Sunday, January 16, 2011

Effendy: Profesor Kimia yang Menolak Tawaran dari Luar Negeri




Namanya cukup singkat, Effendy, Ph.D. Pada usia 38 tahun, dia sudah menjadi doktor bidang kimia anorganik fisik, konsentrasi kristalografi dari University of Western Australia. Dia tergolong profesor langka di Indonesia karena menekuni bidang yang langka.

Sejak 1990 hingga saat ini, Effendy tercatat telah melakukan 74 kali penelitian. Semuanya terpublikasi dalam jurnal internasional. Antara lain Australian Journal of Chemistry, Inorganic Chemistry Communication, Inorganica Chimica Acta, The Journal of Chemical Society, dan Dalton Transactions. Termasuk jurnal kimia berbahasa Jerman, Zeitschrift für Anorganische und Allgemeine Chemie.

Peneliti kelahiran Bululawang, Malang, 29 September 1956 itu juga menulis artikel untuk beberapa jurnal nasional bidang kimia. Termasuk puluhan artikel yang dia tulis untuk jurnal MIPA UM (Universitas Negeri Malang, dulu IKIP Malang), forum penelitian di Lemlit UM, dan media Alchemie FMIPA Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS).

Sejak 1985, dosen di Departemen Kimia UM itu juga menulis delapan buku kimia. Baik untuk jenjang SMA maupun jenjang pendidikan S-1. Beberapa buku yang dia tulis dalam bahasa Inggris diperuntukkan bagi siswa SMA berstandar internasional. ­Buku pertamanya berjudul: Teori VSEPR: Teori Kepolaran dan Gaya Antarmolekul. Buku ini diselesaikan dalam waktu 20 tahun, sejak masih kuliah S-1. Sedangkan buku-buku lain dia selesaikan, rata-rata 10-15 tahun.

Penelitian yang dilakukan Effendy konsisten dalam bidang kimia anorganik fisik, konsentrasi kristalografi. Dia melakukan penelitian secara berantai dalam bidang yang masih jarang diterjuni peneliti kimia di Indonesia. Karena ketekunannya dalam bidang itulah, hingga saat ini dia masih aktif sebagai visiting researcher pada departemen kimia di The University of Western Australia. Tenaganya masih dibutuhkan di sana.

Golongan penelitian yang ditekuni bapak tiga putra itu adalah basic science (ilmu pengetahuan dasar) kimia.

“Tanpa penelitian basic science yang kuat, sulit bagi negara ini bisa cepat maju dalam pembangunan bidang kimia. Bidang kimia banyak sekali kaitannya dengan kehidupan,” ungkap dosen teladan UM 1997 itu.

Dia mencontohkan, penelitiannya banyak berhubungan dengan struktur sebuah senyawa. Termasuk mensintesis (menciptakan) sebuah senyawa baru. Dengan mengetahui sebuah struktur suatu senyawa kimia secara jelas, bisa diprediksikan kegunaan sebuah senyawa tersebut. Senyawa baru yang dibuat dan dipetakan struktur atomnya bermanfaat untuk reaksi yang lebih besar. Kegunaannya bisa untuk dunia kedokteran, pertanian, industri, dan obat-obatan.

Di banyak universitas luar negeri, keahlian mengutak-atik struktur sebuah senyawa kimia penting untuk pembuatan obat-obatan kimia. Pengetahuan struktur sebuah senyawa bisa untuk menentukan arah reaksi yang diharapkan. Dengan begitu, banyak problem dalam kehidupan yang bisa diperbaiki dengan pendekatan pengetahuan struktur sebuah senyawa kimia.

“Beberapa penelitian saya digunakan untuk aplikasi pembuatan antikanker, antijamur dan antibakteri oleh ilmuwan di Australia,” ungkap Effendy.

Menjadi peneliti, katanya, adalah tugas dosen. “Tugas dosen utamanya adalah meneliti untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Di luar negeri, semua dosen begitu. Hanya di Indonesia yang tidak begitu,” sesalnya.

Saran dia kepada para dosen, mereka harus mulai konsentrasi melakukan penelitian. Sebaiknya mereka bekerja sama dengan peneliti dari luar negeri untuk bisa mengatasi masalah pendanaan. Sebab, dana penelitian sangat besar. Dia contohkan, untuk membuat sebuah senyawa baru, minimal dibutuhkan dana USD 2.000 (sekitar Rp 19 juta). Itu belum termasuk analisis struktur dan segala aspek lain. Tanpa kerja sama dengan peneliti luar negeri, sulit menghasilkan penelitian yang berkualitas dan dijadikan referensi internasional.

Dengan keilmuan yang dia kuasai, Effendy mendapat banyak penawaran mengabdi secara tetap di institusi pendidikan lain di luar negeri, misalnya The University of Western Australia, maupun sebuah universitas di Kanada. Beberapa perguruan tinggi di dalam negeri, sebut saja ITB, UGM, dan UI, juga pernah menawarinya untuk pindah meneliti. Namun, semua tawaran itu dia tolak. Hingga kini dia masih bertahan sebagai peneliti dan dosen kimia UM. Untuk tawaran luar negeri, dia memilih menjadi visiting researcher (peneliti tamu).

Mengapa semua tawaran itu dia tolak? Bagi Effendy, menjadi manusia bermanfaat jauh lebih penting ketimbang hanya mengejar materi. Untuk menjadi manusia bermanfaat bagi banyak orang, haruslah memilih wilayah yang banyak terdapat masalah. Indonesia, kata Effendy, masih punya segudang masalah yang bisa diselesaikan dengan kemampuan keilmuan yang dia miliki. Berbeda dengan negara maju yang sudah banyak tenaga ahli kimia.

Dia merasa lebih banyak bermanfaat bagi masyarakat apabila berada di Indonesia. Di luar negeri, meski kompensasi materi jauh lebih besar, dia menganggap manfaatnya hanya untuk sekelompok orang. “Saya tetap harus membangun Indonesia ini. Sebab, di sini masih banyak problem yang harus dijawab. Buku pelajaran kimia yang selalu up to date dengan perkembangan ilmu pengetahuan dunia saja, belum banyak yang ngurusi,” kata profesor yang lahir di desa kecil bernama Wandanpuro, Kabupaten Malang itu.

Ke depan, siswa bimbingan dari Prof. Allan H. White, Ph.D (profesor dengan publikasi terbanyak di dunia) itu ingin mendirikan pusat kristalografi di UM. Kristalografi bisa dikatakan sebuah metode cepat dan modern untuk mengetahui sebuah struktur senyawa kimia. Dengan kristalografi, banyak jenis bahan alam yang bisa diidentifikasi struktur kimianya untuk kemudian diarahkan kepada manfaat yang diinginkan.

“Di Indonesia pusat kristalografi belum ada. Bahkan, di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sekalipun. Padahal, alat dan metode ini sangat penting untuk kemajuan ilmu pengetahuan kimia dan kimia aplikasi,” kata peneliti yang mengisi waktu luangnya dengan kegiatan bersih-bersih di rumah itu.

Sumber: Jawa Pos

No comments: