Saturday, April 24, 2010

Solusi Kebutuhan Energi Masa Depan

Salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia adalah masalah energi. Saat ini kebutuhan energi setiap harinya di seluruh dunia mencapai 14 terawatt (1 terawatt = 1012 watt) atau 14 triliun watt. Jumlah ini setara dengan 210 juta barrel minyak. Internasional Energy Agency (IEA) melaporkan bahwa dari seluruh konsumsi energi tersebut, sumber energi yang dapat diperbarui (renewable) hanya mampu menyumbang 13 persen dari total kebutuhan energi.

Sumber energi yang dapat diperbarui tersebut di antaranya 2,3 persen dari hydro energy (air), 11 persen berasal dari pembakaran dan sampah (biomas), dan 0,5 persen berasal dari geotermal (panas bumi), solar (matahari), angin, dan panas.

Total konsumsi energi tersebut diprediksikan akan mengalami peningkatan menjadi sebesar 60 terawatt untuk memenuhi permintaan energi dari total penduduk dunia yang mencapai 8 miliar jiwa. Dibandingkan dengan industri di bidang lainnya, industri energi di seluruh dunia juga memiliki perputaran yang lebih besar dengan total mencapai 3 triliun dollar AS per tahunnya. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan industri pertanian yang mencapai 1,3 triliun dollar AS dan industri militer yang ”hanya” 700 miliar dollar AS. Kondisi inilah yang membuat energi mendapatkan sebutan sebagai the biggest enterprise on the planet (bisnis terbesar di planet).

Pada kenyataannya, permintaan yang terus meningkat terhadap energi tidak dibarengi dengan peningkatan jumlah pasokan minyak bumi yang saat ini menjadi penyuplai terbesar kebutuhan energi dunia.

Bahkan, semakin terbatasnya ladang ladang minyak di dunia membuat harga minyak terus meroket. Kondisi inilah yang membuat negara di dunia berpacu menemukan energi alternatif yang mampu mengatasi permasalahan energi di dunia.

Seorang peraih Nobel, Richard Smalley, yang juga peneliti di bidang nano teknologi dan energi mengatakan bahwa sumber-sumber energi alternatif yang saat ini berkembang diyakini tetap tidak mampu mengatasi masalah energi yang ada.

Energi yang berasal dari konservasi air sangat terbatas jumlahnya, demikian juga dengan energi angin. Di luar itu, sumber-sumber energi yang jumlahnya besar pada kenyataannya dapat memberi efek samping yang berbahaya, seperti pada kasus batu bara.

Batu bara

Batu bara sebenarnya dapat berperan sebagai energi alternatif pengganti minyak bumi. Sayangnya, batu bara sangat rentan terhadap polusi karbon di atmosfer. Profesor Smalley menyebut efek dari polusi batu bara ini sebagai efek gigaton carbon pada atmosfer yang sangat berbahaya bagi keberlangsungan bumi itu sendiri. Energi nuklir baik fisi maupun fusi juga diharapkan dapat berperan sebagai sumber energi alternatif, sayangnya energi nuklir saat ini masih terbilang sangat mahal serta memiliki masalah dalam pembuangan limbah serta kebutuhan pengamanan yang tinggi.

Salah satu sumber alternatif yang saat ini banyak menarik para peneliti di bidang energi adalah penggunaan teknologi nano sebagai sumber energi serta untuk mengefisienkan penggunaan energi.

Kemampuan teknologi nano khususnya di bidang nano material untuk membuat lapisan yang sangat efisien dalam mengonversi energi membuat teknologi nano sangat diharapkan untuk menghasilkan sumber energi alternatif masa depan.

Kemampuan teknologi nano dalam memanipulasi lapisan elektonik, baik pada sel surya (solar sel) dan fuel sel maupun lapisan penyimpan energi seperti baterai, membuat banyak kalangan meyakini teknologi nano akan menjadi salah satu alternatif revolusi dalam energi.

Nanoforum, lembaga yang dibiayai oleh Uni Eropa untuk pengembangan teknologi nano di Eropa, dalam laporan tahunannya di tahun 2003 telah menyatakan bahwa teknologi nano akan menjadi sumber alternatif yang menjanjikan untuk menyelesaikan masalah energi. Atas laporan ini, Philip Busquin—yang merupakan ketua komisi Uni Eropa untuk penelitian—mendesak agar negara-negara Eropa meningkatkan investasi untuk aplikasi teknologi nano di bidang energi ini.

Dari beberapa pemanfaatan teknologi nano untuk memproduksi sumber energi, teknologi nano pada produksi energi surya (dari sinar matahari) merupakan penelitian yang paling berkembang. Sel surya memang diakui banyak kalangan sebagai sumber energi yang paling menjanjikan di masa depan, mengingat energi matahari yang sampai di permukaan bumi setiap saat sebenarnya mencapai 165.000 terawatt. Jika kita bandingkan dengan 60 terawatt kebutuhan energi di seluruh dunia pada tahun 2050, maka 0,04 persen saja kita bisa mengonversinya menjadi energi yang siap pakai, permasalahan dunia akan sumber energi bisa diatasi. Energi matahari menjadi semakin menarik mengingat energi ini relatif bersih dari polusi sehingga solar sel merupakan sumber energi yang mendapat julukan sebagai green energy.

Pembangkit energi surya sebenarnya tergantung pada efisiensi mengonversi energi dan konsentrasi sinar matahari yang masuk ke dalam sel tersebut. Smalley, peraih Nobel bidang kimia atas prestasinya menemukan Fullerene, menyatakan teknologi nano menjanjikan peningkatan efisiensi antara 10 hingga 100 kali pada sel surya.

Smalley menambahkan bahwa cara terbaik untuk mendapatkan energi surya secara optimal adalah dengan meletakkan sel surya di ruang angkasa, dan teknologi nano diyakini akan mampu menciptakan material yang super kuat dan ringan.

Prediksi Smalley saat ini memang mulai terbukti. Salah satunya ditunjukkan oleh peneliti dari Universitas California Berkeley, Paul Alivisatos dan Janke Dittmer, yang memperkenalkan generasi mendatang dari sel surya yang disebutnya sebagai sel surya polimer-semikonduktor. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi nano, mereka membuat sel surya dari material semikonduktor inorganik berukuran nano yang diletakkan pada dua elektroda yang terbuat dari plastik dan aluminium hingga menjadikannya fleksibel.

Dengan tingkat fleksibilitas yang baik serta tipisnya lapisan, sel surya jenis ini diharapkan dapat menggantikan jenis sel surya dari bahan silikon dan juga menjadi solusi masa depan untuk baterai notebook dan handphone sehingga pengisiannya bisa dilakukan setiap saat.

Yang lebih menarik dari sel surya jenis ini, pembuatannya tidak memerlukan clean room (ruang dengan tingkat kebersihan partikel yang tinggi) atau bejana vakum yang menjadikan sel surya jenis ini mudah dan murah untuk diproduksi.

Sel surya

Selain pada sel surya, kemajuan teknologi nano juga memberi efek pada sumber energi lainnya, seperti fuel cell (dari hidrogen). Illinois Institute of Technology bekerja sama dengan perusahaan Compact Power yang berbasis di AS pada tahun 2004 telah meluncurkan lapisan ultra tipis (ketebalan sekitar 100 nm) dengan menggunakan elektroda bertingkat dan elektrolit untuk mendesain fuel masa depan yang disebut Nanotech Fuel Cell (NFC). Compact Power mengklaim mampu menghasilkan NFC yang memiliki efisiensi jauh di atas fuel cell yang ada saat ini dengan harga yang rendah.

Dengan menggunakan proses pembuatan elektokimia yang super tipis ini diperkirakan biaya pembuatan dapat dipangkas 80-90 persen dengan kemampuan mengonversi energi sampai 10 kali lipatnya. Bahkan, perusahaan semikonduktor NEC Jepang berniat memasarkan power suplay pertama dengan menggunakan fuel cell berbahan nano karbon pada tahun ini.

Melihat perkembangan yang sangat menjanjikan dari teknologi nano untuk solusi masalah energi masa depan, tidak heran jika banyak pihak mulai memberikan investasi dalam penelitian teknologi nano untuk energi. Dalam pertemuan antara pemerintah, senat, dan peneliti di bidang nano, Smalley merekomendasikan agar Pemerintah AS dapat mengucurkan dana tidak kurang dari 2 miliar dollar AS setahun bagi penelitian tersebut untuk mewujudkan mimpi menghasilkan sel surya yang murah. Industri-industri besar pun berbondong bondong melakukan riset untuk penguasaan teknologi nano pada energi ini. Beberapa perusahaan dan lembaga riset universitas ternama di New York, seperti Albany NanoTech, General Motor, dan MTI Micro, bergabung dalam New Energy New York (NENY) Fuel Cell Network untuk mengoptimalkan pemanfaatan teknologi nano pada fuel cell. Perusahaan raksasa energi Shell dalam laporannya berjudul Energy Needs, Choices and Possibilities; Scenarios to 2050 (Kebutuhan Energi, Pilihan dan Peluang bagi Skenario 2050) juga secara eksplisit memasukkan teknologi nano sebagai salah satu solusi bagi masalah energi masa depan dengan kemampuannya untuk melakukan efisiensi yang signifikan pada sel surya dan fuel cell (hidrogen).

Bagaimana dengan Indonesia? Saat ini negara kita telah mengalami krisis energi yang sangat memprihatinkan. Persediaan BBM dari seluruh kilang yang ada di Indonesia diprediksi akan habis dalam 20-25 tahun mendatang jika tidak ditemukan ladang minyak yang baru.

Selayaknya pemerintah memulai membuat road map untuk menciptakan sumber-sumber energi alternatif yang terbarukan, seperti biomas, matahari, dan angin. Teknologi nano yang akan menjadi teknologi masa depan juga selayaknya mulai dirintis penguasaannya yang salah satu fokusnya diarahkan pada aplikasi di bidang energi.

Sumber : Brian Yuliarto

Peneliti ISTECS Jepang dan Mahasiswa Doktor The University of Tokyo

No comments: