Thursday, May 20, 2010

Kuliah umum Prof. DR Boediono di Universitas Gadjah Mada, 3 Mei 2010: Membangun Demokrasi di Indonesia

Dua belas tahun lalu kita memutuskan untuk membangun demokrasi di tanah air kita. Tahun 1998 itu berarti lebih dari setengah abad setelah bangsa kita membebaskan diri dari penjajahan. Tekad kita adalah membangun masyarakat yang berdasarkan keadilan dan kemerdekaan. Saya akan membuka uraian saya dengan mendalami makna tiga kata kunci ini: demokrasi, keadilan dan kemerdekaan. Selanjutnya saya akan mengajak hadirin sejenak mengingat kembali perjalanan bangsa kita dalam mewujudkan ketiga hal itu. Saya akan tutup uraian saya dengan beberapa catatan mengenai masalah-masalah yang sering dihadapi negara-negara berkembang dalam membangun demokrasi, yang relevan bagi bangsa kita dalam membangun demokrasi.

Keadilan dan kemerdekaan adalah cita-cita yang tidak dapat dipisahkan dari agenda politik ke masa depan, yang berupa sebuah masyarakat yang demokratis. Artinya, sebuah masyarakat yang senantiasa berusaha membangun persamaan hak bagi warganya. Seperti dicita-citakan para perintis kemerdekaan dan pendiri Republik kita, persamaan hak itu bukan hanya akan dihormati secara formal. Kesetaraan itu juga didukung oleh kondisi ekonomi dan sosial yang merata, tidak timpang.

Kita tahu, sejarah demokrasi dimulai dengan kehendak membuka ruang bagi berperannya anggota masyarakat yang “di bawah” dalam strata sosial. Mereka yang “di bawah” itu terdiri dari yang lemah, yang dipinggirkan, dan diabaikan. Dalam sejarahnya, seperti di dalam sejarah politik Eropa, demokrasi pernah mengalami distorsi, yaitu ketika hanya mereka yang secara sosial-ekonomi mampu saja yang mendapatkan hak-hak kewarganegaraan. Atau, hanya mereka yang dengan latar belakang etnis tertentu saja yang boleh ikut serta dalam percaturan, khususnya percaturan politik, sosial dan ekonomi.

Syukurlah, manusia mempunyai kesanggupan mengoreksi kesalahannya sendiri. Berangsur-angsur, kesempatan partisipasi semakin terbuka. Sejak kurang-lebih 200 tahun yang lalu, di Eropa, kaum buruh dan kaum perempuan mulai mendapatkan tempat yang mulanya hanya dimonopoli oleh kaum laki-laki dan kaum yang berpunya. Di Amerika Serikat, setelah berjuang ratusan tahun, semenjak tahun 1970-an, orang-orang hitam juga berhasil merebut hak asasi mereka.

Ini tidak berarti bahwa dengan perbaikan itu, tatanan demokrasi, juga di Eropa dan Amerika, sudah sempurna. Di hari-hari ini, perlakuan terhadap imigran dari Meksiko di Arizona, Amerika Serikat, dan terhadap minoritas Muslim di beberapa tempat di Eropa, masih dianggap sebagai belum meratanya penghormatan terhadap hak-hak asasi secara universal.

Melihat perkembangan dalam sejarah demokrasi yang seperti itu, ada dua hal yang dapat kita simpulkan.

Pertama , bahwa sistem demokrasi bukanlah sistem yang menjamin terciptanya masyarakat yang sempurna. Demokrasi adalah justru sebuah sistem yang mengasumsikan bahwa masyarakat selamanya tidak sempurna, karena itulah kodrat kehidupan dunia. Tetapi dalam ketidak-sempurnaannya, dengan demokrasi, masyarakat dapat diperbaiki terus menerus.

Kedua , bahwa hubungan antara keadilan dan kemerdekaan adalah hubungan yang kompleks: kadang-kadang tampak saling bertentangan, kadang-kadang saling mendukung. Tetapi kedua-duanya tak dapat ditanggalkan dari proses perjuangan sebuah masyarakat untuk meningkatkan martabat kehidupannya.

Itulah sebabnya dalam Pancasila, kita menemukan asas yang menegaskan keadilan sosial dan juga asas kedaulatan rakyat dan asas yang menegaskan hak-hak kemanusiaan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia di pertengahan tahun 1945, para pendiri Republik berembug, berdebat, dan dalam percaturan pendapat mereka muncul kearifan, bahwa kita tidak dapat menjadikan kemerdekaan atau hak-hak asasi sebagai satu-satunya sendi masyarakat, sementara keadilan diabaikan.

Kemerdekaan memang membuka kesempatan seluas-seluasnya untuk tiap-tiap warga negara mengembangkan diri, berinisiatif, berwirausaha, berkompetisi, dan mencapai prestasi. Kemajuan Eropa yang luar biasa terjadi -- yang juga diakui oleh Karl Marx sendiri – disebabkan oleh adanya individu atau lapisan sosial dalam masyarakat yang berhasil memanfaatkan kemerdekaan itu, dengan cara bersaing. Tetapi hasil persaingan itu tidak jarang menyebabkan sebagian, malah sebagian besar, orang tidak mendapatkan tempat. Bahkan mereka kehilangan hak bersuara.

Dalam keadaan itu, kemerdekaan hanya berlaku bagi sebagian kecil manusia saja. Pertukaran ide-ide di dalam arena publik terbatas. Maka menjadi sempitlah kemungkinan untuk banyak ragam melihat cacat masyarakat itu sendiri. Kemerdekaan tanpa keadilan akan mengerdilkan dirinya sendiri.

Demikian pula sebaliknya. Keadilan tidak mungkin menjadi satu-satunya asas dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Contoh yang dapat dijadikan contoh. Di negeri-negeri komunis, dengan semangat egaliter, semangat sama rata sama rasa, kemerdekaan ditangguhkan. Kemudian terbukti, tidak ada lagi kemerdekaan warga negara untuk menyatakan pendapat. Maka terjadilah penyelewengan, sehingga keadilan sosial itu sendiri jadi korban. Ingat, perlawanan kaum buruh yang menuntut hak-hak asasi di Polandia lahir setelah mereka bertahun-tahun hidup dalam sebuah kediktaturan. Bagi para buruh ini, kemerdekaan tak boleh ditiadakan untuk keadilan.

Dari paparan di atas saya harap kita dapat memetik kearifan para perintis Republik kita dan pengalaman sejarah sejak awal abad ke-20 sampai dengan sekarang.

Hadirin yang terhormat.

Dengan berbekal itu semua, dalam tugas saya sekarang saya, dengan segala kerendahan hati bermaksud ikut meneruskan usaha pembangunan demokrasi di negeri kita – sebagai cara untuk meneruskan cita-cita pendiri Republik dan para pejuang Reformasi.

Sejauh ini, Alhamdulillah, dunia mengapresiasi Indonesia sebagai contoh demokratisasi yang sukses, paling tidak sampai saat ini. Memang pernah ada keraguan, bisakah demokrasi ini akan bertahan terus di Indonesia. Dalam bukunya The Future of Freedom, yang ditulis sebelum tahun 2003, Fareed Zakaria mengatakan, mustahil bagi Indonesia untuk mencoba demokratisasi ketika rakyatnya masih hidup dengan pendapatan per kapita yang rendah, yaitu sekitar $ 2.600. Zakaria meramalkan, eksperimen demokrasi Indonesia hanya akan berumur sekitar 18 tahun.

Pendapat seperti itu tidak sepenuhnya tepat. Pertama , ada negara seperti India yang bukan termasuk negeri kaya, tetapi sistem demokrasinya bertahan sampai sekarang, meskipun ada interupsi dan kekurangan di dalamnya. Kedua , bukan tidak mungkin bahwa selama pemerintahan demokratis seperti Indonesia sekarang, pertumbuhan ekonomi akan dapat mengangkat pendapatan per kapita itu lebih tinggi lagi. Ketiga , kelanjutan atau terputusnya hidup sebuah sistem politik tidak pernah semata-mata ditentukan oleh kondisi sosial-ekonomi. Yang tidak kalah penting adalah peran para pelaku politik dengan cita-cita dan tekad mereka untuk melanjutkan atau menghentikan sistem demokrasi.

Seperti saya katakan di atas, sistem demokrasi bukanlah sistem yang menjamin terciptanya masyarakat yang sempurna. Demokrasi, hanyalah sistem yang lebih baik bila dibandingkan dengan sistem lain yang pernah dicoba manusia. Seperti kata-kata Winston Churchill yang terkenal: “It has been said that democracy is the worst form of government except all the others that have been tried.” Dalam ketidak-sempurnaan dirinya, ada sesuatu yang bisa diandalkan pada demokrasi. “Sesuatu” itu adalah kemampuan adaptifnya dan oleh karena itu (mengikuti Charles Darwin) kemampuan survivalnya. Terutama dengan media yang bebas, terutama juga dengan pemilihan umum, tersedia peralatan dan metode korektif untuk memperbaiki apa yang kurang dan cacat dengan cara damai dan teratur.

Yang perlu kita ingat, membangun demokrasi adalah jalan yang panjang, bahkan sangat panjang. Dan jalan itu tidak akan selalu mulus dan penuh risiko. Sekarang ini kita sudah berada di tahap awal. Tetapi kita sadar, awal yang baik tidak menjamin akhir yang baik. Sejarah penuh dengan contoh bangsa-bangsa yang pada mulanya nampak berhasil memulai demokrasi tapi kemudian kehilangan momentum atau salah arah. Awal yang baik hanyalah sekadar awal yang baik. Selanjutnya tergantung bagaimana kita, khususnya elite politik kita, membawa perjalanan bangsa kita.

Berdasarkan pengalaman Indonesia sendiri, upaya membangun demokrasi yang kita lakukan sekarang ini adalah yang kedua sejak kemerdekaan. Yang pertama antara 1945 sampai dengan 1958, antara Proklamasi 17 Agustus sampai diberlakukannya “Demokrasi Terpimpin” (bersama “Ekonomi Terpimpin”).

Masa demokrasi itu, yang sering disebut sebagai masa “demokrasi liberal” atau “masa demokrasi konstitutional,” kita menemukan hak-hak warga negara untuk membentuk organisasi sosial politik. Kita juga mempunyai pers yang bebas, artinya tidak ada keharusan mempunyai surat izin terbit dan sensor. Di tahun 1955, sebuah pemilihan umum yang bebas dan rahasia – yang pertama kalinya dalam sejarah Indonesia – diselenggarakan dengan sukses.

Tetapi sayangnya dalam masa ini pula, stabilitas pemerintahan praktis tidak ada. Dengan menggunakan sistem parlementer yang seperti di negeri-negeri Eropa, dan karena tidak ada partai yang dominan seperti Partai Kongres di India, kabinet dengan mudah dijatuhkan. Praktis tidak ada Perdana Menteri yang mengurus negara yang dapat bertahan lebih dari setahun.

Akibatnya hampir tidak ada program perbaikan ekonomi yang berjalan konsisten. Keadaan perekonomian, terutama disebabkan buruknya prasarana terus merosot. Dan ia punya akibat yang serius. Banyak daerah di Indonesia yang telantar. Masyarakat di daerah, notabene yang merupakan penyumbang terbesar devisa, tidak menikmati hasil pertumbuhan ekonomi, meskipun dewasa itu di Asia berlangsung apa yang disebut “Korean Boom”, yakni kenaikan harga-harga komoditi ekspor dan pertumbuhan ekonomi yang terkait dengan kebutuhan akibat berlangsungnya Perang Korea di awal tahun 1950-an.

Keadaan itulah yang menjadi dasar bagi apa yang kemudian disebut sebagai “pemberontakan daerah”, yang dimulai di Sumatra dengan “PRRI” dan di Sulawesi dengan “Permesta”.

Pergolakan yang diakhiri dengan jalan perang ini tentu tidak dapat dilepaskan dari suasana Perang Dingin antara Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya dalam menghadapi “Blok Komunis” yang dipimpin Uni Soviet dan RRC. Bahkan terbukti ada campur tangan CIA dalam aksi-aksi militer dari daerah. Meskipun demikian, sebenarnya semua itu bukanlah pemberontakan untuk memisahkan diri dari Indonesia, melainkan lebih sebagai pernyataan ketidak-puasan beberapa tokoh militer di daerah terhadap kebijakan pusat. Tetapi di dalamnya dipakai alasan yang kuat bahwa daerah-daerah itu tidak mendapatkan perhatian yang pantas.

Jalin-menjalinnya pemberontakan daerah dengan konflik-konflik di kalangan partai politik itu menimbulkan perasaan yang meluas bahwa Indonesia sedang terpecah-belah. Pemilihan Umum yang berhasil di tahun 1955 ternyata tidak memenuhi harapan untuk menghasilkan pemerintahan yang stabil dan demokrasi yang mampu membangun dengan baik. Dalam sidang-sidang dewan perumus konsitusi, yang disebut “Konstituante”, berlangsung perdebatan yang alot untuk menentukan apakah dasar negara Indonesia itu “Pancasila” atau “Islam”. Situasi benturan di bidang paham-paham dasar ini, yang disebut “konflik ideologis”, sangat melelahkan bangsa dan menimbulkan krisis kepercayaan yang serius terhadap partai-partai politik.

Sementara itu, pengaruh Perang Dingin di dunia ikut merasuk ke dalam kehidupan politik nasional. Karena suasana itu, elite politik Indonesia yang dominan semakin ingin menjauhi apa saja yang berbau “Barat”, dengan akibat bahwa lembaga-lembaga demokrasi yang dianggap dicangkok dari “Barat” harus dibuang.

Maka, di tahun 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan sebuah dekrit, yang disebut “Dekrit 5 Juli”. Dengan dekrit ini, diharapkan friksi-friksi politik yang ada dapat ditiadakan, dan Indonesia kembali ke persatuan nasional yang kuat. Suasana kembalinya semangat “Revolusi 1945” hendak dibangun kembali. UUD 1945 dihidupkan kembali dan UUD 1950 (yang mencantumkan jaminan bagi hak-hak asasi manusia) dicabut. Langkah ini didahului dengan pernyataan keadaan darurat perang (SOB), di mana peran militer menjadi sangat penting di segala segi kehidupan.

Sesuai dengan itu, “demokrasi parlementer” yang dianggap “Barat” dibuang dan digantikan “demokrasi terpimpin”. Lembaga kontitusi dan DPR hasil pilihan rakyat dibubarkan. Beberapa partai dilarang. Pers diharuskan mempunyai surat ijin terbit dan surat ijin cetak. Asas Trias Politica – pemisahan yang tegas antara eksekutif, yudikatif dan legislatif – dihapuskan.

Sementara itu, pada waktu itu pula, “Konfrontasi” terhadap pembentukan Malaysia yang didukung Inggris dilancarkan. Indonesia mempersiapkan perang. Pembelian senjata secara besar-besaran dilakukan ke negeri-negeri sosialis.

Keadaan ini berlangsung sampai 1965. Semangat revolusi dan nasionalisme memang berapi-api. Nama Indonesia terdengar gaungnya di dunia internasional, terutama ketika Indonesia memutuskan untuk keluar dari PBB dan menyaingi Olimpiade dengan menyelenggarakan pesta olahraga internasional yang disebut “Games of the New Emerging Forces” (Ganefo). Tetapi di dalam negeri, keadaan ekonomi semakin memprihatinkan.

Sistem “ekonomi terpimpin” yang hendak menerapkan sosialisme – sebagai konfrontasi dengan ekonomi “Barat” yang kapitalistis – memang bermaksud meniru kemajuan negeri sosialis dalam mengejar ketertinggalan dari Barat. Indonesia memperkenalkan “Pembangunan Berencana”. Perusahaan asing di bidang perkebunan, pertambangan dan transportasi diambil alih oleh Negara.

Namun dalam prakteknya, pengendalian proses produksi dan distribusi itu berada di tangan para birokrat. Sumber-sumber ekonomi yang vital dikelola oleh orang-orang yang tidak digerakkan oleh persaingan dan motif ekonomi, dan juga tidak selamanya mempunyai kemampuan yang diperlukan. Menumpukkan kekuasaan para birokrat dalam kehidupan ekonomi inilah yang menjadi sumber salah urus dan korupsi, sebuah masalah yang menghantui Indonesia sampai beberapa puluh tahun kemudian, bahkan sampai hari ini.

Sementara itu, persatuan nasional yang mula-mula tampak mengesankan selama tahun-tahun awal “demokrasi terpimpin” tidak bertahan lama. Seperti kita ketahui, dalam kehidupan politik, persaingan untuk mendapatkan kekuasaan adalah sebuah dinamika yang lumrah.

Di masa “demokrasi terpimpin”, persaingan itu tidak menemukan cara pengelolaan yang melembaga. Kekuasaan terpusat pada pribadi Presiden. Tidak ada tanda-tanda akan diadakan pemilihan umum, sebagai cara untuk menyalurkan kompetisi guna menentukan kepemimpinan politik.

Sebagai akibatnya, kekuatan-kekuatan politik yang ada bersiap mendapatkan kekuasaan bukan melalui proses elektoral, melainkan dengan mobilisasi massa. Bahkan tampak persiapan untuk menggunakan jalan kekerasan. Apalagi persaingan ini juga diwarnai oleh persengketaan di bidang pemilikan tanah, yang sering disebut sebagai “aksi sepihak” oleh petani yang didukung oleh PKI. Sementara itu, makin lama konflik makin berkembang jadi ketegangan antara ABRI dan PKI.

Di tahun 1965, meledaklah kekerasan yang sangat mengerikan dan paling berdarah dalam sejarah Indonesia modern. Suatu penggal sejarah bangsa yang kita berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT agar tidak akan terulang lagi.

“Demokrasi Terpimpin” ternyata gagal membangun sebuah cara mengelola persaingan dan konflik politik secara teratur dan damai. “Ekonomi Terpimpin” juga gagal membuat Indonesia maju pesat secara ekonomi. Yang terjadi justru sebaliknya - kemacetan di mana-mana karena kontrol birokrasi yang berlebih-lebihan.

“Orde Baru” yang menggantikan “demokrasi terpimpin” merupakan transformasi besar dari kehidupan politik sebelumnya. Pemerintahan Presiden Suharto sejak mula bertekad membalikkan keadaan ekonomi yang parah di masa “ekonomi terpimpin”. Modal asing yang diusir dari Indonesia diundang kembali. Usaha-usaha mengembalikan kekuatan pasar terus dilakukan, meskipun jumlah perusahaan-perusahaan yang dikuasai Negara tidak berkurang dan malah meningkat. Indonesia masuk kembali ke PBB dan “Konfrontasi” dengan Malaysia dihentikan; bahkan dibangunlah kerja sama ASEAN. Dengan demikian, segala dana dan daya untuk peningkatan kekuatan militer dan biaya perang dapat dialihkan untuk ikhtiar nasional lain.

“Orde Baru” berhasil membangun ekonomi Indonesia ke tingkat yang belum pernah tercapai oleh sistem demokrasi sebelumnya. Walaupun demikian, “demokrasi”-nya mempunyai ciri yang tidak jauh berbeda dengan “demokrasi terpimpin”. Bahkan mempunyai sistem pengawasan yang ketat. Pers dan media massa tetap memerlukan surat izin untuk terbit – yang sewaktu-waktu dapat dicabut. Partai-partai politik dikendalikan Pemerintah, baik dalam memilih nama, lambang maupun kepengurusan. Tidak boleh ada partai yang didirikan selain yang sudah ditentukan. UUD 1945 yang diperkenalkan kembali oleh “demokrasi terpimpin” diteruskan. Ciri UUD ini adalah dipusatkannya kekuasaan yang luar biasa besar di tangan eksekutif, khususnya Presiden.

Berangsur-angsur, seperti halnya “demokrasi terpimpin”, juga “demokrasi Pancasila” dari Orde Baru semakin tergantung kepada diri Presiden. Kita ingat bahwa di dalam kedua demokrasi itu, tidak ada batas waktu bagi pemegang jabatan ini. Sistem pemerintahan Orde Baru yang semula oleh sejumlah pengamat disebut sebagai kekuasaan “otoriter birokratik” makin lama makin menjadi kekuasaan otokratik, yang ditentukan oleh satu orang.

Bila sebuah sistem hampir sepenuhnya tergantung kepada seorang tokoh, betapapun besar dan kuatnya tokoh itu, sistem itu akan lebih labil dan lebih mudah ambruk dibandingkan dengan sistem yang dibangun dengan institusi politik dan hukum yang efektif.

Kelemahan pola otokratik ini juga terletak di tempat lain. Merupakan ucapan yang sudah jadi klise, tetapi tetap benar, bahwa “power corrupts, and absolute power corrupts absolutely”. Belum lepas dari ingatan kita bahwa di masa Orde Baru, terutama di masa lanjutnya, berkembang apa yang kemudian dikenal sebagai “KKN”, kroniisme, koncoisme, dan nepotisme. Dalam KKN, tidak akan ada keadilan. Dan itu yang menyebabkan Orde Baru, yang tidak menjadikan dirinya sebuah sistem yang bekerja secara “fair”, tidak berat sebelah, tidak bisa bertahan, meskipun kinerja di bidang ekonomi bagus.

Di tahun 1998, gerakan Reformasi berhasil mengubah secara mendasar kehidupan politik kita. Dengan Reformasi, lahirlah sebuah demokrasi yang lahir dari pengalaman pahit masa lalu dan meneruskan semangat pendiri Republik Indonesia. Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dibatasi, peran dan posisi DPR menjadi bebas, dan hak-hak asasi manusia dicantumkan dengan jelas dalam UUD.

Sejak masa pemerintahan Presiden Habibie, terbukalah kembali kehidupan politik dan media, dan kemerdekaan pun meluas. Hal ini dilanjutkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, terutama dalam mengakui kembali hak-hak warga negara mereka yang selama ini tersisih dan terasing; bukan tanpa alasan Gus Dur oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disebut dengan hormat sebagai “bapak pluralisme”. Presiden Megawati tidak kalah berjasa dalam merawat demokrasi yang diteruskan hingga hari ini oleh Presiden SBY.

Hadiri yang terhormat.

Itulah sekilas sejarah perjalanan bangsa kita, perjalanan yang sarat dengan pelajaran, apabila kita mau menariknya. Dalam uraian berikut ini saya ingin melengkapinya dengan beberapa catatan yang diambil dari pengalaman negara-negara lain, khususnya negara-negara berkembang, yang sedang mengkonsolidasi demokrasinya. Saya uraikan satu persatu.

Yang pertama, sejarah mencatat tidak sedikit demokrasi yang gagal karena tidak dapat memberikan manfaat nyata kepada rakyat. Yang paling nyata dan paling mendasar adalah manfaat ekonomi berupa peningkatan kesejahteraan yang dirasakan merata.

Tentu saja ada pula yang disebabkan oleh faktor-faktor lain, misalnya masalah keamanan yang berlarut dan apa yang disebut kekerasan bukan oleh Negara (non-state violence) termasuk kriminalitas yang lepas kendali. Ada juga sebab lain yang tak kalah penting, yakni korupsi yang menggerogoti dari dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat yang sehat. Dalam kenyataan faktor-faktor penyebab ini saling berinteraksi dan saling memperkuat.

Inilah beberapa contoh. Dalam sejarah demokrasi Jerman, Republik Weimar (1919 – 1933), yang dirundung pengangguran dan hiperinflasi, akhirnya membuka peluang bagi datangnya gerakan Nazi dan kediktaturan Adolf Hitler. Dalam akhir abad ke-20, sejak 1989 Venezuela yang kaya minyak mengalami krisis ekonomi karena salah kelola dan korupsi yang merajalela; kemudian terjadilah kudeta militer pada 1992. Di masa yang hampir sama, di Peru, juga karena salah kelola dan korupsi, terjadi pemiskinan dan hiperinflasi; keadaan ini memperbesar gerakan Sendero Luminoso “Shining Path” yang melawan pemerintah dan menyebabkan akhirnya demokrasi dibekukan.

Dari pengalaman perjalanan itu dengan segera dapat dilihat bahwa gagalnya demokrasi adalah karena gagal pula terbentuk pemerintahan yang efektif yang dapat menghasilkan manfaat nyata bagi rakyat banyak. Manfaat itu berupa perbaikan kesejahteraan, rasa keadilan dan rasa aman. Atau, seperti saya kemukakan di atas, jaminan atas proses menuju keadilan dan kemerdekaan. Tanpa pemerintahan yang efektif, demokrasi sulit untuk memberikan hasil nyata yang didambakan rakyat. Tanpa hasil nyata, demokrasi akan kehilangan legitimasinya.

Pemerintahan yang efektif adalah kuncinya. Pemerintahan yang efektif dapat terbangun bila ada tiga unsur.
Pertama , suasana politik yang stabil. Kedua , ada birokrasi pemerintahan yang berjalan baik. Ketiga , ada kebijakan dasar yang rasional dan realisitis, dan didukung oleh rakyat, untuk menyusun langkah-langkah di bidang pembangunan sosial dan ekonomi.

Marilah kita cermati unsur yang pertama. Kestabilan politik dalam demokrasi, apalagi demokrasi yang sedang dalam tahap konsolidasi, bukanlah persoalan yang mudah. Tetapi seperti pengalaman sejarah kita sendiri, ide tentang kestabilan politik harus selalu mengasumsikan bahwa tidak ada masyarakat yang tanpa konflik dan perbedaan. Seperti dikatakan oleh pepatah kita “kepala sama berbulu, pendapat berlainan”.

Maka yang diperlukan bukanlah meniadakan atau melakukan tiindakan represif terhadap perbedaan pendapat; yang juga harus dihindarkan ialah menganggap konflik sebagai sekedar anomali. Dari sinilah kita harus mencari cara mengelola agar perbedaan dan konflik itu tidak berkembang menjadi destruktif.

Untuk mencegah kemungkinan yang negatif itu diperlukan tatanan hukum yang menjaga perasaan adil, dalam arti ditegakkan dengan benar, tidak diskriminatif dan terbuka bagi siapa saja.

Juga diperlukan lembaga dan proses politik yang dapat menyalurkan dengan leluasa kepentingan dan aspirasi yang berbeda-beda secara damai dan reguler.

Tidak kalah penting adalah adanya media yang bebas, yang dapat menyampaikan informasi tanpa distorsi, informasi yang tidak dikendalikan kekuasaan politik ataupun uang.

Last but not least perlunya pembangunan ekonomi yang melecut pertumbuhan tanpa mengabaikan asas pemerataan atau “keadilan redistributif”.

Untuk membangun itu semua, kita mau tak mau harus mengembangkan kepemimpinan (atau yang sering disebut sebagai “elite politik”) yang mempunyai setidak-tidaknya konsensus dan komitmen minimal dalam hal-hal pokok bernegara dan bermasyarakat.

Bagi Indonesia, konsensus itu menurut hemat saya didasari setidaknya empat komitmen:

Pertama , komitmen kepada Indonesia, sebagai satu tanahair -- dan satu-satunya tanahair -- yang merupakan amanah Tuhan yang diberikan kepada kita melalui sejarah.

Kedua , komitmen kepada Pancasila, bukan sebagai doktrin yang beku, melainkan sebagai semangat untuk mensyukuri dan menjaga kebhinekaan Indonesia. Dengan semangat itu ada tekad untuk mengelola perbedaan asal usul suku, etnis, agama, kebudayaan – juga bidang pekerjaan atau lapisan sosial -- tanpa kekerasan atau represi.

Ketiga , komitmen kepada demokrasi sebagai sistem yang menjamin, melaksanakan, dan menumbuhkan partisipasi rakyat banyak, termasuk mereka yang disisihkan atau dipinggirkan, untuk mengembangkan keadilan bersama dengan kemerdekaan.

Keempat , komitmen untuk meletakkan Indonesia dalam tata dunia yang lebih damai dan lebih adil. Perkuat tekad untuk tidak melibatkan Indonesia ke dalam pertikaian bersenjata, untuk menentang penggunaan senjata pemusnah massal, untuk menumbuhkan keadaan di mana tidak ada negara superkuat yang dapat menganggap dirinya di luar aturan bersama internasional, dan untuk mengembangkan penghormatan yang layak bagi hak-hak asasi manusia serta ke-bhineka-tunggal-ika-an dunia.

Keempat komitmen itu, untuk membangun konsensus nasional, tidak akan memerlukan usaha yang berlebih-lebihan. Sebab keempatnya bukan saja merupakan legacy atau peninggalan dari para perintis dan pendiri Republik. Keempatnya juga merupakan jawaban terhadap tantangan dan kenyataan yang membentuk Indonesia dewasa ini.


Hadirin yang terhormat.

Sekarang izinkanlah saya membicarakan unsur yang kedua dalam pemerintahan yang efektif. Yakni tentang birokrasi pemerintahan.

Setiap kali di dunia akademia kita berbicara tentang birokrasi, kita akan menyebut teori Max Weber. Dalam uraian Weber, birokrasi tumbuh sebagai konsekuensi dari lahirnya negara modern. Birokrasi adalah instrumen atau piranti dari otoritas yang legal-rasional. Instrumen ini menggantikan bentuk otoritas tradisional yang sepenuhnya bersumber pada kewibawaan tokoh yang kharismatis, atau wewenang yang diperoleh karena warisan, seperti di jaman raja-raja. Dengan sifatnya yang rasional dan dengan bekerja sesuai aturan, birokrasi diasumsikan akan bersikap obyektif atau tidak tergantung kepada keputusan pribadi, juga bersifat ajeg.

Birokrasi Indonesia tidak sepenuhnya mendukung asumsi Weber itu. Pertumbuhan birokrasi kita berjalan bersama dengan semakin besarnya peran Negara dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Hal ini tampak sekali sejak masa “demokrasi terpimpin”.

Sementara itu, pertumbuhan kuantitatif itu tidak dengan sendirinya disertai perbaikan kualitatif. Meningkatnya jumlah urusan pemerintah tak jarang tergantung pada pertimbangan politik, bukan berdasarkan desain yang sudah disusun dengan cermat. Bergantinya sebuah kebijakan umumnya akan melahirkan jawatan-jawatan baru. Sementara itu, pelaksanaan rekruitmen tidak ajeg, baik karena favoritisme berdasarkan ikatan politik, ikatan keluarga atau uang. Bentuk-bentuk KKN dalam rekrutmen birokrasi sudah lama terjadi. Aparatur Negara tidak sepenuhnya bekerja secara legal dan rasional. Kadang-kadang, seperti dikeluhkan masyarakat, aparatur itu bekerja untuk kepentingan-kepentingan yang partikular, bahkan pribadi, bukan kepentingan umum.

Dalam pada itu, ekspansi birokrasi baik dalam bentuk jumlah dan maupun dalam jenis – ekspansi yang tidak berdasarkan desain yang rasional -- telah mengakibatkan paling sedikit lima hal.

Pertama , terbentuknya sebuah “arsitektur” birokrasi yang rumit dan ruwet sehingga sangat menghambat pengendalian dan koordinasi.

Kedua , terjadinya ketimpangan antara kebutuhan hidup aparatur negara dan kemampuan belanja negara untuk memberikan remunerasi yang layak.

Ketiga , tumbuhnya dorongan di dalam birokrasi untuk menciptakan sendiri sumber-sumber kesejahteraan sendiri. Di sinilah awal terjadinya korupsi yang melembaga dalam tubuh birokrasi.

Keempat , tumbuhnya kecenderungan birokrasi untuk bertahan dari pengawasan dari pihak di luar dirinya.

Kelima , bertambah sukarnya keputusan pimpinan negara -- Presiden dan kabinetnya -- dilaksanakan oleh birokrasi pendukungnya.

Kelima hal itulah yang berkembang kurang-lebih semenjak tahun 1960-an, meskipun ada usaha-usaha kuat yang di sana-sini efektif untuk memperbaikinya.

Tekad pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono persis untuk mengatasi perkembangan yang kurang sehat dalam birokrasi kita. Dalam pemerintahan ini, bukan hanya de-birokratisasi saja yang hendak dijalankan, tetapi juga reformasi birokrasi yang terkait erat dengan perjuangan melawan korupsi.

Sejumlah ahli mengatakan bahwa demokrasi dapat berperan sebagai meta-institution atau institusi induk yang dapat menciptakan suasana kondusif bagi institusi-institusi lain, termasuk birokrasi, untuk berkembang secara efektif. Syaratnya adalah bahwa demokrasi itu dipraktekkan sesuai dengan kaidah-kaidah dasarnya, seperti transparansi, sportivitas, akuntabilitas dan sebagainya.

Birokrasi yang bersih dan efektif tidak datang dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil dari upaya sadar untuk membangunnya. Berdasarkan pengalaman negara lain, kita tahu upaya itu memakan waktu lama, dan harus dilaksanakan secara sistematis dan konsisten dengan disiplin tinggi. Oleh sebab itu program reformasi birokrasi harus menjadi program negara jangka panjang yang tidak boleh terputus - juga setelah masa bakti pemerintahan yang sekarang selesai.

Resiko terbesar di sini adalah apabila kontinuitas itu tidak terjadi. Kita juga harus merasa cemas bila birokrasi terkena politisasi, tercabik-cabik oleh faksi-faksi politik atau menjadi sandera dari kepentingan bisnis. Jika demikian halnya, seluruh bangsa akan jadi korban karena tidak ada lagi penyelenggara kepentingan umum atau kepentingan bersama. Negara hanya akan menjadi ajang perebutan kekuasaan dan kekayaan kelompok-kelompok kepentingan.

Sebab itu, sebuah blueprint reformasi birokrasi yang rasional dan realistis harus disusun beserta rencana aksinya yang jelas dan terprogram. Dan yang sangat penting adalah bahwa untuk mendukung pelaksanaannya harus ada kesepahaman dasar diantara para elite bangsa mengenai penanganan masalah-masalah yang terkait erat dengan reformasi birokrasi, yaitu masalah korupsi, money politics dan bagaimana mengatur agar kepentingan publik tidak tercampur aduk dengan kepentingan bisnis.

Tanpa kesepahaman dasar itu reformasi birokrasi tidak akan membawa perubahan mendasar kinerja birokrasi. Hanya penampilannya saja yang berubah.

Dengan kestabilan politik dan birokrasi yang efektif satu kerja lagi diperlukan. Yaitu adanya rencana kerja pemerintah untuk menghasilkan berbagai manfaat nyata yang diharapkan oleh rakyat. Rencana kerja itu tidak boleh hanya berupa daftar keinginan, tetapi harus punya sasaran yang jelas, sejauh mungkin dinyatakan dalam angka dengan langkah-langkah kongkrit untuk mencapainya disertai perhitungan biaya, jadwal waktunya dan siapa yang bertanggungjawab.

Semua langkah itu harus tersusun secara logis, konsisten, realistis dan dalam pelaksanaannya ada sistem baku untuk memonitor, mengevaluasi dan mengkoreksi.

Para hadirin yang terhormat,

Dalam demokrasi, tentulah rencana dasar itu tidak dapat dan tidak patut disusun secara sepihak. Setiap kebijakan Negara terbuka untuk dibahas dan diperdebatkan oleh masyarakat. Debat publik adalah cara terbaik untuk memantau kepentingan dan aspirasi orang banyak, dan juga untuk mengasah lebih tajam gagasan serta kebijakan yang hendak dipakai.

Namun untuk itu, sangat dibutuhkan mutu debat publik yang matang dan produktif. Kita harus mengakui, bahwa di Indonesia – juga di negara-negara lain -- debat publik yang rasional tidak selalu terjadi. Tidak jarang nalar terkalahkan oleh emosi dan prasangka. Argumentasi faktual terkalahkan oleh demagogi dan disinformasi. Penguasaan media oleh sekelompok kecil mengandung risiko, bahwa informasi yang berkembang tidak sepenuhnya mencerminkan kepentingan masyarakat.

Dalam proses pembangunan demokrasi yang jadi tekad pemerintah sekarang, yang juga merupakan panggilan hati setiap orang yang mencintai Indonesia, kita tidak boleh mundur dari yang sudah dicapai selama ini. Tetapi juga kita harus menyadari bahwa ini adalah perjuangan yang akan lama. Bahkan mungkin tidak akan pernah berhenti, sebab tidak akan pernah ada negeri dan masyarakat yang sempurna. Seperti dikatakan Bung Karno, mengutip Jawaharlal Nehru, “For a fighting nation, there is no journey’s end.”

Dengan perspektif itu, setiap langkah untuk membangun harapan kembali adalah sebuah langkah kecil tetapi yang sebenarnya tak ternilai. Marilah masing-masing kita berlomba, mulai hari ini memberikan yang terbaik bagi bangsa ini, mengkoreksi apa-apa yang belum pas, demi anak cucu kita.

Terimakasih

No comments: