(Majalah Sinar Dharma)
… diri kita adalah orang lain … orang lain adalah diri kita … orang lain adalah orang lain ... diri kita adalah diri kita...
Jeram Surga. Tak heran disebut sebagai Jeram Surga, karena memang jeram itu begitu mempesona, apalagi kala pelangi menampakkan senyumnya seusai berakhirnya tetesan air hujan. Namun di balik indahnya nama dan pemandangan jeram itu, masyarakat setempat lebih mengenalnya sebagai Jeram Kematian.
Tak sedikit wisatawan luar daerah yang datang menikmati keindahan panorama Jeram Surga, namun tak sedikit pula yang tak pernah keluar dari dasar jeram itu. Ketinggian jeram itu merupakan tempat ideal untuk mengakhiri hidup, pun lembayung senja yang tersenyum mengintip dari belakang punggung gunung seakan menambah rasa melankolis dan memperdalam keinginan orang-orang pendek pikiran untuk menerjunkan diri ke dalam jeram.
Tetapi setahun terakhir ini tak ada lagi orang yang mengakhiri hidup di Jeram Surga. Bukan karena apa, tapi karena di sekitar jeram muncul seorang lelaki setengah baya yang menghalangi dan menasehati mereka yang ingin bunuh diri. Ming Shi Shui (Nama – Makanan – Tidur) adalah penduduk asli Surga Jeram, di usia 20-an tahun dengan berbekal ilmu silat ia merantau ke ibu kota. Tidak ada yang tahu apa yang dikerjakannya selama di ibu kota kerajaan. Tak ada angin tak ada hujan, dia tiba-tiba kembali ke Surga Jeram.
Perbuatan mulia Ming Shi Shui akhirnya mendapat sambutan warga setempat yang kini tak lagi acuh tak acuh dengan para calon korban yang ingin tidur selamanya di dasar jeram. Mereka secara spontanitas mengikuti jejak Ming.
Hari itu, seminggu menjelang Hari Qing Ming (Ceng Beng, hari membersihkan makam keluarga) datanglah seorang lelaki tua ke Jeram Surga. Sepanjang pagi berdiri membisu di tepi jeram, salah satu ciri orang yang berpikiran pendek. Tetapi di luar kebiasaan, Ming Shi Shui kali itu hanya melihat dari kejauhan. Bukan hanya itu, yang lebih parah lagi, yang sangat bertolak belakang dengan perilakunya selama setahun ini, dia bahkan mengancam setiap orang yang bermaksud menasehati lelaki tua itu.
Semua itu tidak terlepas dari pengamatan Wu Wo, yang sedang dalam perjalanan menuju ibukota sekembali dari Negeri Ribuan Pagoda. Ketika melangkah mendekati lelaki tua itu, sebuah tepukan jatuh di pundak kanannya. “Anak muda, biarkan dia menuntaskan buah karmanya sendiri. Jangan ikut campur!” Sebuah ucapan yang lembut, namun penuh dengan nada memerintah.
“Membantu orang yang memerlukan bantuan, itu bukan ikut campur namanya.” Wu Wo merasakan tepukan lembut itu kini berubah menjadi cengkeraman. Wu Wo tidak mempedulikannya, ia terus berjalan menghampiri lelaki tua itu. Cengkeraman itu kini berubah menjadi hentakan. Tampaknya bukan hal yang sulit bagi Ming Shi Shui untuk melontarkan tubuh seseorang dengan satu hentakan, bahkan dengan berat tubuh dua kali Wu Wo. Namun yang dihadapinya kali ini adalah Wu Wo, bukan orang lain.
Tangan kiri Wu Wo meluncur menangkap tangan yang mencengkeram pundaknya, sedang tangan kanannya mengayun ke samping menepis tangan kanan Ming yang bergerak mendorong pinggangnya. Mereka yang berkerumun di sekitar jeram tak ada yang menyadari bahwa gerakan yang mirip kanak-kanak bermain dorong mendorong itu adalah awal pertarungan dua tokoh kelas satu dunia jianghu (dunia persilatan). Ming tak bermaksud mencelakai Wu Wo, sedang Wu Wo hanya berkeinginan mendekati kakek tua di tepi jeram, namun dari gerakan dorong mendorong yang sederhana itu, mereka berdua menyadari bahwa lawan yang dihadapi bukan sembarang orang.
Ming yang selama ini tidak menemukan lawan yang berimbang, jadi merasa tertantang untuk menjajaki kemampuan kungfu Wu Wo. Pada awalnya pertarungan itu berjalan imbang dan alot, namun tak lama kemudian terlihat Wu Wo dengan toyanya berada di bawah angin. Ming ternyata mempunyai teknis kungfu pertarungan jarak dekat yang sangat lihai. Keringat membasahi pelupuk wajah Wu Wo yang tetap berusaha bersikap tenang. Tak terduga di Jeram Surga ini berdiam seorang tokoh jianghu yang kemampuannya tak di bawah guru Wu Wo, Bhiksu Wu Zhuo.
Tapi kondisi berat sebelah itu tak berlangsung lama, stamina Wu Wo yang masih muda berhasil meredam serangan-serangan gencar Ming. Ming yang sadar kedodoran stamina kini justru melancarkan jurus-jurus mematikan agar dapat secepatnya mengakhiri pertarungan. Saat itulah terdengar teriakan membahana.
“Lao Ming, ini urusan antara kita berdua, tak ada hubungannya dengan pemuda ini.” Lelaki tua itu tak tahu sejak kapan telah berdiri di dekat medan pertarungan. Tanpa dikomando, Ming dan Wu Wo bersamaan menghentikan pertarungan mereka.
“Anak muda, terima kasih atas perhatianmu. Ini adalah urusan antara saya dan Ming Shi Shui,” lelaki tua itu mengawali percakapan, “saya dahulu telah banyak berbuat tidak benar. Hanya kematianlah yang dapat menebus semua itu.”
“Laoqianbei (generasi senior) ...”
“Dengan orang macam ini tak perlu terlalu menghormat, langsung saja sebut namanya, Cai Se (Harta – Rupa),” Ming memutus dengan ucapan yang ketus.
“Paman Cai, pernahkah mendengar gong-an Chan - siapa yang bisa melepas ikatan yang membelenggu kita?” Wu Wo berganti memakai panggilan Paman.
“Siapa yang mengikat, dialah yang melepas ...,” Cai Se menjawab dengan lirih.
“Itulah, dia yang bikin perkara, dia sendiri yang habisi hidupnya, sudah benar kan? Lalu, kenapa ada yang iseng sok ikut campur?” Ming masih berucap dengan ketus.
“Memang benar, yang membelenggu kita adalah kita sendiri. Tapi Paman Cai, alih-alih melepaskan ikatan, bunuh diri itu justru tambah bikin ruwet. Bukan mengakhiri, tapi melarikan diri dari masalah. Buah karma buruk tetap akan kita tuai di kehidupan akan datang, ditambah dengan bunganya. Pun itu tidak memadamkan kebencian dari orang-orang yang kita rugikan. Untuk memadamkan kebencian dan menebus kesalahan, kita harus membantu orang-orang yang kita rugikan dengan berlandaskan cinta kasih, welas asih dan kebijaksanaan. Kita harus memperbaiki kerusakan yang kita sebabkan, bukannya melarikan diri. Paman, saya yang muda bukannya bermaksud menggurui, tapi memang demikianlah ajaran luhur Buddha, seperti yang saya dengar dari guru saya tercinta, Bhiksu Wu Zhuo.” Wu Wo menutup penjelasannya dengan beranjali di depan dada.
“Wu Zhuo? Kau bilang Bhiksu Wu Zhuo itu gurumu? Pantas saja begitu muda sudah lihai sekali,” nada ketus Ming mulai lenyap.
“Saya yang muda ini masih harus belajar banyak dari Paman Ming.” Ini bukan merendah, tapi memang demikian kenyataannya, kungfu Wu Wo masih setingkat di bawah Ming.
“Anak muda, tidak heran kalau kau kewalahan menghadapi Lao Ming ini, karena dia adalah ...”
“Jangan ungkit-ungkit masa lalu!” Bentak Ming.
“He .. he .., aku yang tua ini sudah siap melangkah meninggalkan dunia fana ini, apa yang perlu disembunyikan? Mantan kepala pasukan pengaman istana pulang kampung menjadi sukarelawan pengaman Jeram Surga menyelamatkan orang-orang pendek pikiran, ya, ini tidak ada buruknya. Beda dengan Cai Se, menteri ambisius yang menghalalkan segala cara, yang akhirnya juga harus mengalami nasib tragis dicopot dari jabatannya.”
Hati Wu Wo tercekat, ternyata dua orang senior di hadapannya ini adalah tokoh-tokoh kelas atas istana. “Mohon Anda berdua berkenan menerima hormat dari saya, Wu Wo.” Wu Wo berucap sambil beranjali.
“Wu Wo? Sungguh merupakan kehormatan dapat bertatap muka dengan penyelamat kaisar.” Ming dan Cai sempat terkejut juga mendengar nama Wu Wo. Mereka serempak memberi penghormatan balasan. Sebagai petinggi istana, sudah tentu mereka berdua mengetahui peristiwa penculikan kaisar di Gunung Tiantai beberapa waktu silam. Orang-orang yang mengerumuni mereka bertiga mulai ribut berbisik, meski mereka berusaha berbisik tanpa ribut-ribut.
“Ya, yang sudah berlalu biarlah berlalu. Sekarang kedua Laoqianbei tampaknya kurang begitu bahagia. Sebenarnya kebahagiaan itu tidak perlu dikejar atau dicari, dia lebih merupakan kemampuan, tepatnya kemampuan untuk menyadari bahwa bahagia itu sebenarnya ada di sekitar kita,” Wu Wo kembali ke topik semula.
“Sebagai seorang petinggi yang menghalalkan segala cara demi kepentingan diri sendiri, bahkan tahun lalu sempat menodai nama baik Ming, boleh dibilang saya tak pernah menemukan kebahagiaan. Anak muda, tolong jelaskan lebih lanjut,” Cai berucap lirih.
“Izinkan saya berbagi tentang konsep empat jalan bahagia. Agar diri sendiri bahagia, juga agar orang lain bahagia, jalan pertama, anggap bahwa diri kita adalah orang lain. Waktu kita mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, benarkah dunia ini akan runtuh? Tidak kan!? Orang lain justru tak habis pikir mengapa kita begitu bersedih. Itu karena kita sendiri yang secara semu terlalu membesar-besarkan penderitaan kita.
Dalam sebuah pertandingan, kadangkala penonton lebih bisa berpikir jernih dan tenang dibanding pemain. Mereka yang menjadi juara sejati adalah orang-orang yang bisa melepas beban psikologi. Salah satu cara efektif melepas beban psikologi atas penderitaan kita adalah dengan berganti sudut pandang, lihatlah dari kacamata orang lain, ternyata permasalahan yang kita hadapi tidak serumit yang kita bayangkan sebelumnya.
Jadi, kala ditimpa kesusahan, coba pikirkan, kalau orang lain yang ditimpa kesusahan itu, bagaimana kita melihatnya? Bukankah kita menghibur dan memotivasi orang itu agar tidak terlalu bersedih hati, lalu kenapa kita tidak bisa menghibur dan memberi cinta kasih bagi diri sendiri kala dirundung kesusahan?”
“Sebaliknya, kalau lagi gembira, juga jangan dibesar-besarkan agar tidak membuat orang lain sirik. Kita harus berusaha untuk selalu berada di jalan tengah,” seorang nenek yang duduk di belakang Ming menambahkan. “Benar, itulah jalan bahagia yang pertama. Kalau mampu menerapkan jalan pertama ini, beban ketidakbahagiaan akan berkurang drastis.” Cai tampak mengangguk membenarkan.
“Jalan kedua, orang lain adalah diri kita. Begitu pula kala orang lain dalam kesusahan, bayangkan bagaimana kalau kita yang mengalaminya? Kita harus bersimpati dan berempati, tebarkan welas asih, serta berikan bantuan secara bijaksana untuk mengurangi bebannya. Dia senang, kitapun juga bahagia.” “Ming telah memberikan contoh selama setahun ini,” masih nenek itu yang menyambung. Wu Wo sekilas menatap Ming. “Kecuali pagi ini agak berbeda.”
“Jalan ketiga, orang lain adalah orang lain. Ini adalah konsep menghormati dan menghargai orang lain. Kalau melihat orang lain bahagia, jangan menjadi sirik, itu adalah buah dari karma baiknya. Merampas atau menghancurkan kebahagiaan orang lain hanya akan menyeret pada penderitaan yang lebih dalam. Pun, melihat orang lain berbuat bajik, kita juga harus bersenang hati, kebajikan itu bukan hanya hak paten kita seorang diri. Bila semua orang berbuat bajik maka dunia ini akan menjadi lebih baik dan lebih bahagia.”
“Jalan keempat, diri kita adalah diri kita. Ini adalah yang terakhir dan tertinggi dari empat jalan bahagia. Masalah kita haruslah kita sendiri yang menyelesaikannya, dengan demikian barulah batin kita dapat berkembang lebih dewasa. Harus berani menghadapi masalah, menerimanya, menyelesaikannya lalu melepaskannya, jangan terus menyimpannya di hati, demikianlah hati dan pikiran akan menjadi tenang. Siapa mengikat, dialah yang melepas. Jalan pembebasan bergantung pada kita sendiri, bukan pada makhluk lain. Jalan keempat ini juga merupakan ajaran tertinggi yang mengingatkan kita untuk selalu sadar dan waspada.
Berapa banyak di antara kita yang mampu hidup menjadi dirinya sendiri? Berapa banyak orang yang pikiran, ucapan dan perbuatannya tidak terseret oleh hal-hal eksternal? Satu ketika demi harta (Cai), satu ketika lagi demi nafsu seksual (Se), sesaat kemudian demi nama (Ming), lalu keinginan makan makanan lezat (Shi), juga kenikmatan tidur (Shui). Ternyata selama hidup kita tidak pernah menjadi tuan bagi diri sendiri, karena itulah tak pernah berhasil menemukan kebahagiaan.” Wu Wo mengakhiri penjelasannya dengan beranjali.
“Benar-benar mempesona, ternyata benar bahagia itu tak perlu dicari-cari, cukup dilakukan dan disadari. Kalau saja semua orang bisa melaksanakan empat jalan bahagia ini, masyarakat berbudi luhur, santun, welas asih dan bahagia bukan lagi impian. Apakah ini ajaran Buddha?” Lagi-lagi nenek itu yang berucap.
“Sebenarnya apa yang kita bicarakan tadi merupakan penerapan salah satu ajaran Buddha yang dinamakan Empat Perbuatan Luhur, disebut juga Empat Hati Tak Terbatas, karena tak ada lagi batasan ataupun hambatan dalam penerapannya, baik batasan negara, bangsa, agama, status sosial ataupun jenis kelamin. Karena keluhurannya maka disebut juga Brahma Vihara, yang artinya dengan berlatih empat hal ini maka akan terlahir di alam Brahma Rupa. Keempatnya adalah Cinta Kasih (Ci – Maitri), Welas Asih (Bei – Karuna), Suka Cita (Xi – Mudita) dan Keseimbangan Batin (She – Upeksha).
Cinta kasih bertujuan agar orang atau makhluk lain berbahagia. Tetapi sangat tidak mudah bagi mereka yang tidak berbahagia untuk membahagiakan orang lain, karena itu kita harus lebih dulu berlatih membahagiakan diri sendiri. Tetapi kalau saat kita berbahagia justru melupakan makhluk lain, ini juga tidak bisa disebut sebagai cinta kasih. Sebab itu, awal dari cinta kasih adalah menanamkan konsep bahwa diri kita adalah orang lain, bagaimana cara membahagiakan orang lain, tetapi untuk itu sebelumnya harus bisa memberikan cinta kasih bagi diri sendiri.
Welas asih adalah membebaskan orang atau makhluk lain dari penderitaan. Menganggap orang lain sebagai diri kita, bukankah ini jalan welas asih?
Suka cita adalah ikut merasakan kegembiraan atas kebajikan yang dilakukan orang lain, pun bergembira melihat kesuksesan ataupun kebahagiaan orang lain. Inilah makna jalan bahagia ketiga: orang lain adalah orang lain.
Keseimbangan batin adalah senantiasa waspada berada di Jalan Tengah. Selalu berusaha melakukan kebajikan demi kebahagiaan semua makhluk, tegar menerima buah karma buruk, tidak terlena dalam buah karma baik, menjauhkan diri dari keserakahan, kebencian dan kebodohan batin, inilah yang dinamakan melakoni hidup sebagai tuan bagi diri sendiri.” Kali ini Wu Wo benar-benar mengakhiri penjelasannya.
Giliran nenek tua yang berkata, “Ada yang mengatakan bahwa bahagia itu bukan memiliki banyak harta, ada pula yang mengatakan bahagia itu adalah mengurangi nafsu keinginan, tetapi dari penjelasan saudara muda Wu Wo tadi, ternyata bahagia itu adalah bisa menerima apa adanya dan membantu membahagiakan makhluk lain. Bahagia bukan berarti menolak kekayaan, juga bukan tidak boleh ada keinginan, tetapi kalau beroleh rezeki ya boleh-boleh saja, tidak ada pun juga tidak apa-apa.”
Senyum kebahagiaan tampak menghiasi setiap wajah para pendengar. Sesaat kemudian Cai Se dan Ming Shi Shui terlihat saling berangkulan. Kebodohan batin dan kebencian di antara mereka selama ini mencair, menguap dan lenyap terhembus angin empat jalan bahagia.
Malam hari itu juga Wu Wo mengutarakan keinginan memohon bantuan kaisar mengingatkan raja Fotaguo (Negeri Ribuan Pagoda) agar kembali ke Jalan Dharma tidak melakukan perbuatan amoral terhadap rakyat maupun para anggota Sangha di negeri itu. Meski tidak lagi menjabat sebagai menteri kerajaan namun Cai Se menyanggupi untuk membantu maksud mulia Wu Wo itu, pun berjanji mengembalikan nama baik Ming Shi Shui di mata kaisar.
Tiga hari kemudian mereka bertiga berangkat menuju ibu kota.
Jeram Surga. Tak heran disebut sebagai Jeram Surga, karena memang jeram itu begitu mempesona, apalagi kala pelangi menampakkan senyumnya seusai berakhirnya tetesan air hujan. Namun di balik indahnya nama dan pemandangan jeram itu, masyarakat setempat lebih mengenalnya sebagai Jeram Kematian.
Tak sedikit wisatawan luar daerah yang datang menikmati keindahan panorama Jeram Surga, namun tak sedikit pula yang tak pernah keluar dari dasar jeram itu. Ketinggian jeram itu merupakan tempat ideal untuk mengakhiri hidup, pun lembayung senja yang tersenyum mengintip dari belakang punggung gunung seakan menambah rasa melankolis dan memperdalam keinginan orang-orang pendek pikiran untuk menerjunkan diri ke dalam jeram.
Tetapi setahun terakhir ini tak ada lagi orang yang mengakhiri hidup di Jeram Surga. Bukan karena apa, tapi karena di sekitar jeram muncul seorang lelaki setengah baya yang menghalangi dan menasehati mereka yang ingin bunuh diri. Ming Shi Shui (Nama – Makanan – Tidur) adalah penduduk asli Surga Jeram, di usia 20-an tahun dengan berbekal ilmu silat ia merantau ke ibu kota. Tidak ada yang tahu apa yang dikerjakannya selama di ibu kota kerajaan. Tak ada angin tak ada hujan, dia tiba-tiba kembali ke Surga Jeram.
Perbuatan mulia Ming Shi Shui akhirnya mendapat sambutan warga setempat yang kini tak lagi acuh tak acuh dengan para calon korban yang ingin tidur selamanya di dasar jeram. Mereka secara spontanitas mengikuti jejak Ming.
Hari itu, seminggu menjelang Hari Qing Ming (Ceng Beng, hari membersihkan makam keluarga) datanglah seorang lelaki tua ke Jeram Surga. Sepanjang pagi berdiri membisu di tepi jeram, salah satu ciri orang yang berpikiran pendek. Tetapi di luar kebiasaan, Ming Shi Shui kali itu hanya melihat dari kejauhan. Bukan hanya itu, yang lebih parah lagi, yang sangat bertolak belakang dengan perilakunya selama setahun ini, dia bahkan mengancam setiap orang yang bermaksud menasehati lelaki tua itu.
Semua itu tidak terlepas dari pengamatan Wu Wo, yang sedang dalam perjalanan menuju ibukota sekembali dari Negeri Ribuan Pagoda. Ketika melangkah mendekati lelaki tua itu, sebuah tepukan jatuh di pundak kanannya. “Anak muda, biarkan dia menuntaskan buah karmanya sendiri. Jangan ikut campur!” Sebuah ucapan yang lembut, namun penuh dengan nada memerintah.
“Membantu orang yang memerlukan bantuan, itu bukan ikut campur namanya.” Wu Wo merasakan tepukan lembut itu kini berubah menjadi cengkeraman. Wu Wo tidak mempedulikannya, ia terus berjalan menghampiri lelaki tua itu. Cengkeraman itu kini berubah menjadi hentakan. Tampaknya bukan hal yang sulit bagi Ming Shi Shui untuk melontarkan tubuh seseorang dengan satu hentakan, bahkan dengan berat tubuh dua kali Wu Wo. Namun yang dihadapinya kali ini adalah Wu Wo, bukan orang lain.
Tangan kiri Wu Wo meluncur menangkap tangan yang mencengkeram pundaknya, sedang tangan kanannya mengayun ke samping menepis tangan kanan Ming yang bergerak mendorong pinggangnya. Mereka yang berkerumun di sekitar jeram tak ada yang menyadari bahwa gerakan yang mirip kanak-kanak bermain dorong mendorong itu adalah awal pertarungan dua tokoh kelas satu dunia jianghu (dunia persilatan). Ming tak bermaksud mencelakai Wu Wo, sedang Wu Wo hanya berkeinginan mendekati kakek tua di tepi jeram, namun dari gerakan dorong mendorong yang sederhana itu, mereka berdua menyadari bahwa lawan yang dihadapi bukan sembarang orang.
Ming yang selama ini tidak menemukan lawan yang berimbang, jadi merasa tertantang untuk menjajaki kemampuan kungfu Wu Wo. Pada awalnya pertarungan itu berjalan imbang dan alot, namun tak lama kemudian terlihat Wu Wo dengan toyanya berada di bawah angin. Ming ternyata mempunyai teknis kungfu pertarungan jarak dekat yang sangat lihai. Keringat membasahi pelupuk wajah Wu Wo yang tetap berusaha bersikap tenang. Tak terduga di Jeram Surga ini berdiam seorang tokoh jianghu yang kemampuannya tak di bawah guru Wu Wo, Bhiksu Wu Zhuo.
Tapi kondisi berat sebelah itu tak berlangsung lama, stamina Wu Wo yang masih muda berhasil meredam serangan-serangan gencar Ming. Ming yang sadar kedodoran stamina kini justru melancarkan jurus-jurus mematikan agar dapat secepatnya mengakhiri pertarungan. Saat itulah terdengar teriakan membahana.
“Lao Ming, ini urusan antara kita berdua, tak ada hubungannya dengan pemuda ini.” Lelaki tua itu tak tahu sejak kapan telah berdiri di dekat medan pertarungan. Tanpa dikomando, Ming dan Wu Wo bersamaan menghentikan pertarungan mereka.
“Anak muda, terima kasih atas perhatianmu. Ini adalah urusan antara saya dan Ming Shi Shui,” lelaki tua itu mengawali percakapan, “saya dahulu telah banyak berbuat tidak benar. Hanya kematianlah yang dapat menebus semua itu.”
“Laoqianbei (generasi senior) ...”
“Dengan orang macam ini tak perlu terlalu menghormat, langsung saja sebut namanya, Cai Se (Harta – Rupa),” Ming memutus dengan ucapan yang ketus.
“Paman Cai, pernahkah mendengar gong-an Chan - siapa yang bisa melepas ikatan yang membelenggu kita?” Wu Wo berganti memakai panggilan Paman.
“Siapa yang mengikat, dialah yang melepas ...,” Cai Se menjawab dengan lirih.
“Itulah, dia yang bikin perkara, dia sendiri yang habisi hidupnya, sudah benar kan? Lalu, kenapa ada yang iseng sok ikut campur?” Ming masih berucap dengan ketus.
“Memang benar, yang membelenggu kita adalah kita sendiri. Tapi Paman Cai, alih-alih melepaskan ikatan, bunuh diri itu justru tambah bikin ruwet. Bukan mengakhiri, tapi melarikan diri dari masalah. Buah karma buruk tetap akan kita tuai di kehidupan akan datang, ditambah dengan bunganya. Pun itu tidak memadamkan kebencian dari orang-orang yang kita rugikan. Untuk memadamkan kebencian dan menebus kesalahan, kita harus membantu orang-orang yang kita rugikan dengan berlandaskan cinta kasih, welas asih dan kebijaksanaan. Kita harus memperbaiki kerusakan yang kita sebabkan, bukannya melarikan diri. Paman, saya yang muda bukannya bermaksud menggurui, tapi memang demikianlah ajaran luhur Buddha, seperti yang saya dengar dari guru saya tercinta, Bhiksu Wu Zhuo.” Wu Wo menutup penjelasannya dengan beranjali di depan dada.
“Wu Zhuo? Kau bilang Bhiksu Wu Zhuo itu gurumu? Pantas saja begitu muda sudah lihai sekali,” nada ketus Ming mulai lenyap.
“Saya yang muda ini masih harus belajar banyak dari Paman Ming.” Ini bukan merendah, tapi memang demikian kenyataannya, kungfu Wu Wo masih setingkat di bawah Ming.
“Anak muda, tidak heran kalau kau kewalahan menghadapi Lao Ming ini, karena dia adalah ...”
“Jangan ungkit-ungkit masa lalu!” Bentak Ming.
“He .. he .., aku yang tua ini sudah siap melangkah meninggalkan dunia fana ini, apa yang perlu disembunyikan? Mantan kepala pasukan pengaman istana pulang kampung menjadi sukarelawan pengaman Jeram Surga menyelamatkan orang-orang pendek pikiran, ya, ini tidak ada buruknya. Beda dengan Cai Se, menteri ambisius yang menghalalkan segala cara, yang akhirnya juga harus mengalami nasib tragis dicopot dari jabatannya.”
Hati Wu Wo tercekat, ternyata dua orang senior di hadapannya ini adalah tokoh-tokoh kelas atas istana. “Mohon Anda berdua berkenan menerima hormat dari saya, Wu Wo.” Wu Wo berucap sambil beranjali.
“Wu Wo? Sungguh merupakan kehormatan dapat bertatap muka dengan penyelamat kaisar.” Ming dan Cai sempat terkejut juga mendengar nama Wu Wo. Mereka serempak memberi penghormatan balasan. Sebagai petinggi istana, sudah tentu mereka berdua mengetahui peristiwa penculikan kaisar di Gunung Tiantai beberapa waktu silam. Orang-orang yang mengerumuni mereka bertiga mulai ribut berbisik, meski mereka berusaha berbisik tanpa ribut-ribut.
“Ya, yang sudah berlalu biarlah berlalu. Sekarang kedua Laoqianbei tampaknya kurang begitu bahagia. Sebenarnya kebahagiaan itu tidak perlu dikejar atau dicari, dia lebih merupakan kemampuan, tepatnya kemampuan untuk menyadari bahwa bahagia itu sebenarnya ada di sekitar kita,” Wu Wo kembali ke topik semula.
“Sebagai seorang petinggi yang menghalalkan segala cara demi kepentingan diri sendiri, bahkan tahun lalu sempat menodai nama baik Ming, boleh dibilang saya tak pernah menemukan kebahagiaan. Anak muda, tolong jelaskan lebih lanjut,” Cai berucap lirih.
“Izinkan saya berbagi tentang konsep empat jalan bahagia. Agar diri sendiri bahagia, juga agar orang lain bahagia, jalan pertama, anggap bahwa diri kita adalah orang lain. Waktu kita mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, benarkah dunia ini akan runtuh? Tidak kan!? Orang lain justru tak habis pikir mengapa kita begitu bersedih. Itu karena kita sendiri yang secara semu terlalu membesar-besarkan penderitaan kita.
Dalam sebuah pertandingan, kadangkala penonton lebih bisa berpikir jernih dan tenang dibanding pemain. Mereka yang menjadi juara sejati adalah orang-orang yang bisa melepas beban psikologi. Salah satu cara efektif melepas beban psikologi atas penderitaan kita adalah dengan berganti sudut pandang, lihatlah dari kacamata orang lain, ternyata permasalahan yang kita hadapi tidak serumit yang kita bayangkan sebelumnya.
Jadi, kala ditimpa kesusahan, coba pikirkan, kalau orang lain yang ditimpa kesusahan itu, bagaimana kita melihatnya? Bukankah kita menghibur dan memotivasi orang itu agar tidak terlalu bersedih hati, lalu kenapa kita tidak bisa menghibur dan memberi cinta kasih bagi diri sendiri kala dirundung kesusahan?”
“Sebaliknya, kalau lagi gembira, juga jangan dibesar-besarkan agar tidak membuat orang lain sirik. Kita harus berusaha untuk selalu berada di jalan tengah,” seorang nenek yang duduk di belakang Ming menambahkan. “Benar, itulah jalan bahagia yang pertama. Kalau mampu menerapkan jalan pertama ini, beban ketidakbahagiaan akan berkurang drastis.” Cai tampak mengangguk membenarkan.
“Jalan kedua, orang lain adalah diri kita. Begitu pula kala orang lain dalam kesusahan, bayangkan bagaimana kalau kita yang mengalaminya? Kita harus bersimpati dan berempati, tebarkan welas asih, serta berikan bantuan secara bijaksana untuk mengurangi bebannya. Dia senang, kitapun juga bahagia.” “Ming telah memberikan contoh selama setahun ini,” masih nenek itu yang menyambung. Wu Wo sekilas menatap Ming. “Kecuali pagi ini agak berbeda.”
“Jalan ketiga, orang lain adalah orang lain. Ini adalah konsep menghormati dan menghargai orang lain. Kalau melihat orang lain bahagia, jangan menjadi sirik, itu adalah buah dari karma baiknya. Merampas atau menghancurkan kebahagiaan orang lain hanya akan menyeret pada penderitaan yang lebih dalam. Pun, melihat orang lain berbuat bajik, kita juga harus bersenang hati, kebajikan itu bukan hanya hak paten kita seorang diri. Bila semua orang berbuat bajik maka dunia ini akan menjadi lebih baik dan lebih bahagia.”
“Jalan keempat, diri kita adalah diri kita. Ini adalah yang terakhir dan tertinggi dari empat jalan bahagia. Masalah kita haruslah kita sendiri yang menyelesaikannya, dengan demikian barulah batin kita dapat berkembang lebih dewasa. Harus berani menghadapi masalah, menerimanya, menyelesaikannya lalu melepaskannya, jangan terus menyimpannya di hati, demikianlah hati dan pikiran akan menjadi tenang. Siapa mengikat, dialah yang melepas. Jalan pembebasan bergantung pada kita sendiri, bukan pada makhluk lain. Jalan keempat ini juga merupakan ajaran tertinggi yang mengingatkan kita untuk selalu sadar dan waspada.
Berapa banyak di antara kita yang mampu hidup menjadi dirinya sendiri? Berapa banyak orang yang pikiran, ucapan dan perbuatannya tidak terseret oleh hal-hal eksternal? Satu ketika demi harta (Cai), satu ketika lagi demi nafsu seksual (Se), sesaat kemudian demi nama (Ming), lalu keinginan makan makanan lezat (Shi), juga kenikmatan tidur (Shui). Ternyata selama hidup kita tidak pernah menjadi tuan bagi diri sendiri, karena itulah tak pernah berhasil menemukan kebahagiaan.” Wu Wo mengakhiri penjelasannya dengan beranjali.
“Benar-benar mempesona, ternyata benar bahagia itu tak perlu dicari-cari, cukup dilakukan dan disadari. Kalau saja semua orang bisa melaksanakan empat jalan bahagia ini, masyarakat berbudi luhur, santun, welas asih dan bahagia bukan lagi impian. Apakah ini ajaran Buddha?” Lagi-lagi nenek itu yang berucap.
“Sebenarnya apa yang kita bicarakan tadi merupakan penerapan salah satu ajaran Buddha yang dinamakan Empat Perbuatan Luhur, disebut juga Empat Hati Tak Terbatas, karena tak ada lagi batasan ataupun hambatan dalam penerapannya, baik batasan negara, bangsa, agama, status sosial ataupun jenis kelamin. Karena keluhurannya maka disebut juga Brahma Vihara, yang artinya dengan berlatih empat hal ini maka akan terlahir di alam Brahma Rupa. Keempatnya adalah Cinta Kasih (Ci – Maitri), Welas Asih (Bei – Karuna), Suka Cita (Xi – Mudita) dan Keseimbangan Batin (She – Upeksha).
Cinta kasih bertujuan agar orang atau makhluk lain berbahagia. Tetapi sangat tidak mudah bagi mereka yang tidak berbahagia untuk membahagiakan orang lain, karena itu kita harus lebih dulu berlatih membahagiakan diri sendiri. Tetapi kalau saat kita berbahagia justru melupakan makhluk lain, ini juga tidak bisa disebut sebagai cinta kasih. Sebab itu, awal dari cinta kasih adalah menanamkan konsep bahwa diri kita adalah orang lain, bagaimana cara membahagiakan orang lain, tetapi untuk itu sebelumnya harus bisa memberikan cinta kasih bagi diri sendiri.
Welas asih adalah membebaskan orang atau makhluk lain dari penderitaan. Menganggap orang lain sebagai diri kita, bukankah ini jalan welas asih?
Suka cita adalah ikut merasakan kegembiraan atas kebajikan yang dilakukan orang lain, pun bergembira melihat kesuksesan ataupun kebahagiaan orang lain. Inilah makna jalan bahagia ketiga: orang lain adalah orang lain.
Keseimbangan batin adalah senantiasa waspada berada di Jalan Tengah. Selalu berusaha melakukan kebajikan demi kebahagiaan semua makhluk, tegar menerima buah karma buruk, tidak terlena dalam buah karma baik, menjauhkan diri dari keserakahan, kebencian dan kebodohan batin, inilah yang dinamakan melakoni hidup sebagai tuan bagi diri sendiri.” Kali ini Wu Wo benar-benar mengakhiri penjelasannya.
Giliran nenek tua yang berkata, “Ada yang mengatakan bahwa bahagia itu bukan memiliki banyak harta, ada pula yang mengatakan bahagia itu adalah mengurangi nafsu keinginan, tetapi dari penjelasan saudara muda Wu Wo tadi, ternyata bahagia itu adalah bisa menerima apa adanya dan membantu membahagiakan makhluk lain. Bahagia bukan berarti menolak kekayaan, juga bukan tidak boleh ada keinginan, tetapi kalau beroleh rezeki ya boleh-boleh saja, tidak ada pun juga tidak apa-apa.”
Senyum kebahagiaan tampak menghiasi setiap wajah para pendengar. Sesaat kemudian Cai Se dan Ming Shi Shui terlihat saling berangkulan. Kebodohan batin dan kebencian di antara mereka selama ini mencair, menguap dan lenyap terhembus angin empat jalan bahagia.
Malam hari itu juga Wu Wo mengutarakan keinginan memohon bantuan kaisar mengingatkan raja Fotaguo (Negeri Ribuan Pagoda) agar kembali ke Jalan Dharma tidak melakukan perbuatan amoral terhadap rakyat maupun para anggota Sangha di negeri itu. Meski tidak lagi menjabat sebagai menteri kerajaan namun Cai Se menyanggupi untuk membantu maksud mulia Wu Wo itu, pun berjanji mengembalikan nama baik Ming Shi Shui di mata kaisar.
Tiga hari kemudian mereka bertiga berangkat menuju ibu kota.
No comments:
Post a Comment