Sunday, April 11, 2010


Prof. Dr. Hasjim Djalal, Pejuang Negara Kepulauan



Prof Dr Hasjim Djalal sebagai seorang diplomat senior dan tokoh hukum laut internasional punya andil besar dalam proses mewujudkan pengakuan dunia atas Indonesia sebagai suatu negara kepulauan (archipelagic state). Pria kelahiran Ampat Angkat, Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Februari 1934, itu berprofesi sebagai diplomat karier sejak masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi.


Penulis buku Indonesian Struggle for the Law of the Sea (1979) dan Indonesia and the Law of the Sea (1995) serta Preventive Diplomacy in Southeast Asia: Lesson Learned (2003), itu pernah menjabat Duta Besar Indonesia untuk PBB (1981-1983), Dubes di Kanada (1983-1985), dan Dubes di Jerman (1990-1993) serta Dubes Keliling hingga masa pemerintahan Presiden BJ Habibie.


Sampai setelah dia pensiun, 1994, dia masih aktif menulis buku dan artikel di berbagai media serta berbicara di berbagai forum tentang masalah hukum laut internasional. Juga masih sibuk melayani kontak dari kolega-kolega internasionalnya. Pemikiran dan gagasannya tentang kelautan masih dibutuhkan bangsa ini, sehingga dia masih dipercaya duduk sebagai Anggota Dewan Martim Indonesia, Penasehat Senior Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Penasehat Kepala Staf TNI Angkatan Laut serta di Kantor Menteri Percepatan Pembangunan Indonesia Timur.


Suami dari Ny Jurni Hasjim Djalal dan ayah dari tiga anak: Iwan Djalal, eksekutif perusahaan swasta; Dino Pati Djalal, Jubir Luar Negeri Presiden SBY, Direktur Urusan Amerika Utara dan Tengah Departemen Luar Negeri RI; dan Dini Djalal, wartawan, tinggal di Amerika, itu juga di masa tuanya masih aktif sebagai anggota Komisi Konstitusi yang mengkaji amandemen UUD 45.


Dia tidak mau berdiam diri (mengangur). Sebagai pegawai negeri, pejabat eselon I dan II, memang diwajibkan pensiun pada usia 60 tahun. Tapi sebagai manusia, dia tidak mengenal masa pensiun. Sepanjang hayat masih dikandung badan, dia masih ingin aktif berkarya karena sudah merupakan bagian dari kebiasaan hidupnya. "Saya masih terus berpikir dan menulis. Kalau nggak kerja, rasanya sepi," katanya.


Sepertinya dia tidak kenal lelah. Karena dia mengaku sangat menikmati kerja. Karena, baginya bekerja tidak sekadar bekerja karena pekerjaannya, tapi juga sekaligus bekerja karena hobi dan sudah menjadi bagian dari kebiasaannya.


Dengan prinsip kerja seperti itu, Hasjim Djalal di masa pensiunnya masih terlihat segar bugar. "Karena saya selalu mengemukakan pikiran saya, secara langsung maupun lewat tulisan. Saya suka ceramah, kuliah, menulis di koran, majalah, membuat paper untuk workshop dan seminar. Pokoknya apa saja. Keep you busy! Kita harus buat kehidupan ini berguna. Bahwa pensiun, ya pensiun. Tapi yang perlu diingat bahwa hidup ini belum berhenti," kata Hasjim Djalal sebagaimana dikutip Harian Republika, Minggu, 09 Nopember 2003.


Sebagai manusia biasa, dia tentu juga perlu isterahat. "Tapi kadang kan orang bekerja dengan istirahat," katanya memperkuat betapa dia sangat menikmati (hobi) pekerjaan yang digumulinya. Selain itu, untuk memelihara kebugaran, Hasjim Djalal aktif berolahraga golf, bukan untuk mengejar poin, melainkan menikmati jalan kakinya itu.


Dalam usia senja, visinya masih tetap jauh menatap masa depan. Dia gelisah atas tingkah-polah beberapa pemimpin saat ini yang tampaknya hanya berpikir jangka pendek, hanya memikirkan jabatan. Tidak seperti para pemimpin terdahulu, terutama para pendiri bangsa ini, yang berjuang untuk kepentingan bangsanya, kendati pun harus mati dan dibuang.


Maka dia melihat perlunya aktualisasi Deklarasi Djoeanda yang visioner itu jauh ke depan. Sebagaimana dituturkan kepada Wartawan Tokoh Indonesia Haposan Tampubolon, Saud Situmorang dan Wilson Edwart (fotografer), Kamis 13 Desember 2007:


"Makanya saya sedang mikir-mikir, pada tahun 1945 kita memproklamirkan kemerdekaan dengan wilayah nasional sebagaimana dimiliki Hindia Belanda 3 mil dari pantai, sehingga laut-laut itu bukan laut nasional kita. Tetapi Djoeanda menjadikannya menjadi laut nasional. Itu sangat visionaris.


Coba kita pikirkan. Setelah 50 tahun Deklarasi Djoeanda, ke mana bangsa kita mau pergi. Pada tahun 1957 penduduk Indonesia masih sekitar 80 juta jiwa, sekarang 240 juta jiwa. Untuk 50 tahun yang akan datang ke mana mau kita bawa lagi bangsa ini. Djoeanda dulu membawanya kepada Kesatuan Nusantara.


Nanti setelah kekayaan alamnya habis, demikian pula hutannya, ikannya, terumbu karangnya, pemikir-pemikir kita sudah harus mulai belajar dari Pak Djoeanda untuk memikirkan masa depan bangsa 50 tahun yang akan datang."


Sang Diplomat Karir

Hasjim Djalal seorang diplomat karir. Dia memang sudah bercita-cita jadi diplomat sejak kecil. Ketika dia masih duduk di kelas 2 SMP (1948) dia sudah senang dan banyak membaca sejarah. Saat itu zaman perang kemerdekaan dan Belanda menduduki Bukittinggi. Dia sering membeli buku-buku kecil mengenai sejarah. Dia antara lain membaca kisah kehidupan Jose Rizal, Gandhi, cerita-cerita tentang sejarah Romawi, atau kisah Pangeran Diponegoro.


Dia senang membacanya terutama pada waktu-waktu senggang dan ketika pulang sekolah naik kereta api. Kebiasaan membaca itu terus menjadi hobi hingga dia dewasa. Bahkan sampai hari tuanya dia tidak pernah berhenti dari kebiasaan membaca. Baik dalam mobil perjalanan pergi-pulang ke kantor, ataupun dalam perjalanan jauh di pesawat, dia terus membaca.


Salah satu yang paling berkesan baginya dari bacaan sejarah itu adalah kisah zaman ketika orang berupaya melakukan perdamaian di Eropa sesudah Perang Dunia II pada awal abad ke-19. Kisah itu memantik berkeinginannya menjadi diplomat. Saat lulus dari SMA di Bukittinggi, tahun 1953, cita-citanya menjadi diplomat yang sudah tumbuh sejak SMP, menyala semakin kuat.


Dia berbahagia, karena kedua orang tuanya, H Djamaludin dan Ny Salamah, yang walau warga dusun, memberi dukungan penuh. besar. Maka selepas SMA, Hasjim pun berangkat ke Jakarta untuk sekolah di Akademi Dinas Luar Negeri. Oleh karena kondisi ekonomi kala itu, orangtuanya membekalinya dengan uang sangat pasan-pasan. Beruntung dia pun dibekali sebuah sepeda pemberian Paman Marah Sutan Maraju, sehingga mobilitasnya terbantu.


Setamat dari Akademi Dinas Luar Negeri, Hasjim mulai meniti karir di Depatemen Luar Negeri RI, 1 Januari 1957 (pensiun sebagai pegawai negeri pada 1994). Pertama kali dia ditugaskan ke luar Jakarta (luar negeri) adalah ke Irian (Kala itu Irian memang sudah wilayah RI, tapi tengah dikuasasi Belanda dan sedang berlangsung diplomasi untuk dikembalikan kepada Indonesia, dan kesepakatan tercapai tahun 1962).


Hasjim ditempatkan di perwakilan pemerintah pada UNTEA (United Nations Temporary Executive Administration) di Irian, sebuah badan PBB yang punya misi mempersiapkan peralihan pemerintahan di Irian dari Belanda ke PBB lalu ke Indonesia. Hasjim bertugas sebagai legal advisor. Namun, lama-lama tanpa disengaja dia jadi interpreter untuk Administrator PBB, Djalal Abduh, asal Iran.


Dia menyertai Administrator PBB itu keliling-keliling di Irian. Karena Administrator PBB itu tidak bisa berbahasa Indonesia, maka Kepala Perwakilan Indonesia di UNTEA, Soedjarwo Tjondronegoro (almarhum), menugasi Hasjim jadi penerjemah. Dia pun menjalankan tugasnya dengan baik.


Setelah bertugas di Irian dia kembali ke Jakarta, bertugas di basisnya, Direktorat Hukum Deplu, sekarang namanya Direktorat Perjanjian Internasional. Setelah itu, dia ditempatkan ke Beograd, Yugoslavia (1964), masa kepemimpinan (komunis) Josip Broz Tito (sahabat Bung Karno).


Hasjim punya pengalaman menarik dengan Tito. Sebagai pegawai kedutaan dia merasa bangga pernah ngobrol-ngobrol lama dengan Tito dia atas kapal. Kejadiannya tidak disengaja. Kala itu, Hasjim pulang dari sekolah di Amerika, akhir 1960, dengan naik kapal dari New York ke Jakarta. Kapal itu mampir-mampir di beberapa tempat, termasuk Eropa, sehingga seluruhnya memakan waktu 35 hari.


Di tengah perjalanan dari New York sampai ke Eropa, selama satu minggu, Hasjim satu kapal dengan Tito, yang sama-sama suka main di geladak. Sebagai seorang anak muda, pulang sekolah, orang Indonesia yang friendly terhadap Yugoslavia, Hasjim mula-mula berbicara akrab dengan para security officer yang menjaga di sekeliling Tito. Sehingga lama-lama para security officer itu tidak keberatan Hasjim berdiri dekat Tito dan akhirnya ngobrol di geladak kapal itu.


Memang, hanya obrolan ringan. Hasjim mengaku lebih banyak mendengar dan banyak belajar. Tito yang bersahabat dengan Bung Karno bicara mengenai Indonesia, bicara juga mengenai Yugoslavia. Bicara juga soal Presiden Soekarno yang baru saja (menghadiri) persiapan Konferensi Boegrad tahun 1961 mengenai Non Blok dan soal Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.


Dalam pandangan Hasjim, pemimpin Yugoslavia itu seorang pribadi yang senang bergaul, orangtua yang human, dan pejuang bagi bangsa dan negerinya. Tito juga punya pandangan-pandangan tajam terhadap Non Blok. Namun waktu itu, kata Hasjim, kemampuannya untuk memahami pembicaraan Tito, belum terlalu banyak.


Hasjim pernah menjabat Duta Besar Indonesia untuk PBB (1981-1983), Dubes di Kanada (1983-1985), dan Dubes di Jerman (1990-1993) serta Dubes Keliling hingga masa pemerintahan Presiden BJ Habibie. Saya pernah jadi Duta Besar Keliling selama enam tahun pada zaman Presiden Soeharto dan Habibie.


Selama bertugas di luar negeri, Hasjim memanfaatkan sebagian waktunya untuk sekolah. Hanya enam bulan setelah jadi pegawai negeri, dia pergi ke Amerika untuk sekolah S-2 dan S-3 selama empat tahun di University of Virginia. Tahun 1961 dia sudah selesai S-3 dengan disertasi mengenai kelautan: The Limit and Territorial Sea in International Law.


Sejak itu, Hasjim makin gigih memperjuangkan hukum laut. Sebuah fokus perjuangan diplomasi yang paling berkesan baginya. Dia tertarik masalah kelautan karena waktu mulai belajar di Amerika pada 1957, dia melihat Indonesia banyak sekali menghadapi persoalan yang merongrong kesatuan bangsa. Di Sumatera Barat, kampungnya sendiri, dan Sulawesi Utara ada pemberontakan PRRI/Permesta. Ada juga masalah Darul Islam yang waktu itu belum selesai, dan perjuangan Irian Barat belum selesai-selesai.


Indonesia pernah menganut sistem parlementer dan konstituante sesudah Pemilu 1955. Tapi tidak berjalan baik. Sistem partai politik yang dicoba waktu itu, kurang membawa kestabilan. Lantas, Hasjim berpikir, how do you create national unity? Apa penyebab semua ini?


Hasjim berpikir, barangkali bangsa kita tidak memahami fungsi laut sebagai pemersatu bangsa. Bukankah negara kita sebuah negeri kepulauan. Indonesia berbeda dengan India, Rusia, Cina, Jerman, atau Amerika, yang negerinya kontinental. Bagi mereka fungsi laut lebih pada fungsi ekonomis.


Sementara, bagi Indonesia, di samping fungsi ekonomis, berfungsi juga sebagai pemersatu bangsa. Tapi ironisnya, selama ratusan hingga ribuan tahun sejarah kepulauan Indonesia, laut malah menjadi berfungsi sebagai pemecah bangsa.


Sebab itu, Hasjim ingin mengembangkan satu attitude bahwa laut itu jangan menjadi pemisah, tapi menjadi pemersatu antarpulau Indonesia. Dia memberi contoh, Selat Sunda jangan jadi pemisah antara Jawa dan Sumatera, tapi justru sebagai penghubung dan pemersatu antara Jawa dan Sumatera.


Bahkan sampai saat itu, fungsi ekonomi laut pun tidak ada artinya bagi Indonesia. Nelayan-nelayan tradisional di sepanjang pantai hanya bisa menangkapi ikan teri. Tapi laut lepas atau laut bebas, tidak dimanfaatkan. Kala itu, yang menangkapi ikan tuna di Laut Banda, orang Jepang. Alasannya, itu laut bebas. Kita tidak bisa melarang.


Lalu pada 13 Desember 1957, Perdana Menteri Ir Djoeanda mendeklarasikan bahwa laut antarpulau Indonesia adalah wilayah Indonesia. Deklarasi ini mendapat tantangan dari seluruh dunia, terutama Amerika, Jepang dan Australia. Tindakan Indonesia dianggap ''merampok'' laut. Tapi pemerintah bersikukuh bahwa itu merupakan hal yang sangat vital bagi kesatuan dan masa depan bangsa.


Dari kasus itulah, Hasjim menulis disertasi tentang kelautan. Dialah orang Indonesia pertama menulis disertasi tentang kelautan. (Pada waktu Hasjim pulang meraih gelar S-3, Mochtar Kusumaatmadja, yang tengah mengajar di Universitas Padjadjaran Bandung, juga sedang mempersiapkan disertasi tentang hukum laut. Sejak saat itu, Hasjim mempunyai hubungan cukup erat dengan Mochtar yang kemudian hari menjadi Menlu).


Sehingga kala itu disertasi Hasjim mendapat perhatian dari kelompok-kelompok tertentu, terutama TNI Angkatan Laut. Maka sepulang dari Amerika, Kepala Staf TNI AL, Laksamana Martadinata langsung meminta disertasi Hasjim tersebut. Hasjim pun dilibatkan aktif menjadi sekretaris Panitia Hukum Dewan Maritim yang diketuai KSAL Laksamana Martadinata.


Banyak pihak yang memandang disertasi Hasjim agak aneh. Tetapi pihak University of Virginia sendiri yang menganut intelectual liberty, menganggapnya sebagai karya ilmiah yang sepatutnya dihargai. Sementara beberapa pihak menganggapnya aneh. Merasa aneh ada negara nusantara, negara kepulauan.


Sementara, pada 1948, sudah ada orang Norwegia, Jens Evensen, yang menulis bahwa gugus pulau itu bisa dianggap sebagai satu unit. Hal ini oleh Hasjim dan Mochtar dijadikan salah satu acuan disertasi. Jens Evensen merinci gugus pulau itu dalam ukuran kecil-kecil (seperti Pulau Seribu). Teori itu berkembang, lalu dalam konvensi tahun 1958 dikatakan bahwa gugus pulau sepanjang pantai juga bisa dianggap menyatu dengan pantai unitnya itu.


Walaupun teori Jens Evensen, tidak cocok bila digunakan untuk Indonesia yang pulaunya besar-besar. Gugusan pulau yang bertebaran seperti di Indonesia dengan jarak ribuan mil, susah bagi orang mencari teori bagaimana menyatukannya.


Tapi Hasjim dan Mochtar mengembangkan teori bahwa satu negara yang terdiri atas kepulauan, dianggap satu, dan menyatukan seluruh perairan di dalamnya sebagai wilayah nasionalnya.


Perjuangan atas teori dan gagasan itu ditempuh melalui jalan panjang dan berliku. Hasjim dan Mochtar menghadiri berbagai konferensi internasional untuk mengetes sikap berdasarkan teori itu. Hasjim sendiri hadir dalam pertemuan di Kairo tahun 1964. Namun kala itu tak ada reaksi dan dipandang tidak ada urgensinya untuk dibahas.


Kemudian setelah ada persiapan ke arah Konferensi ke-3 PBB, yang dimulai tahun 1967, dan Indonesia menjadi anggota PBB pada 1969, Hasjim ditugaskan pemerintah menjadi peninjau. Kala itu sudah ada yang mulai tergerak perihal pandangan negara kepulauan itu.


Lalu pada pertemuan Badan Hukum Asia Afrika di Colombo, 1971, sudah tertarik untuk membahas. Dalam kesempatan ini, Hasjim mengemukakan teori itu dan mulai mendapat simpati, meskipun lebih karena solidaritas sesama Asia-Afrika.


Dengan perjuangan diplomasi panjang bertahun-tahun dan manfaatkan solidaritas sesama negara Asia-Afrika, akhirnya Indonesia mendapat dukungan dunia internasional. Pada 1972 Indonesia pun rumuskan prinsip-prinsip pokoknya.


Ketika Konferensi PBB 1973, Hasjim aktif menggalang negara-negara tetangga dan negara-negara yang kira-kira sama dengan Indonesia merupakan negara-negara kepulauan, seperti Filipina, Fiji, dan Mauritius. Juga organisasi dunia lainnya didekati. Konferensi Asia Afrika, tiap tahun didukung. Organisasi negara-negara Afrika, juga digarap. Hasjim beberapa kali menghadiri pertemuan di bidang kelautan di berbagai belahan dunia. Akhirnya mereka banyak mendukung teori (gagasan) negara kepulauan. Termasuk pada 1974, koferensi di Caracas yang berlangsung delapan tahun.


Sementara Amerika, Inggris, Jepang dan Australia, sebagai negara-negara maritim internasional, yang punya perkapalan, angkatan laut, dan punya apa-apa di seluruh dunia, berupaya keras menentang. Mereka antara lain kuatir bahwa wawasan nusantara itu akan merintangi dan menghalangi mobilitas angkatan laut mereka dari satu samudera ke samudera lain.


Namun karena keuletan para diplomat Indonesia, di antaranya Hasjim Djalal dan Mochtar Kusumaatmadja, gagasan wawasan nusantara itu akhirnya bisa diterima dunia. Hasjim sendiri sampai lupa berapa kali dia bernegosiasi dengan Amerika, Jepang, dan Rusia, saking seringnya. Dalam setiap pertemuan itu, Hasjim menjelaskan dan menegaskan sikap bahwa negara kepualauan itu mutlak bagi Indonesia.


Ketika Presiden Soeharto ke Tokyo (Jepang), Hasjim ditugaskan ke sana antara tahun 1974-1975. Salah satu tugas utamanya adalah bagaimana supaya ketika Pak Harto datang, Jepang mau mengeluarkan pernyataan mengakui wawasan nusantara Indonesia. "Bagi saya ini suatu tugas yang sangat vital bagi bangsa Indonesia," kenang Hasjim Djalal. Misi ini pun berhasil.


Setelah setiap persoalan terselesaikan dalam berbagai pertemuan seminar dan diplomatik, dirumuskanlah dalam Konvensi Hukum Laut Internasional pada tahun 1982. Seluruh negara pun mengakui bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.


Namun, sampai saat ini (era reformasi), Hasjim merasa prihatin bahwa setelah itu dapat, bangsa Indonesia kurang mampu memanfaatkannya. Menurut Hasjim, posisi strategis Indonesia sudah sangat banyak diketahui bahwa kita sangat penting. Dalam arti letak perairannya berada di antara dua samudera dan dua benua. Susah mencari negara di dunia yang memiliki posisi seperti itu.


Namun, kata Hasjim, permasalahan yang dihadapi bangsa kita sejak dahulu, sudah berlangsung ratusan tahun, yang pandai memanfaatkan posisi itu justru orang luar. "Sampai hari ini kita tidak mampu mengambil keuntungan dari posisi yang sangat strategis itu. Yang pandai dan mampu adalah Singapura," ujarnya.


Singapura dalam posisi di tengah jalan mampu mengembangkan industrinya, perkapalannya dan segala macam. Kita kelihatannya belum mampu, padahal memiliki unsur-unsur yang sangat strategis. Tidak ada orang yang bisa lewat dari Samudera Hindia ke Samudera Pasifik tanpa melalui kita, atau dari Pasifik ke Hindia.


Itu satu poin. Yang kedua, walau keadaan kita sangat strategis, besar, banyak, dan kaya, Singapura tidak mempunyai resources karena dia kecil, tetapi karena kita kurang pandai memanfaatkan alam maka banyak dicuri orang. Sejak jaman penjajahan sudah begitu, sampai sekarang masih seperti itu juga. Kekayaan alam kita banyak tetapi tidak mampu memakmurkan rakyat.


Yang ketiga, karena kita besar, kekayaan alam banyak, akhir-akhir ini terasa kita lebih banyak merusak daripada memanfaatkannya. Seperti hutan yang hancur, laut kita juga sudah rusak. Sekarang kita menghadapi terumbu karang yang rusak. Karena tidak paham, kita menganiaya alam. Maksudnya mungkin tidak untuk menganiaya, tapi begitulah yang terjadi.


robinson binsar halomoan

Bersumber wawancara wartawan Tokoh Indonesia Haposan Tampubolon dan Saud Situmorang, 13 Dsember 2007 dan refrensi Harian Republika Minggu, 09 Nopember 2003)* TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia).

No comments: