Friday, April 16, 2010

Mbak Karen dan Profesi Ideal


Nama mbak ini, Karen, tentu tidak bermakna apa-apa bagi saya jika tidak memperhatikan nama belakangnya yaitu Agustiawan yang “sound familiar” dan ternyata sohib saya sejak sekolah di Amrik (saya di Indiana, dia di New Jersey kemudian pindah ke Texas) dan ternyata juga sohib satu kantor satu gedung (dulu, sekarang saya sudah pindah gedung lain)..

Mbak Karen atau mungkin lebih tepat sebenarnya disebut “Teh Karen” itu keren sekali lho. Dari credential-nya yang seabrek sampai ke keluarganya yang super solid. Barusan mbak Karen didapuk jadi komandan sebuah perusahaan paling penting di negeri ini. Besoknya cerita mbak Karen hasil wawancara dengan Kompas menunjukkan sedikit jati diri mbak ini “Saya sukanya pakai baju yang motifnya biasa dan tidak menonjol, soalnya kata suami saya pribadi saya sudah sangat menonjol dan kuat, jadi tidak perlu diperkuat lagi dengan motif baju yang kuat”… Wah !

Ceritanya akhir minggu kemarin sampai awal minggu ini, rapat sebuah komisi di Perwakilan Rakyat (PR) macet menghadapi mbak Karen ini. Dari sorotan tv mbak Karen bilang “Saya merasa dipermalukan, masak Dirut dianggap seperti Satpam”. Gotcha !!! Kena lu !!! Lho, siapa yang kena ?

Kalau saya menulis laporan pandangan mata rapat dengar pendapat PR dengan mbak Karen dalam bahasa Inggris, tentu saya akan memilih judul “Karen grilled by House on oil business”. “Grilled” atau “digoreng” atau “dicerca pertanyaan bertubi-tubi” ini pastinya berkonotasi super seru dan blockbuster !!

Mengapa sebuah rapat dengar pendapat dengan komandan sebuah perusahaan penting bisa “ruwet” seperti itu ? Saya jadi teringat cerita salah seorang teman saya yang pinter (baca posting saya sebelumnya “Stand on your own feet”), seorang Ph.D bidang Fisika dari Universitas Maryland yang bosan sebagai seorang Fisikawan akhirnya nyeberang ilmu dan mengambil Master of Public Policy di Harvard University – Kennedy School of Government.

Teman saya itu cerita bahwa di Amerika, sebuah dengar pendapat dengan seseorang selalu berlangsung selama 3 hari. Pada hari pertama, anggota-anggota Senat atau House of Representatives (HR) selalu bertanya dan berdiskusi dengan orang yang dipanggil dalam sebuah hearing tentang moral dan etika. Dari pagi sampai siang yang dibahas dan ditanya adalah moral dan etika dari si orang yang dipanggil ke Capitol. Di hari kedua, pertanyaan-pertanyaan Senator dan anggota HR meningkat ke masalah prosedur tetap atau protap dalam melaksanakan sesuatu. Selalu ditanyakan bagaimana melaksanakan prosedur pengadaan barang, misalnya atau prosedur-prosedur yang dianggap penting. Nah, setelah hari pertama ditanya moral dan etikanya, dan di hari kedua ditanya tentang prosedur yang ditempuh, maka di hari ketiga anggota-anggota Senat dan HR akan mengajukan pertanyaan yang bersifat “investigative reporting”, yaitu pertanyaan-pertanyaan pedas dan mendasar dan mendalam dan filosofis tentang suatu hal yang ingin diketahui dalam Hearing yang penting ini..

Jadi, di Amerika seorang yang dipanggil ke Capitol dalam sebuah Hearing akan diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan dengan sebaik-baiknya tanpa merasa dihakimi…

Sayangnya, Indonesia bukan Amerika dan anggota PR kita mengajukan pertanyaan yang bisa disebut “scolding” (mengumpat), “mud slinging” (saling menyalahkan), dan “name calling” (mengolok-olok atau menyebut nama, misalnya mbak Karen yang Dirut disebut Satpam !) dalam sebuah Hearing yang penting itu..

Dan keluar dari ruang Hearing, terlihat di tv muka mbak Karen antara pucat (putih) dan marah (merah). Untungnya malamnya, setidaknya seperti yang saya lihat di TVOne dengan presenter Nita Talita yang sedang mengundang seorang anggota PR berusia muda, ada nada menyesal dari anggota PR tersebut (atas nama rekan-rekannya di Komisi yang sama) dan bisa memahami dengan cara bertanya anggota PR kita yang seperti ini wajar bila pihak yang dipanggil merasa tersinggung…

Mbak Karen keren, karena berani membantah apa yang dikatakan anggota-anggota PR dan kita rakyat semuanya tahu apa yang terjadi..

Jarang sekali pribadi yang mempunyai “kualitas” seperti ini…

Dan oleh karena itu, disebut “keren”…

=====================================================================


Entah dari mana pertama kali saya mendengar cerita ini, tapi yang jelas sudah lama sekali. Mungkin dari majalah Reader’s Digest yang saya suka baca sejak tahun 1970an.. Konon, dunia ini akan ideal sekali bila Kokinya orang Perancis, Polisinya orang Inggris, dan tentaranya orang Jerman. Mengapa begitu ? Karena koki Perancis terkenal enak masakannya, pinter mengkomposisi masakan di atas piring, dan memasak dengan penuh seni dan hati. Pokoknya tidak ada koki di dunia ini yang melebihi artistiknya koki Perancis dalam memasak. Polisi Inggris juga sangat ideal banget : suka membantu kalau lagi ada orang tersesat atau mencari arah, sangat profesional dalam mengatasi tindak kriminal, dan siap mati-hidup jadi polisi. Pokoknya kondisi ideal bagi seorang polisi yang senantiasa “protect and serve” masyarakat itu ada pada diri polisi Inggris. Yang terakhir, tentara Jerman terkenal sangat tough bertempur maupun berpindah dari satu tempat ke tempat lain, jago bermain olahraga militer, dan mempunyai skill untuk hidup di kondisi apapun juga termasuk cuaca dingin ataupun pegunungan yang terjal.

Nah, bila koki Perancis, polisi Inggris, dan tentara Jerman dapat membuat hidup anda merasa enak (makan terus yang enak-enak), aman (dilindungi terus sama polisi), dan nyaman (tidak punya rasa khawatir karena bisa hidup tenang dilindungi tentara yang terampil). Koki Perancis, polisi Inggris, dan tentara Jerman benar-benar membuat hidup kita sangat ideal….

Lalu, apa jadinya bila ketiga profesi turun-temurun tersebut kita tukar ? Misalnya koki Inggris, polisi Jerman, dan tentara Perancis ? Atau kombinasi yang lainnya ?


Sumber : Pakde Wahjono

No comments: