Belajar dari Penderitaan
(Bhante Thich Nhat Hanh)
Pada kesempatan sebelumnya, saya pernah menyinggung mengenai latihan empat mantra. Saya mengatakan bahwa mantra keempat merupakan mantra yang sulit dipelajari sehingga saya tidak membahasnya. Meskipun kenyataannya mantra ini sulit, namun sebenarnya mantra ini tidak begitu sulit. Setelah ceramah, ada seorang pria yang tiba-tiba menghentikan saya, ia bertanya tentang mantra keempat. Dia ingin sekali belajar dan berlatih mantra keempat. Dia sangat penasaran karena saya mengatakan bahwa mantra keempat lebih sulit. Tapi, setelah saya pikirkan kembali, menurut saya anak-anak juga dapat mengerti dan berlatih mantra keempat. Oleh karena itu, hari ini saya akan memberitahu bagaimana cara melatih mantra keempat.
Mantra keempat perlu dilatih saat diri anda sendiri yang menderita. Seperti yang kita ketahui, mantra ketiga dilatih saat orang yang kita cintai menderita. Anda temui dia dengan penuh perhatian murni, konsentrasi, dan ucapkan mantra: “Sayang, aku tahu kamu menderita, itulah sebabnya aku di sini untukmu.” Berbeda dengan mantra ketiga, mantra keempat dilatih saat dirimu sendiri yang menderita. Anda tahu bahwa penderitaan itu disebabkan oleh orang yang sangat anda cintai. Itulah sebabnya hal ini menjadi sulit. Saat orang yang paling anda cintai mengucapkan sesuatu atau melakukan suatu perbuatan yang melukai perasaan anda, anda sangat menderita. Jika saja orang lain yang mengucapkan atau melakukan hal tersebut, anda tidak akan menderita seperti itu. Namun, orang ini adalah orang yang paling anda cintai di dunia ini dan dia benar-benar melakukannya pada anda, dia benar-benar mengucapkannya pada anda sehingga anda tidak dapat menanggungnya. Anda menderita seratus kali lipat. Inilah saatnya berlatih mantra keempat.
Berdasarkan latihan ini, anda harus menemui orang tersebut, orang itu juga, orang yang paling anda cintai, yang baru saja melukai perasaan anda secara mendalam. Anda temui dia dengan penuh perhatian murni dan konsentrasi, ucapkan mantra keempat: “Sayang, Aku menderita, tolong aku.” Hal ini cukup sulit untuk dilakukan? Akan tetapi, jika anda melatih diri anda, anda dapat melakukannya. Saat anda menderita, dan anda tahu bahwa orang yang membuat anda menderita adalah orang yang paling anda cintai, anda ingin sendirian. Anda ingin mengunci kamar anda dan menangis sendirian. Anda tidak ingin menemuinya. Anda tidak ingin berbicara dengannya. Bahkan anda tidak ingin bersentuhan dengannya. Tinggalkan aku sendiri! Anda tidak ingin ia menyentuh anda. Hal ini sangat biasa, juga sangat manusiawi. Bahkan jika ada orang lain yang mencoba mendekati anda dan mendamaikan, anda masih saja sangat marah. Anda katakan: “Jangan sentuh aku, tinggalkan aku sendiri, aku tidak ingin menemuimu, berada bersamamu.” Itulah perasaan sebenarnya yang muncul saat itu. Sangat sukar… Saya rasa anda pernah mengalami situasi tersebut.
Jadi, apakah mungkin berlatih mantra keempat? Anda temui dia, nafas masuk secara mendalam, nafas keluar secara mendalam, menjadi diri anda sendiri sepenuhnya, buka mulut anda dan katakan dengan seluruh tenaga, konsentrasi, bahwa anda sangat menderita dan membutuhkan pertolongannya. Tampaknya anda tidak ingin melakukan hal itu, karena anda tidak merasa bahwa anda membutuhkan bantuannya. Anda mungkin membutuhkan bantuan orang lain, tapi anda tidak butuh bantuannya. Anda ingin sendiri. “Aku tidak membutuhkanmu.” Itu yang ingin anda katakan. Itulah masalahnya; karena anda terluka begitu mendalam. Sehingga anda tidak dapat menemui dan meminta bantuannya. Harga diri anda terluka begitu mendalam. Itulah sebabnya mantra keempat sangatlah penting.
Supaya dapat melatihnya, kita harus melatih diri kita sekian waktu lamanya. Anda biasanya cenderung secara alamiah mengatakan kepadanya bahwa anda dapat hidup tanpa dirinya. Anda dapat hidup mandiri. Anda tidak akan mati karena tidak memiliki cintanya. Itulah yang kita lakukan pada umumnya. Tapi, jika anda tahu bagaimana cara melihat situasi tersebut dengan kearifan, anda akan memandang bahwa, mengatakan hal itu sangat tidak bijaksana. Hal yang bodoh; karena, bila kita mencintai satu sama lain, kita saling membutuhkan, apalagi saat kita menderita. Sangatlah tidak bijaksana jika kita melakukan hal yang sebaliknya. Anda sangat yakin bahwa penderitaan anda datang dari dia, anda sangat yakin; tapi, mungkin saja anda salah. Dia belum melakukannya sama sekali, dia belum mengatakannya, dengan maksud melukai anda, tetapi anda salah paham. Anda memiliki persepsi yang keliru. Persepsi yang keliru adalah kuncinya.
Saya akan menceritakan sebuah kisah tentang Tuan Truong. Ini adalah sebuah kisah nyata. Kisah ini terjadi di negara saya (Vietnam), ratusan tahun yang lalu. Semua orang di negara saya mengetahui kisah ini. Ada seorang pria yang masih muda belia, ia harus mengikuti wajib militer. Sehingga dia menjadi tentara dan pergi berperang. Dia harus meninggalkan istrinya sendirian di rumah dalam keadaan hamil. Mereka menangis cukup lama saat berpisah. Mereka tidak tahu apakah sang pria ini akan kembali dengan selamat, karena tidak ada yang tahu. Pergi berperang sangatlah beresiko. Anda bisa saja mati seketika dalam waktu beberapa minggu, beberapa bulan, atau mungkin anda terluka parah, atau jika anda sangat beruntung, anda akan selamat, pulang ke rumah, bertemu orang tua, istri, dan anak- anak anda.
Pria muda tersebut cukup beruntung, dia selamat. Beberapa tahun kemudian, dia dibebastugaskan. Istrinya sangat gembira mendengar kabar bahwa suaminya akan pulang. Dia pergi ke pintu gerbang desa dan menyambut suaminya, dia ditemani anak laki-lakinya yang masih kecil. Anak kecil itu dilahirkan saat ayahnya masih bergabung dengan pasukan militer. Pada saat mereka bertemu kembali, mereka menangis dan saling berpelukan, mereka menitikkan air mata kegembiraan. Mereka sangat bersyukur, pria muda tersebut selamat dan pulang ke rumah. Saat itu adalah pertama kalinya pria muda itu melihat anak laki-lakinya yang masih kecil.
Berdasarkan tradisi, kami harus membuat persembahan di altar leluhur, untuk memberitahu para leluhur bahwa keluarga telah bersatu kembali. Pria itu meminta istrinya pergi ke pasar untuk membeli bunga, buah-buahan, dan barang persembahan lain yang diperlukan untuk membuat persembahan di altar. Pria itu membawa anaknya pulang dan mencoba membujuk anaknya untuk memanggilnya ayah. Tetapi anak tersebut menolak. “Tuan, kamu bukanlah ayah saya. Ayah saya adalah orang lain. Dia selalu mengunjungi kami setiap malam, dan setiap kali ia datang, ibu saya akan berbicara denganya lama sekali. Saat ibu duduk, ayah saya juga duduk; saat ibu tidur, dia juga tidur. Jadi, kamu bukanlah ayah saya.
Ayah muda tersebut sangat sedih, sangat terluka. Dia membayangkan ada pria lain yang datang ke rumahnya setiap malam dan menghabiskan waktu semalaman dengan istrinya. Semua kebahagiaannya lenyap seketika. Kebahagiaan datang sangat singkat, diikuti dengan ketidakbahagiaan. Ayah muda tersebut sangat menderita sehingga hatinya menjadi sebongkah batu atau es. Dia tidak dapat lagi tersenyum. Dia menjadi sangat pendiam. Dia sangat menderita. Istrinya, yang sedang berbelanja, tidak tahu sama sekali mengenai hal itu. Sehingga, sewaktu ia pulang ke rumah, ia sangat terkejut. Suaminya tidak mau menatap wajahnya lagi. Dia tidak mau berbicara. Dia menjadi sangat dingin, seakan-akan ia memandang rendah istrinya. Wanita itu tidak mengerti. Mengapa? Sehingga sang istri mulai menderita. Menderita sangat mendalam.
Setelah persembahan selesai dibuat, perempuan tersebut meletakkannya di altar. Suaminya menyalakan dupa, berdoa kepada para leluhur, membentangkan tikar, melakukan empat sujud dan memberitahukan bahwa ia sudah pulang ke rumah dengan selamat dan kembali ke keluarganya. Di negara saya, ini adalah latihan yang sangat penting. Di setiap rumah selalu ada altar para leluhur. Di atas altar, kami meletakkan sebuah gambar seorang leluhur yang mewakili semua leluhur. Seperti gambar kakek, nenek, dan sebagainya. Setiap pagi, seseorang datang ke altar, membersihkan debu yang ada di meja, menyalakan sebuah dupa, menundukkan kepala, dan mempersembahkannya kepada para leluhur. Hal ini sangat sederhana, tapi hal ini adalah latihan yang sangat penting di setiap pagi. Sehingga anda selalu memiliki dupa di rumah.
Setelah mempersembahkan dupa, berdoa dan melakukan empat sujud, ayah muda tersebut menggulung tikar, dan ia tidak mengizinkan istrinya melakukan hal yang serupa, karena ia berpikir bahwa istrinya tidak pantas untuk menampakkan dirinya di depan altar para leluhur. Wanita muda itu kemudian merasa malu, “terhina” karena peristiwa itu, dan dia menderita lebih dalam lagi. Menurut tradisi, setelah upacara selesai, mereka harus membereskan persembahan, dan keluarga tersebut harus duduk dan menikmati makanan dengan suka cita dan kegembiraan; tetapi pria muda tersebut tidak melakukannya. Setelah ritual persembahan, pria muda tersebut kemudian pergi ke desa, dan menghabiskan waktunya di kedai arak. Pria muda tersebut mabuk karena dia tidak dapat menanggung penderitaannya. Pada masa itu, saat mereka sangat menderita, mereka biasanya pergi ke kedai arak dan minum banyak alkohol. Sekarang, mereka dapat menggunakan banyak macam obat-obatan terlarang. Tapi pada masa itu hanya ada alkohol. Ia tidak pulang ke rumah hingga larut malam, sekitar pukul satu atau dua dini hari dia baru pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Dia mengulangi perbuatannya tersebut hingga beberapa hari, tidak pernah berbicara dengan istrinya, tidak pernah menatap istrinya, tidak pernah makan di rumah, wanita muda tersebut sangat menderita dan ia tidak dapat menanggungnya. Pada hari keempat wanita tersebut melompat ke sungai dan mati. Dia sangat menderita. Pria tersebut juga sangat menderita. Tapi tidak seorang pun dari mereka berdua yang datang pada salah satu pihak dan meminta bantuan, karena “harga diri” yang mereka pertahankan secara membuta.
Saat anda menderita dan anda yakin bahwa penderitaan anda disebabkan oleh orang yang paling anda cintai, anda lebih suka menderita sendiri. Harga diri mencegah anda menemui orang lain dan meminta bantuan. Bagaimana seandainya sang suami tersebut menemui istrinya? Situasinya mungkin akan berbeda.
Malam itu, dia harus tetap tinggal di rumah karena istrinya sudah meninggal dunia, untuk menjaga anak laki-lakinya yang masih kecil. Dia mencari lampu minyak tanah dan menyalakannya. Saat lampunya menyala, tiba-tiba anak kecil itu berteriak: “Ini dia Ayahku!” dia menunjuk bayangan ayahnya di dinding. “Tuan, ayahku biasanya datang tiap malam dan ibu berbicara banyak dengannya, dia menangis di depannya, setiap kali ibu duduk, ayah juga duduk. Setiap kali ibu tidur, ayah juga tidur.”
Jadi, ‘ayah’ yang dimaksudkan anak tersebut hanyalah bayangan ibunya. Ternyata, wanita itu biasanya berbicara dengan bayangannya setiap malam, karena dia sangat merindukan suaminya. Suatu ketika anaknya bertanya kepada ibunya: “Setiap orang di desa memiliki ayah, kenapa aku tidak punya?” Sehingga pada malam tersebut, untuk menenangkan anaknya, sang ibu menunjuk bayangannya di dinding, dan berkata, “Ini dia ayahmu!” dan ia mulai berbicara dengan bayangannya. “Suamiku sayang, kamu sudah pergi begitu lama. Bagaimana mungkin aku membesarkan anak kita sendirian? Tolong, cepatlah pulang sayang.” Itulah pembicaraan yang sering ia lakukan. Tentu saja, saat dia lelah, ia duduk, dan bayangannya juga duduk. Sekarang ayah muda tersebut mulai mengerti. Persepsi keliru sudah menjadi jernih. Tetapi semua itu sudah terlambat; istrinya sudah mati.
Persepsi yang keliru dapat menyebabkan banyak penderitaan dan kita semua mengalami persepsi yang keliru setiap harinya. Kita hidup dengan persepsi keliru setiap hari. Setiap saat kita merasakan sesuatu, kita perlu bertanya, “Apakah kita yakin persepsi tersebut benar?” Agar aman, anda harus bertanya apakah anda yakin dengan persepsi anda?
Saat kita berdiri bersama para sahabat, dan memandang indahnya sinar matahari yang terbenam, kita menikmati pemandangan tersebut, dan barangkali kita yakin bahwa matahari sedang terbenam, atau belum terbenam. Tetapi seorang ilmuwan akan memberitahukan kepada kita bahwa matahari sudah tenggelam delapan menit yang lalu. Pemandangan matahari yang kita singgung hanyalah pemandangan matahari delapan menit yang lalu. Dia mengatakan hal yang sebenarnya, karena diperlukan waktu delapan menit agar citra matahari dapat dilihat mata kita yang berada di bumi. Itu adalah kecepatan cahaya. Kita sangat yakin kita sedang melihat mahatari saat ini juga. Itu adalah salah satu persepsi keliru. Kita mengalami ribuan persepsi yang keliru seperti itu dalam kehidupan sehari-hari kita.
Mungkin saja orang lain tidak bermaksud melukai anda, tetapi anda yakin kalau dia melakukannya untuk menghukum anda, untuk membuat anda menderita, untuk menghancurkan anda. Anda membawa persepsi yang keliru seperti itu siang dan malam, dan anda sangat menderita. Mungkin saja anda akan tetap mempertahankan persepsi anda hingga anda mati, memiliki banyak kebencian terhadap seseorang yang mungkin saja tidak bersalah. Itulah sebabnya, melakukan meditasi terhadap persepsi adalah latihan yang sangat penting.
Andai saja pria muda tersebut menemui istrinya dan mengatakan: “Sayang, aku sangat menderita beberapa hari ini. Sepertinya aku tidak dapat hidup lagi. Tolong aku. Tolong beritahu aku siapa pria yang selalu datang setiap malam, kamu ajak bicara, menangis di depannya, setiap kali kamu duduk, ia duduk.” Hal yang sangat mudah untuk dilakukan. Temui dia dan katakan. Jika pria tersebut melakukannya, wanita muda itu akan punya kesempatan untuk menjelaskan, dan tragedi tersebut dapat dihindari. Mereka dapat memulihkan kebahagiaan dengan mudah, secara langsung. Tetapi ia tidak melakukannya karena ia terluka sangat mendalam, dan harga diri telah mencegahnya untuk menemui istrinya dan meminta bantuan. Dia belum belajar mantra keempat.
Tidak hanya pria tersebut yang melakukan kesalahan, wanita itu juga melakukan kesalahan yang serupa. Dia juga sangat menderita, tetapi ia terlalu sombong untuk meminta bantuan. Dia seharusnya menemui suaminya dan mengatakan: “Sayang, aku tidak mengerti. Aku sangat menderita. Aku tidak mengerti mengapa kamu tidak mau menatapku, kamu tidak mau berbicara denganku, kamu sepertinya merendahkan aku. Tampaknya kamu merasa bahwa aku ini tidak ada sama sekali. Apakah aku telah melakukan kesalahan sehingga aku pantas diperlakukan seperti ini?” Itulah yang seharusnya ia lakukan. “Sayang, aku menderita, tolong aku!” itulah mantranya. Jika dia mengatakan hal itu, pria muda tersebut, suami muda tersebut mungkin akan menjawab seperti ini: “Kenapa? Apakah kamu tidak tahu jawabannya? Siapa orang yang selalu datang setiap malam, orang yang selalu kamu ajak bicara?” Maka wanita itu seharusnya memiliki kesempatan untuk menjelaskannya. Setelah pria muda tersebut sadar akan kesalahannya, dia menangis dan terus menangis. Dia menjambak rambutnya, memukul dadanya. Tapi semuanya sudah terlambat! Akhirnya semua penduduk di desa tersebut belajar dari tragedi itu, mereka datang dan mengadakan upacara besar untuk mendoakan wanita yang malang itu. Sebuah upacara pembersihan ketidakadilan yang dilakukan orang seperti kita, yang berasal dari ketidaktahuan dan persepsi keliru kita. Bersama-sama, mereka membangun stupa untuk wanita malang itu. Hingga saat ini, stupa itu masih berdiri tegak di sana. Jika anda mengunjungi Vietnam Utara, dan melewati sungai itu, anda akan melihat stupa tersebut.
(diadaptasi dan disunting dari buku “Menyembuhkan Diri, Mengatasi Derita”, Penerbitan PVVD 2008)
No comments:
Post a Comment