MEMAHAMI GLOBALISASI :
Proses Integrasi Umat Manusia dalam Arus Kapitalisme Global
Pendahuluan
"Globalisasi telah menimbulkan ketidakadilan, yang cenderung meningkat dalam dekade mendatang, di mana negara berkembang mengalami masa transisi yang sulit untuk menjadi lebih kompetitif, transparan dan mampu mengikuti sistem pasar. Dalam masa transisi tersebut, harus diutamakan upaya untuk meminimalkan dan mengelola ketidak adilan serta penerapan sistem pasar yang seadil mungkin.
Salah satu solusi yang mungkin terbaik untuk mengatasi ketidak adilan sebagai akibat terburuk dari globalisasi adalah pendidikan. Semakin intensif pendidikan akan mengurangi ketidak adilan dalam jangka panjang. Namun demikian adanya ketidak adilan yang besar menyebabkan sulitnya menyediakan pendidikan yang baik bagi mereka yang tidak mampu secara ekonomi. Dengan demikian akan terjadi ketidak adilan yang semakin besar lagi di masa mendatang."
Tulisan di atas adalah cuplikan abstraksi orasi ilmiah dari Prof. dr. Ir.Satryo Soemantri Brodjonegoro, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Indonesia. Orasi ini disampaikan pada upacara Dies Natalis ke-50 Universitas Sumatera Utara pada tanggal 20 November 2002. Orasi tersebut menyiratkan bahwa kata globalisasi menjadi determinan terpenting dalam agenda Reformasi Pendidikan Tinggi (yang sekaligus menjadi judul dari orasi ilmiah tersebut). Dengan latar belakang inilah maka kata globalisasi menjadi penting untuk dipahami agar dapat melihat dengan jelas konteks perubahan pengelolaan pendidikan beserta dampak kapitalisasi dan liberalisasi sektor ini. Pemahaman terhadap fenomena globalisasi ini juga memudahkan kita untuk melihat apa yang sedang terjadi pada dunia ini sekaligus memprediksi beban serius yang menimpa masyarakat saat ini dan di masa yang akan datang. Selain itu, memahami lebih dekat globalisasi menjadikan proses persuasi dalam memberikan tawaran solusi Islam dapat lebih arif dan argumentatif.
What They Say About Globalization
Untuk memahami dan membuat penyimpulan tentang globalisasi ada baiknya kita mendengar secara langsung apa yang dimaksud oleh banyak kalangan ketika merumuskan dan menjelaskan kata globalisasi. Hal ini penting agar kita dapat mengapresiasi pemahaman yang berkembang terkait dengan isu globalisasi ini. Di samping itu studi ini akan dapat membuka cakrawala kita tentang globalisasi sehingga kita dapat menarik penyimpulan yang tepat tentang fakta globalisasi. Berikut ini dituliskan beberapa sumber pernyataan tentang globalisasi.
"Globalization, also globalisation, refers to a process of increasing global connectivity and integration between nation-states, households or individuals, corporations and other organizations. It is an umbrella term referring to increased interdependence in the economic, social, technological, cultural, political, and ecological spheres. In the context of global trade, the term globalisation is the opposite of protectionism."
Globalisasi adalah pasar yang meng-global, atau kapitalisme global. Pasar bukanlah konsep netral, tetapi nama lain dari kapitalisme. Kalau dulu bernama kapitalisme internasional, sekarang berubah nama menjadi kapitalisme global, karena secara kuantitatif telah membesar secara luar biasa. Kalau dulu sekitar tahun 1980-an, transaksi keuangan dunia hanya sekitar 300 juta dollar sehari, sekarang di tahun 1990-an meningkat tajam menjadi 1 triliun dollar sehari! Kalau dulu transaksi memerlukan waktu berhari-hari, sekarang cukup dalam hitungan per-detik, maka milyaran dollar bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain, berkat electronic mail. Jadi arti kata global mengandung arti lingkupnya yang kompak, terintegrasi dan menyatu; menggantikan ekonomi nasional dan regional.
"Globalization is an objective reality underlining the fact that we are all passengers on the same vessel, that is, this planet where we all live. But, passengers on this vessel are traveling in very different conditions.
The International Monetary Fund (IMF) provides the typical definition of globalization, which is the growing economic interdependence of countries worldwide through increasing volume and variety of cross-border transactions in goods and services, free international capital flows, and more rapid and widespread diffusion of technology. The World Bank defines globalization as the "Freedom and ability of individuals and firms to initiate voluntary economic transactions with residents of other countries".
Globalization can mean a lot of things. At one end of the spectrum, Noam Chomsky defines it as "a conspiracy of the Western elite to establish private tyrannies across the world"
Globalization means, then, the extension of the capitalist way of life to all corners of the globe.
Globalisasi adalah sebuah proses sistematis untuk merombak struktur perekonomian negara-negara miskin, terutama berupa pengerdilan peran negara dan peningkatan peranan pasar, sehingga memudahkan pengintegrasian perkonomian negara-negara miskin itu ke dalam genggaman para pemodal negara-negara kaya (Revrisond Baswir)
With the end of Cold War, globalization is globalizing Anglo-American style capitalism and the Golden Straitjacket. It is globalizing American culture and cultural icons. It is globalizing the best of America and the worst of America.
Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial , atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.(Wikipedia)
Memaknai Globalisasi sebagai sebuah Imperialisme Mutakhir Kapitalis
Bila kita telusuri makna dan definisi globalisasi di atas beserta fakta aktual yang terkait dengannya, maka semua akan sepakat bahwa globalisasi merupakan proses universalisasi suatu nilai serta tatanan kehidupan umat manusia agar seragam. Praktek universalisasi ini tidak hanya terjadi pada aspek ekonomi, namun segala bidang kehidupan umat manusia baik teknologi, politik, hukum, pemikiran, agama, pendidikan dan sebagainya. Meski harus diakui, sebagian besar diskursus yang berkembang tentang globalisasi adalah perbincangan tentang ekonomi kapitalis yaitu ekonomi neo-liberal, sebuah varian dari ekonomi kapitalis. Poin-poin pokok dari ekonomi neo-liberal ini dapat disarikan sebagai berikut:
(1). Mekanisme Pasar. Membebaskan perusahaan-perusahaan swasta dari setiap keterikatan yang dipaksakan pemerintah. Keterbukaan sebesar-besarnya atas perdagangan internasional dan investasi. Mengurangi upah buruh, pelemahan serikat buruh dan penghapusan hak-hak buruh. Tidak ada lagi kontrol harga. Sepenuhnya kebebasan total dari gerak modal, barang dan jasa.
(2) Memotong pengeluaran publik dalam hal pelayanan sosial. Ini seperti terhadap sektor pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk ‘jaring pengaman’ untuk orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, air bersih – ini juga guna mengurangi peran pemerintah. Di lain pihak mereka tidak menentang adanya subsidi dan manfaat pajak (tax benefits) untuk kalangan bisnis.
(3). Deregulasi. Mengurangi paraturan-peraturan dari pemerintah yang bisa mengurangi keuntungan pengusaha.
(4) Privatisasi. Menjual BUMN-BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor swasta. Termasuk bank-bank, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit, bahkan juga air minum. Selalu dengan alasan demi efisiensi yang lebih besar, yang nyatanya berakibat pada pemusatan kekayaan ke dalam sedikit orang dan membuat publik membayar lebih banyak.
(5) Menghapus konsep barang-barang publik (public goods) atau komunitas. Menggantinya dengan "tanggungjawab individual", yaitu menekan rakyat miskin untuk mencari sendiri solusinya atas tidak tersedianya perawatan kesehatan, pendidikan, jaminan sosial dan lain-lain; dan menyalahkan mereka atas kemalasannya.
Sebagai sebuah ideologi, kapitalisme memiliki konsep kehidupan yang komprehensif, meliputi aspek ekonomi, politik, hukum, pendidikan dan lain sebagainya. Bila kita lihat dan telusuri apa yang dikatakan oleh penentang maupun pengemban ideologi ini, maka kita akan dibawa pada sebuah kesimpulan bahwa globalisasi adalah universalisasi kapitalisme itu sendiri. Bahkan, L Friedman dalam uraian di atas, lebih jauh menyebutkan bahwa globalisasi adalah proses mendunianya kapitalisme bergaya Amerika. Ia dengan optimis menyebut globalisasi sebagai proses mendunianya apa saja yang terbaik dan terburuk dari Amerika.
Di samping itu menarik pula apa yang dikatakan oleh Noam Chomsky tentang globalisasi. Ia dengan lantang menyebut bahwa globalisasi sebagai konspirasi elite Barat untuk mengukuhkan tirani swasta di seluruh dunia. Seperti yang kita pahami, dalam paradigma ekonomi neoliberal, swasta diposisikan menjadi aktor yang kuat sementara negara ditemptakan pada posisi lemah untuk urusan publik. Hal ini berarti bahwa globalisasi bukan sekedar proses alamiah, namun sebuah proses sistematis dan terencana bagaimana ideologi kapitalisme ini tersebar dan terimplementasi di seluruh dunia.
Tidaklah salah bila sekarang diartikan globalisasi sebagai globo-capitlalisme, kapitalisme global. Globalisasi adalah suatu proses universalisasi ideologi kapitalisme sekuler secara total. Artinya, ini adalah proses pengintegrasian secara sistematis dan paksa umat manusia berikut sendi-sendi kehidupannya ke dalam mainstream ideologi tunggal kapitalisme. Artinya manusia akan disatukan dalam satu karakter kehidupan yang sama. Manusia akan disatukan tidak hanya tekonologinya namun juga perekonomiannya, politiknya, sosial-budayanya, hukum-perundangannya, bahkan sampai pada kepribadian dan karakter personal serta model pendidikan umat manusia. Proses globalisasi meliputi penyatuan umat manusia, baik skala individu, masyarakat ataupun negara ke dalam kapitalisme. Maka dari itulah kita tidak bisa memaknai globalisasi hanya sekedar fenomena menyempitnya dunia menjadi global village (sudut pandang teknologi), namun ia adalah hegemoni ideologi ini untuk memaksa dunia menjadi sebuah kampung global, yang memiliki aturan main kapitalis dan didiami oleh species manusia berideologi kapitalis.
Dari sudut pandang inilah maka globalisasi merupakan bentuk penyebaran total idelogi ini. Mengingat metode baku penyebaran idelogi kapitalis adalah penjajahan atau imperialisme maka globalisasi adalah imperialisme dalam bentuknya yang baru. Globalisasi merupakan sebuah pemikiran ideologi kapitalisme yang komprehensif dan meliputi seluruh aspek kehidupan. Globalisasi adalah serangan total peradaban kapitalis yang melanda seluruh pelosok dunia, termasuk dunia Islam. Ia adalah serangan hebat dan total untuk melumpuhkan seluruh bangsa di dunia, termasuk kaum muslimin, agar melepaskan identitas dan ciri khasnya menjadi sebuah identitas yang sama, atau paling tidak menjadi sub-ordinasi dari nilai-nilai kapitalisme. Tujuan akhir dari globalisasi ini adalah eksploitasi manusia tanpa terhalang sekat-sekat negara, budaya, aturan dan juga nilai-nilai manusia.
Aktor-Aktor Globalisasi
Sebagai sebuah ideologi, kapitalisme memiliki fikrah (konsep) dan thariqah (metode). Di samping itu, agar konsep-konsep ini terealisir maka ideologi ini diemban oleh aktor-aktor yang menerapkan dan memasarkannya. Banyak sekali aktor yang bermain untuk memuluskan jalan bagi ideologi kapitalis ini agar menjadi idelogi dunia. Aktor ini tentu saja tidak tunggal mengingat globalisasi bukan sekedar mendunianya ekonomi neo-liberal, namun mendunianya seluruh sendi kehidupan umat manusia, dari masalah politik, hukum, sosial, agama, pemikiran dan juga pendidikan. Pada kesempatan ini kita akan lihat sebagian aktor tersebut beserta perananannya dalam dalam globalisasi.
(1). Negara Kapitalis, terutama Amerika Serikat
Negara-negara besar kapitalis merupakan aktor utama dalam menyatukan dan memaksa negara-negara di dunia masuk dalam arus globalisasi. Hal ini dikarenakan selain karena mengemban ideologi kapitalis, perusahaan-perusahaan transnasional, yang paling berkepentingan secara ekonomi, juga banyak berpusat di negara-negara maju. Menurut Laporan Investasi Dunia 1993 yang diterbitkan Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) ada 37.000 perusahaan transnasional, yang memiliki 170.000 anak perusahaan di luar negeri. Sebanyak 90% dari perusahaan-perusahaan transnasional tersebut berkantor pusat di negara-negara maju.
Bagi perusahaan-perusahaan transnasional di sektor manufaktur dengan kantor pusat mereka yang ada di Amerika Serikat pada tahun 1987, 70% dari penjualan mereka dan 67% dari aset mereka ada di Amerika Serikat sendiri. Di tahun 1993, 67% dari penjualan dan 73% asset mereka berada di Amerika. Sebagian besar dari sisa penjualan dan aset mereka pada tahun 1987 dan 1993 ada di Eropa dan Kanada. Bagi perusahaan-perusahaan transnasional yang berpusat di Amerika Serikat yang bergerak dalam bidang jasa, 93% penjualan dan 81% aset mereka ada di Amerika Serikat pada tahun 1987.
Bagi perusahaan-perusahaan transnasional yang berpusat di Eropa Barat, terjadi penyebaran penjualan dan aset mereka secara lebih luas, tetapi antara 70-90% di antaranya ada di negara "induk" (negara asal perusahaan) dan di negara-negara Eropa Barat lainnya. Untuk perusahaan-perusahaan transnasional yang bergerak dalam bidang manufaktur yang berpusat di Jepang, 75% dari penjualan mereka pada tahun 1993 ada di Jepang, begitu juga 97% aset mereka.
Di samping memiliki banyak perusahaan transnasional, pemerintah negara-negara imperialis kapitalis berfungsi sebagai komite eksekutif untuk mengelola kepentingan bersama para kapitalis nasional mereka. Pemerintah negara-negara imperialis inilah yang mengontrol IMF, Bank Dunia dan WTO, sebagaimana mereka juga mengontrol Dewan Keamanan PBB. Di dalam IMF, misalnya, proporsi suara berdasarkan besarnya setoran saham mereka atas sumber keuangan. Pada tahun 1990, ke 23 negara-negara imperialis memiliki 62,7% suara sebagai tandingan 35,2% suara yang dimiliki 123 anggota lainnya. Lima pimpinan Dewan Eksekutif Permanen IMF dicalonkan oleh lima besar pemilik saham --AS, Inggris, Perancis, Jerman dan Jepang.
Melihat penjelasan sekilas di atas, maka menjadi wajar bila kita simpulkan bahwa negara-negara kapitalis, terutama Amerika, merupakan aktor utama dalam menggerakkan roda globalisasi.
(2). Transnational Corporation (TNC) and Multinational Corporation (MNC)
Ada perbedaan siginifikan antara perusahaan multinasional (MNC) dan perusahaan transnasional (TNC). MNC adalah perusahaan nasional dengan lingkup operasi internasional, sedangkan TNC adalah perusahaan tanpa kedudukan nasional, yang murni modal yang bebas mengalir ke mana pun, dengan perangkat manajemen internasional, dan beroperasi di mana sja atau pindah ke lokasi manapun yang paling aman di seluruh dunia demi meraih laba yang sebesar-besarnya. Terlepas perbedaan itu, secara umum literatur yang membahas globalisasi biasa memakai istilah perusahaan multinasional, begitu juga yang digunakan dalam makalah ini.
Perusahaan multinasional adalah mesin bisnis internasional yang berpikir secara regional dan bertindak secara lokal. Mereka memainkan peran utama dalam setiap tahap perkembangan bisnis internasional. Peran perusahaan-perusahaan multinasional sebagai motor penggerak globalisasi diamini oleh George Ball, mantan Wakil Menteri Luar Negeri AS dan Ketua Lehman Brothers International. Menurut George Ball,"Dengan bekerja melalui korporasi-korporasi besar yang mengangkangi bumi ini, manusia untuk pertama kalinya berhasil mempergunakan sumber-sumber dunia dengan efisien seperti yang didiktekan oleh logika keuntungan yang objektif."
Perusahaan-perusahaan multinasional menjadi kekuatan utama di balik globalisasi, dan banyak pengamat bersepakat bahwa tidak ada satupihak pun yang menikmati untung dari globalisasi ini sebanyak yang dinikmati oleh korporasi multinasional. Dengan kekuatan yang lebih besar ketimbang pemerintahan host nations (negara asal, tempat korporasi itu berkantor pusat), perusahaan-perusahaan multinasional itu seringkali terlihat memiliki posisi yang lebih kuat untuk mendiktekan syarat-syarat yang menguntungkannya. Logisnya, pemerintah sebagai entitas politik yang dipilih oleh rakyat memiliki legitimasi, kekuasaan, dan kedaulatan. Tapi di era globalisasi, pemerintah dibuat bertekuk lutut di hadapan perusahaan multinasional.
Konsekuensi dari kekuasaan korporasi yang begitu besar dapat dengan jelas dilihat dalam hubungannya dengan peran investasi asing mereka. Secara teoretis, investasi oleh perusahaan asing dapat menyediakan lahan pekerjaan, menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan menawarkan alih keanggotaan dan teknologi kepada negara-negara berkembang. Pada prakteknya, perusahaan-perusahaan multinasional itu hanya mengeksplitasi buruh-buruh berupah rendah atau sumber daya alam yang dimiliki negara-negara miskin, dan tidak memberikan sumbangan apapun selain kesengsaraan bagi negara yang ditinggalkan. Parahnya, pemerintah berada pada posisi inferior dibandingkan perusahaan-perusahaan itu. Maka ketika ada perselisihan antara buruh dan perusahaan, pemerintah seringkali lebih berpihak pada kepentingan perusahaan.
Berikut ini adalah data yang bisa memberikan gambaran betapa besar dan luasnya kekuasaan perusahaan-perusahaan multi nasional, sehingga oleh Noreena Hertz kedaulatan negara sudah diambil alih oleh perusahaan, sebagaimana deskripsinya dalam buku The Nations Take Over.
Tiga ratus pemilik perusahaan teratas mengontrol lebih dari sepermpat dari seluruh aset produktif di dunia. Dalam catatan PBB, jumlah perusahaan multinasional mencapai lebih dari 45.000, dengan 500 perusahaan terbesar menguasai 80 perusahaan dari seluruh investasi asing langsung. Dari 45.000 perusahaan multinasional itu, mayoritas terkonsentrasi di AS (179), Uni Eropa (148) dan Jepang (107).
Sebanyak 200 perusahaan papan atas dunia menguasai 28% perkeonomian global. Ada 500 perusahaan yang mengontrol 70% perdagangan dunia, dan 1000 perusahaan papan atas dunia menguasai 80% industri dunia.
Lima negara maju –AS, Jepang, Perancis, Jerman, Inggris- mencatat bahwa 172 dari 200 perusahaan multinasional menginvestasikan sebanyak 2 triliun dolar AS untuk investasi langsung.
Perusahaan-perusahaan multinasional mengontrol sekitar 70 persen dari seluruh perdagangan dunia. Lima perusahaan terbesar dunia menguasai 77 persen perdagangan biji-bijian di dunia; tiga perusahaan pisang terbesar menguasai 80 persen perdagangan pisang dunia; tiga perusahaan cokelat terbesar menguasai 83 persen perdagangan dunia; tiga perusahaan teh terbesar menguasai 85 persen perdagangan teh dunia; dan empat perusahaan tembakau terbesar menguasai 87 persen perdangan tembakau dunia.
Dari 100 pelaku ekonomi terbesar di dunia, 52 di antaranya adalah perusahaan multinasional, 48 lainnya adalah negara. Mitsubishi berada pada peringkat 22, General Motors 26, dan Ford Motor 31. Gabungan kekayaan ketiga perusahaan raksasa tersebut melebihi kekayaan Demnark, Thailand, Turki, Afrika Selatan, Arab Saudi, Norwegia, Finlandia, Malaysia, Cili, dan Selandia Baru. Gabungan penjualan 200 perusahaan multinasional masih lebih besar dari 18 kali lipat pendapatan tahunan 1,2 milyar orang miskin
Pada tahun 1999, hasil penjualan dari 5 perusahaan raksasa (General Motors, Wal-Mart, Exxon Mobil, Ford Motor dan Daimler Chrysler) lebih besar dari GDP 182 negara.
Kekuatan kapital yang luar biasa besar membuat mereka memiliki power untuk melakukan apapun yang mereka mau. Akumulasi kapital yang terjadi secara terus-menerus membuat mereka menjadi kekuatan monopolis. Guna mempertahankan tingkat keuntungan yang maksimal, perusahan-perusahaan multinasional melakukan dua strategi umum. Pertama, memaksa sebuah negara bangsa untuk melaksanakan tiga tugas suci : freedom of investment, freedom of capital flows, freedom of trade in all goods and all services including living organism and intellectual proverty. Dengan doktrin ‘trinitasnya’ini , perusahaan-perusahaan multinasional makin leluasa dalam mengakumulasi kapitalnya di seluruh penjuru bumi. Untuk memaksa negara-negara di dunia melaksanakan agenda liberalisasi sesuai doktrin tersebut, perusahaan-perusahaan multinasional itu memanfaaatkan ‘bantuan’lembaga-lembaga internasional, terutama WTO, IMF, dan Bank Dunia.
Dengan kekuasaan yang dimiliki, perusahaan-perusahaan multinasional mampu mempengaruhi kebijakan lembaga-lembaga tersebut. Dalam hal ini mereka menggunakan kekuatan lobinya yang ampuh. Ada sejumlah organisasi lobi yang menjadi saluran kekuasaan mereka. Di Eropa misalnya ada The European Round Table of Industrialists (ERT) yang beranggotakan para eksekutif dari 47 perusahaan-perusahaan multinasional terbesar di Eropa. Untuk kawasan Amerika Utara dan Eropa mereka punya Trans Atlantic Business Dialogue (TABD) yang beranggotakan para CEO dari Amerika Utara dan Eropa. Untuk melobi WTO, mereka bernaung di bawah US Coalition of Services Industries (USCSI) bekerja sama dengan US Special Trade Representative in Targetting the WTO. Jaringan lobi yang begitu kuat ini sanggup mempengaruhi para pejabat pemerintahan hingga para pejabat lembaga-lembaga keuangan internasional. Merekalah yang memuluskan jalan perusahaan-perusahaan multinasional untuk menguasai bumi segala seisinya.
(3). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
PBB ialah sebuah organisasi antarbangsa yang didirikan di San Francisco, California pada 24 Oktober 1945 selepas Perang Dunia II. Badan ini diklaim diperuntukkan untuk semua negara di dunia untuk kepentingan bersama. Organisasi ni memiliki banyak lembaga di bawahnya, namun pada kesempatan ini kita akan menengok satu lembaga yang penting dan terkait dengan globalisasi, terutama di bidang pendidikan. Lembaga tersebut adalah UNESCO.
UNESCO adalah lembaga PBB yang dibentuk pada tahun 1945. Tujuannya adalah untuk perdamaian dan keselamatan dengan mempromosikan kerjasama antarabangsa melalui bidang pendidikan, sains dan kebudayaan. Secara keseluruhan, sebanyak 191 buah negara telah tergabung dalam UNESCO. Organisasi ini berpusat di Paris.
Salah satu contoh dari peran badan ini dalam memuluskan proses globalisasi, yaitu penyeragaman pengelolaan pendidikan tinggi di seluruh dunia. Hal ini bisa dilihat dari pertemuan yang diadakan di Paris pada tanggal 5-9 Oktober 1998. Pertemuan ini dinamakan The World Conference on Higher Education in the Twenty-first Century : Vision and Action. Peserta yang hadir terdiri dari sekitar 180 negara sebagai wakil dari komunitas akademik, termasuk dosen, mahasiswa dan stakeholder yang lain dalam pendidikan tinggi. Berikut ini adalah cuplikan berita resmi dari UNESCO tentang konferensi tersebut :
"The World Conference on Higher Education in the Twenty-first Century: Vision and Action, was held in UNESCO Headquarters in Paris, from 5-9 October 1998. Over 180 countries, as well as representatives of the academic community, including teachers, students and other stakeholders in higher education took part in this major event. In convening the World Conference on Higher Education (WCHE), UNESCO's objective was to lay down the fundamental principles for the in-depth reform of higher education systems throughout the world and thus contribute to transforming higher education, in its material and virtual manifestations, into an environment for lifelong learning, for cultural debate, for the affirmation and safeguarding of diversity, and for forging and confirming the values and principles laid down in the constitution of UNESCO for "the intellectual and moral solidarity of mankind.
In our complex and rapidly changing global society, higher education must contribute to the building of peace founded on a process of development and predicated on equity, justice, solidarity and liberty. To attain this objective, access on the basis of merit, the renovation of systems and institutions, and service to society, including closer links to the world of work, must be the basis of renewal and renovation in this level of education. This requires that higher education enjoy autonomy and freedom exercised with responsibility."
Dari sini kita melihat bahwa UNESCO sebagai bagian dari PBB mengambil bagian yang penting dalam proses integrasi dunia pendidikan dalam mainstream ideologi global. Maka tidaklah mengada-ngada untuk menyimpulkan bahwa lembaga internasional yang dianggap ‘paling berwibawa’ ini sebagai alat untuk memuluskan proses globo-capitalisme.
Berikut ini akan dicuplikan beberapa isi deklarasi UNESCO yang memiliki kesamaan dengan proyek reformasi pendidikan tinggi yang dilakukan Indonesia :
1.Tentang misi dan fungsi Perguruan Tinggi, Deklarasi menegaskan bahwa misi dan nilai pokok Perguruan Tinggi adalah memberikan kontribusi kepada pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dan pengembangan masyarakat secara keseluruhan.
2. Memberikan berbagai kesempatan (espace ouvert) kepada para peminat untuk memperoleh pendidikan tinggi sepanjang usia. Perguruan Tinggi memiliki misi dan fungsi memberikan kepada para penuntut ilmu sejumlah pilihan yang optimal dan fleksibilitas untuk masuk ke dalam dan keluar dari sistem pendidikan yang ada. Perguruan Tinggi juga harus memberikan kesempatan bagi pengembangan individu dan mobilitas sosial bagi pendidikan kewargaan (citizenship) dan bagi partisipasi aktif dalam masyarakat. Dengan begitu, peserta didik akan memiliki visi yang mendunia, dan sekaligus mempunyai kapasitas membangun yang mempribumi (indigenous).
3. Memajukan, menciptakan dan menyebarkan ilmu pengetahuan melalui riset; dan memberikan keahlian (expertise) yang relevan untuk membantu masyarakat umum dalam pengembangan budaya, sosial dan ekonomi; mengembangkan penelitian dalam bidang sains dan teknologi, ilmu-ilmu sosial, humaniora dan seni kreatif.
4. Membantu untuk memahami, menafsirkan, memelihara, memperkuat, mengembangkan, dan menyebarkan budaya-budaya historis nasional, regional dan internasional dalam pluralisme dan keragaman budaya.
5. Membantu untuk melindungi dan memperkuat nilai-nilai sosial dengan menanamkan kepada generasi muda nilai-nilai yang membentuk dasar kewargaan yang demokratis (democratic citizenship).
6. Memberikan kontribusi kepada pengembangan dan peningkatan pendidikan pada seluruh jenjangnya, termasuk pelatihan para guru.
(4). Lembaga Keuangan Internasional
Mesin globalisasi berikutnya yang berperan dalam memuluskan agenda globalisasi adalah tiga lembaga Keuangan Internasional "Unholy Trinity" (Trinitas Penuh Dosa), yaitu World Trade Organization (WTO), International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB). Berikut akan dijelaskan sekilas tentang tiga lembaga keuangan internasional ini.
World Trade Organization berdiri pada 1 Januai 1995 sebagai kelanjutan dari GATT (Generale Agreement of Tariffs and Trade) yang sebelumnya mengatur masalah perdagangan internasional sejak 1948. Setelah bermetamorfosis menjadi WTO, selain perdagangan barang (trade in goods), juga diatur masalah perdagangan jasa (trade in services) dan HAKI terkait perdagangan (Trade Related Intellectual Property Rights-TRIPs). Secara resmi WTO berperan guna meningkatkan liberalisasi perdangan melalui serangkaian negosiasi, dan menghilangkan hambatan-hambatan yang menggangngu laju perdagangan bebas. Walhasil, WTO menjadi senjata utama bagi kebijakan-kebijakan pro-globalisasi untuk menjadikan pintu perdagangan seluruh dunia terbuka lebar.
Dalam waktu sekitar delapan tahun sejak berdirinya, sistem pengambilan keputusan WTO telah menempatkan negara-negara kecil di bawah belas kasihan kekuatan dagang dunia. Proses pengambilan keputusan di WTO didasarkan pada tercapainya ‘konsensus’ dan bukan dengan cara voting. Hal ini berarti blok-blok perdangan kuat semacam Amerika dan Eropa bersatu dan menegosiasikan kebijakan-kebijakan yang selanjutnya mereka terapkan terhadap negara-negara anggota lainnya.
Dalam organisasi ini negara-negara yang sedang berkembang diperlakukan sebagai anggota kelas dua, meskipun pada faktanya mereka mewakili 80 persen keanggotaan WTO. Sebagai contoh apa yang terjadi pada tahun 1993 di perundingan perdagangan Uruguay. Pada fase akhir perundingan, para menteri perdagangan dari sebagian besar negara Dunia Ketiga dikeluarkan dan dipaksa untuk menunggu berjam-jam sampai akhir perundingan di sebuah kafe. Kemudian, yang mengenaskan adalah ketika mereka meminta para wartawan untuk menceritakan pada mereka perkembangan terakhir dalam perundingan tersebut.
Kemudian peristiwa pertemuan puncak WTO di Seattle pada November 1999. Tujuan perundingan itu adalah membahas perekonomian negara-negara berkembang. Hebatnya, terlepas dari fakta bahwa konferensi itu membahas kepentingan negara berkembang, sejumlah delegasi negara-negara berkembang justru dilarang hadir. Bahkan, perwakilan negara-negara Afrika hanya bisa geram ketika Amerika mencabut alat penterjemah dan mikrofon pada pertemuan internal terjadwal mereka. Akhirnya, para senator AS menggertak para delegasi itu agar menerima saja keputusan-keputusan yang dibuat demi ‘kepentingan mereka’ dan masa depan ekonominya, tanpa perlu mengkonsultasikannya pada mereka.
Saat ini WTO dijadikan alat untuk memaksa dan menekan semua negara anggotanya untuk menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, termasuk juga pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat. Artinya, melalui GATS ini negara-negara berkembang diminta untuk membuka lebih lebar untuk ke 12 sektor jasa tersebut. Terkait dengan jasa pendidikan dan pelatihan luar negeri, hingga saat ini, ada enam negara telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, China, Korea dan Selandia Baru. Ini berarti WTO menjadi kendaraan yang sangat efektif untuk melakukan globalisasi dalam bidang pendidikan, dan pendidikan Indonesia terancam akan terliberalisasi dan terkapitalisasi ala globalisasi.
Dari sini kita melihat bahwa WTO adalah kepanjangan tangan dari kepentingan-kepentingan ekonomi negara maju untuk membuka seluas-luasnya pintu perdagangan, tidak peduli nasib negara berkembang. WTO diperuntukan bagi menata perekonomian global yang bebas hambatan untuk kepentingan negara maju kapitalis. WTO dijadikan lokomotif untuk meningkatkan liberalisasi perdagangan melalui serangkaian negosiasi, dan menghilangkan hambatan-hambatan yang mengganggu laju perdagangan bebas. Dengan bebasnya hambatan perdagangan ini, maka tentunya arus modal dan investasi menjadi mudah masuk dan pergi. Semua sektorpun menjadi bebas untuk dimasuki oleh modal asing.
International Monetary Fund and World Bank
Meskipun WTO adalah badan yang resmi bertanggung jawab atas peningkatan globalisasi, ada dua institusi lain yang juga memainkan peran penting dalam mengawal agenda perdagangan bebas. Kedua institusi itu adalah Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia ( nama lahirnya the International Bank for Reconstruction and Develpment alias IBRD, kemudian menjadi World Bank) yang memberikan pinjaman-pinjaman bagi negara-negara berkembang. Di atas kertas pinjaman ini dilakukan demi kepentingan pembangunan negara-negara tersebut, namun hakikatnya untuk kepentingan kapitalis. Keberadaan IMF dan Bank Dunia mengawal inisiatif perdagangan bebas telah terbukti menjadi manuver yang menguntungkan Barat.
Baik IMF maupun Bank Dunia sama-sama dibentuk pada Bretton Woods Conference pada 1944. Karena itu, kedua lembaga ini sering disebut sebagai lembaga kembar Bretton Woods. Masing-masing lembaga memainkan peran yang agak berbeda dalam kancah ekonomi global usai Perang Dunia II.
IMF bertanggungjawab memelihara stabilitas sistem keuangan global, sementara Bank Dunia bertanggungjawab membangun kembali perekonomian dunia yang hancur karena perang, Ketika krisis utang terjadi pada 1980-an, fokus utama kedua lembaga itu telah beralih ke negara-negara berkembang. Meskipun punya mandat berbeda, IMF dan Bank Dunia memiliki kesamaan dalam hal analisis tentang apa yang harus dilakukan oleh negara-negara berkembang guna dianggap layak mendapat bantuan pembangunan. Kebijakan-kebijakan mereka bertujuan untuk mengintegrasikan negara- negara berkembang ke dalam perekonomian global yang kian meluas, meskipun memiliki efek merusak terhadap negara-negara itu sendiri.
IMF dan WB memanfaatkan krisis hutang global untuk memformat perekonomian negara dunia ketiga agar sesuai dengan format ekonomi global. Mereka juga mengebiri kemampuan pemerintah negara dunia ketiga dalam menghadapi negara-negara maju, sejumlah korporasi dan agen-agen multilateral yang didominasi negara maju. Liberalisasi perdagangan yang dituju oleh IMF dan WB ini dilakukan dengan melakukan Program Penyesuaian Struktural. Berikut ini secara garis besar panduan yang harus dilakukan :
1. Paket kebijakan Structural Adjustment Program (Program Penyesuaian Struktural), terdiri dari komponen-komponen: (a) Liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran uang yang bebas; (b) Devaluasi; (c) Kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk: pembatasan kredit, peningkatan suku bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga public utilities, dan penekanan untuk tidak menaikkan upah dan gaji.
2. Paket kebijakan deregulasi, yaitu: (a) intervensi pemerintah harus dihilangkan atau diminimumkan karena dianggap telah mendistorsi pasar; (b) privatisasi yang seluas-luasnya dalam ekonomi sehingga mencakup bidang-bidang yang selama ini dikuasai negara; (c) liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi termasuk penghapusan segala jenis proteksi; (d) memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan longgar.
Walhasil, dua lembaga keuangan internasional ini merupakan mesin globalisasi yang ampuh untuk menata format ekonomi negara dunia ketiga agar sesuai dengan format mainstream ekonomi globalisasi. Dengan meminimalkan intervensi pemerintah dalam aspek publik serta program privatisasi yang seluas-luasnya mengakibatkan sektor-sektor publik seperti pendidikan menjadi sangat mahal. Tidak hanya itu, pendidikan akan menjadi komoditas yang tidak hanya dimasuki oleh swasta, namun dapat pula dimasuki oleh asing. Akhir dari segalanya, akses pendidikan akan semakin terbatas, kemudian content pendidikan akan terliberalisasi sedemikian rupa. Intervensi yang lemah dari negara dapat pula mengakibatkan asing, dalam hal ini korporasi, dapat ’memperalat’ pendidikan untuk tujuan for-profit dan melakukan praktek imperialisme halus untuk eksploitasi negeri ini.
Peranan Negara Dunia Ketiga
Masuknya kekuatan perusahaan multinasional dan imperialisme negara maju dalam proyek globalisasi tidak akan berhasil tanpa ada penerimaan dan dukungan dari negara dunia ketiga serta kelompok kepentingan atau individu yang memiliki kepentingan dan berideologi yang sama dengan aktor globalisasi di atas. Di samping itu, lemahnya bargaining position, baik secara politis, ekonomis, maupun pemikiran-ideologis membuat negara-negara tersebut tidak berdaya menolak intervensi kekuatan asing ini. Apalagi bila negara tersebut dalam keadaan lemah dan membutuhkan bantuan. Negara tersebut akan mematuhi dan tunduk tanpa ada wibawa sama sekali di hadapan asing yang kafir.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa globalisasi adalah serangan total ideologi kapitalisme yang kafir yang meliputi seluruh aspek kehidupan dari ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya, pemikiran sampai pada kepribadian dan karakter personal. Globalisasi ini adalah bentuk mutakhir imperialisme dari ideologi kapitalisme berupa dominasi total secara politik, militer, budaya, pemikiran, ekonomi dan lain-lain, yang tujuan akhirnya adalah eksploitasi umat manusia. Aktor utama dari globalisasi adalah negara-negara kapitalis, terutama Amerika. Kemudian aktor utama yang lain adalah PBB, WTO, IMF, World Bank, dan TNC/MNC. Negara Dunia Ketiga bukan aktor utama, melainkan aktor pembantu (pembantu dalam arti sesungguhnya), yaitu hanya menjadi pelayan aktor-aktor utama kapitalisme global.
No comments:
Post a Comment