Menjelajah Provinsi di Garis Equator
Sudah sekian lama penulis menanti-nantikan kesempatan ekspedisi di bumi Kalimantan atau dikenal dengan julukan " Borneo Island". Akhirnya tercapai juga.
Hari mulai menjelang malam ketika pesawat mendarat di bandara Supadio, Pontianak. Suasana Pontianak di malam hari memang terlihat cukup dinamis, di sepanjang jalan protokol banyak berkumpul encek-encek (bapak-bapak) yang duduk kongkow-kongkow sambil minum kopi. Penulis pun mencoba menelusuri beberapa ruas jalan utama seperti Jalan Gajah Mada, Tanjung Pura, dan Diponegoro. Populasi masyarakat Tionghoa di kota ini bisa dibilang lumayan banyak, dengan dialek Teowchew agak dominan. Buah langsat yang manis dan murah meriah juga membanjiri kota Pontianak saat itu, hanya Rp.10 ribu untuk 3 atau 4 kilo.
Keesokan malamnya, dengan Bus Tebekang Express, penulis pun berangkat menuju ke Kuching, Sarawak – Malaysia. Perjalanan memakan waktu sekitar 7 jam hingga di Entikong (pos perbatasan Indonesia – Malaysia). Karena pos imigrasi perbatasan baru buka jam 5 subuh, kami pun para penumpang terpaksa harus menunggu. Kabar baiknya, tidak ada fiskal maupun biaya sepeser pun yang mesti kita bayar untuk melewati imigrasi perbatasan ini, kecuali ongkos bus tentunya. Kabar buruknya, jalan sepanjang Pontianak – Kuching ini rusak parah di beberapa bagian; di beberapa ruas jalanan ada yang masih belum beraspal.
Hari telah subuh ketika kami melewati pos perbatasan Tebedu (milik Malaysia). Embun dan kabut agak menghalangi pandangan, dan beberapa tonjolan pegunungan tampak di agak kejauhan, menjadi “tiang pancang alami” yang menyekat wilayah Kalimantan (Indonesia) dengan Sarawak (Malaysia). Secara umum, kondisi alam/ vegetasi di Sarawak tidaklah jauh beda dengan di Indonesia. Hanya aspek-aspek sosio-kultural yang agak beda: seperti sistem penomoran plat kendaraan yang tentunya sudah berbeda, juga pemakaian bahasa seperti “tandas awam” (bahasa Melayu dari “toilet”).
Dari pagi hingga siang, kami menelusuri pusat kota Kuching. Kota Kuching bisa dibilang sudah cukup maju, mungkin sedikit di atas Pontianak, dan juga lebih teratur. Angkot (yang di sana disebut “kereta sewa”) rata-rata hanya bertarif 1-2 ringgit untuk tujuan dalam kota. Siang hingga petang hari, penulis menyempatkan diri berkunjung ke salah satu objek pantai (sekitar 1,5 jam dari Kuching) yaitu “Damai Beach”.
Damai Beach sebenarnya memiliki corak pantai yang lazim (biasa) saja, akan tetapi suasana yang lebih lengang membuatnya menjadi tempat pelarian yang ideal dari hiruk pikuk. Beberapa turis bule tampak berbaring santai menjemur diri di atas pasir. Penulis yang sudah hampir sehari-semalam belum mandi, akhirnya nekat mencemplung ke Laut China Selatan untuk berenang. Ukh, ternyata memang benar air laut rasanya asin ya, he..he.. dan sialnya karena berenang di tempat yang terlalu dangkal, akhirnya kaki tergores berdarah oleh batu karang. Air laut yang asin membuat luka goresan bertambah perih.
Malam harinya, dari Kuching, penulis berangkat ke Miri (sudah dekat dengan perbatasan Brunei). Perjalanan panjang ini memakan waktu hingga 13 jam, tetapi patut diacungi jempol bahwa ruas jalan sepanjang Malaysia Timur ini kondisinya sangat baik. Mendekati Miri, di sisi jalan berderet kebun-kebun sawit yang dikelola oleh perkebunan Malaysia.
Sebenarnya di Miri ada objek yang sangat menarik yaitu Mulu Cave, yang konon termasuk salah satu gua alami terbesar di dunia. Sayangnya, untuk menuju lokasi mesti menggunakan pesawat kecil karena letaknya di gunung yang tidak bisa diakses dengan transportasi darat. Akhirnya penulis tidak jadi mengunjunginya. Sehingga sore harinya, penulis langsung beranjak menuju Brunei.
Meskipun memiliki tatanan kota yang apik dan rapi, tetapi suasana malam hari di Bandar Seri Begawan (BSB) amatlah renggang dan sepi. Dapat dimaklumi, mungkin salah satu sebabnya adalah populasi total 1 negara Brunei yang bahkan masih lebih sedikit dibandingkan populasi 1 kota Pontianak. Selain itu, berdasarkan rumor dari para imigran pekerja dari Malaysia, warga Brunei pada malam hari sudah malas keluar rumah, dan tidak ada “night life” di Brunei. Dengan GDP per kapita yang tinggi, memang terlihat bahwa warga Brunei tidak perlu bekerja keras pun telah ditunjang oleh negara, sehingga suasana kerja terlihat agak santai dan lengang. Pekerjaan-pekerjaan kasar seperti kuli/ buruh biasa diisi oleh imigran dari Malaysia/ Indonesia/ Filipina karena pekerjaan seperti ini ogah disentuh oleh orang Brunei.
Hotel Brunei yang penulis inapi juga mahalnya minta ampun. 1 kamar semalam bisa hampir Rp.900 ribu, padahal pelayanannya dan juga fasilitasnya minim sekali (masih jauh lebih baik pelayanan di Hotel Santika Pontianak, yang tarifnya hanya sepertiganya serta memiliki fasilitas sauna dan jacuzzi gratis).
Tidak lupa tentunya penulis berfoto-foto dengan landmark kota BSB, yaitu Masjid Omar ‘Ali Saifuddien yang tampak indah sekali di malam hari. Masjid ini dihiasi cahaya nuansa kuning, dengan dikelilingi kolam besar yang di tengahnya terapung sampan besar bertahtakan kubah bangunan khas Melayu.
Keesokan siangnya, penulis pun berangkat meninggalkan Brunei dan tiba di Miri malam hari. Malam itu juga dari Miri penulis langsung meluncur ke Kuching dan tiba di kota Serian (2 jam dari Kuching) pada pagi harinya. Setelah 1-2 jam berkeliling pasar di Serian, penulis pun berangkat balik ke Pontianak. Tiba di Pontianak petang hari, langsung meluncur ke Singkawang menggunakan taksi gelap dengan tarif 70 ribu/ orang.
Jarak Pontianak ke Singkawang sekitar 2-3 jam. Suasana malam hari di Kota Singkawang agak sepi, dengan pertokoan yang telah tutup, dan jalanan yang lengang hampir tanpa lalu lalang. Setelah menginap di sebuah hotel murah, pagi hari saatnya menjelajah kota Singkawang. Dengan menyewa becak dayung, penulis pun menelusuri kota ini. Nuansa Tionghoa di kota ini cukup kental, dengan lampion-lampion merah yang tergantung di ruas-ruas jalan. Dialek Tionghoa yang dominan di Singkawang adalah Hakka, agak berbeda dengan di Pontianak.
No comments:
Post a Comment