut merupakan keahliannya. MBS berpikir akan lebih efektif jika ia yang menyampaikan kuliah karena ia orang Indonesia. Apa yang terjadi? Perguruan tinggi di Tanah Air tersebut menolak dirinya. Alasannya, mereka butuh orang yang lebih pakar. Alhasil, yang berangkat ke Indonesia dan memberi kuliah adalah juniornya, yang untuk menyiapkan presentasinya masih butuh bantuan dirinya. “Entahlah, saya tidak tahu harus tertawa atau menangis melihat mentalitas kita yang seperti itu,” katanya.

Bisa jadi karena kondisi ini pula, ia tak ingin tergesa-gesa pulang ke Indonesia. “Barangkali 3-5 tahun ke depan,” ujarnya. “Jika saya pulang, atau dipanggil pulang oleh pemerintah, saya ingin mengabdi dalam penyusunan kebijakan iptek dan inovasi bagi pembangunan. Mudah-mudahan ada jalan.”

Sumber: SWAsembada


No comments: