Buat apa ada perguruan tinggi (PT)? PT tempat berlangsung pendidikan tinggi. Apa itu pendidikan tinggi? Pendidikan bagi para mahasiswa untuk dilatih berpikir mandiri/akademik/metodologis,.....................baik diploma/strata-1 (bachelor) maupun starata-2 (master) dan strata-3 (philosophy of doctor/Ph.D). Bagaimana belajar/berlatih berpikir mandiri? Bilamana mahasiswa tak lagi mencawan (sepenuhnya hanya menerima dari apa yang disampaikan dosen walau diktat sudah diulang-ulang entah berapa tahun walau sudah tak beresonansi)--di sekolah menengah pun tak boleh mencawan. Mahasiswa tak hanya mencukupkan dari yang diberikan dosen, tapi berusaha mencari sendiri--hatta paham dengan memadai. Sama ada dari berdiskusi dengan dosen/sesama mahasiswa/senior/pelaku apa saja di tengah masyarakat bahkan dengan siapa saja, dari membaca buku dan hasil penelitian, dari menghadiri pertemuan ilmiah, dan entah dari mana lagi. Kenapa mahasiswa dilatih berpikir mandiri secara akademik/disiplin ilmu? Mahasiswa akan menjadi sarjana. Bilamana sudah sarjana, ia dipandang sudah memiliki dua pisau: pisau akademik dan pisau metodologis/disiplin ilmu. Pisau akademik memungkinkan sarjana memiliki daya pikir/pemikiran yang berbentuk/memiliki struktur, sistematik, analitik, dasar/referensi dan kerangka pikir (frame work dan plate form), mampu membangun sudut/sisi/fokus pandang, mampu memandang/mengolah dan menyimpulkan/memberi pendapat.
Singkatnya, secara umum, seorang sarjana sudah dapat/jadi imam intelektual. Setiap sarjana diasumsikan memiliki daya pikir akademis-apa pun jua disiplin ilmu/jujurusan/fakultas/PT-nya. Pisau metodologis/disiplin ilmu, mendayaguna pikir yang dijuruskan dan diarahkan serta diaplikasikan secara disiplin ilmu dengan menggunakan metode/cara bahas dan analisis sesuai disiplin ilmu-walaupun cara pikir/cara bahas dan hasilnya keliru. Yang jadi masalah, bilamana mahasiswa tidak berlatih berpikir/membahas/menganalisa kemandirian berpikir. Mahasiswa tak melatih daya pikir, tak membiasakan diri mengembangkan intelektualitas, tak berusaha mencari sendiri-semata mencukupkan apa yang diberikan dosen di muka kelas, tak membiasakan berdiskusi/mendiskusikan, tak biasa membaca buku/hasil penelitian, tak berusaha melatih memproduksi hasil pemikiran, dan seterusnya.
Mahasiswa menjadi demikian karena di PT di mana ia memahasiswa tak ada/tak terbangun lingkungan masyarakat ilmiah, karena para dosen hanyalah guru yang memberikan diktat--tidak mengikuti perkembangan/tidak punya tradisi ilmiah dan atau ketika jadi mahasiswa dahulu pun juga tidak melatih daya pikir akademik/metodologis. Hanya karena melamar menjadi pegawai negeri sipil saja ia didosenkan. Setelah menjadi PNS dan jadi dosen ia hanya berpikir naik pangkat/dapat jabatan-berorientasi uang/materialistik. LALU, persyaratan dosen harus selesai S-2, baik rekrutmen baru maupun yang sudah terlanjur jadi dosen (harus mengikuti/menyelesaikan S-2/program master)--harus sekolah/disekolahkan lagi. Sebagian mengambil S-3 (program doktor)--sama ada dalam negeri atau luar negeri (keharusan berbahasa Inggeris). Beberapa dosen yang sudah S-3 pula mendapatkan status mahaguru secara kepangkatan (IV-D) dan atau keilmuan -- walau pangkat masih rendah.
Hanya kemudian, beliau yang bergelar akademis Ph.D/profesor itu tetaplah bak dosen seperti sebelumnya. Tidak banyak perkembangan tingkat kemampuan/cara berpikir dan tidak kelihatan peningkatan intelektualitas dan tradisi ilmiahnya. Tidak terbiasa membaca/mendiskusikan/membahas/menghasilkan pemikiran -- memasyarakatkan hasil pemikiran, tidak ada penelitian -- kalau ada hanya sekedar memenuhi kewajiban (penelitian tidak berguna), dan apa pula akan menulis buku! Berapa banyak mereka yang menyelesaikan S-2 (master) dan berapa banyak pula yang sudah menyelesaikan S-3 (Ph.D) serta berapa banyak pula yang sudah jadi profesor -- katakan saja di berbagai PT (negeri/swasta) di Sumatera Barat? Apa saja atau adakah kontribusi pemikiran para master/Ph.D/profesor terhadap pencerdasan berkehidupan di daerah ini? Yang jadi masalah, para master/Ph.D/profesor sudah merasa cukup/selesai dengan status gelar master/Ph.D/profesornya! Tak ada keharusan/kewajiban dan reward/funishment yang jelas/rigid bagi master/Ph.D/profesor.
Artinya, walau para master/Ph.D/profesor tidak mengembangkan tradisi ilmiahnya/meningkatkan kemampuan intelektualitasnya sehingga tidak mampu memberikan kontribusi pemikiran, misalnya!? Bagaimana dengan tanggungjawab/kifayah ketahuan dan keilmuan -- bagaimana dengan gugatan Bung Hatta (1955/saat ulang tahun Univeritas Indonesia/UI) tentang tanggungjawab kaum intelegensia!? Kalau pun ada sebagian dari master/Ph.D/profesor berkiprah/memberikan kontribusi dari ketahuan dan keilmuannya terhadap pencerdasan masyarakat/mencerdaskan kehidupan bangsa/masyarakat dan menuangkan pemikiran untuk membantu mencerdaskan masyarakat/organisasi pemerintah dan swasta dalam merumuskan tujuan/sasaran/target dan dalam penyusunan strategi/program serta dalam proses mencapai tujuan, belum cukup direspon sebagai kebaikan yang pantas/layak dihargai lembaga yang memiliki otoritas untuk itu. Kita tidak/belum punya tradisi mengapresiasi/menghargai kelebihan dan perbuatan baik yang berbuga!?
Mana hasil penelitian para master/Ph.D/profesor yang berguna dan layak dipublikasi/dibukukan!? Kalau pun ada -- sebut saja hasil penelitian Prof. Dr. Musliar Kasim MA (kini rektor Universitas Andalas/Unand), kita /tidak belum punya kemampuan memadai menghargai. Para master/Ph.D/profesor yang hasil penelitian pun tidak merasa malu. Jadi, seakan-akan tidak ada beda master/Ph.D/profesor yang jumud/mendengkur dengan yang bergairah/berkeringat dan memberikan kontribusi/menulis buku, misalnya, selain anfullen!? Ada penilaian terhadap karya ilmiah yang ditulis -- apalagi dibukukan, dan yang ranking atas/terbaik mendapat apresiasi sejumlah uang yang pantas!? Bayangkan, kalau semua tesis master/Ph.D dan orasi ilmiah profesor dibukukan!! Kalau sebagian besar hasil penelitian para master/Ph.D/profesor dibukukan dan berguna bagi masyarakat!!
Terakhir, rektor Unand Prof. Musliar Kasim membangun tradisi ilmiah baru: menerbitkan 50 buku karya dosen saat dies natalis PT itu (2006) pada usia 50 tahun -- alhamdulillah! Bagaimana dengan master/Ph.D/profesor yang masih terlelap/mendengkur? Bagaimana dengan master/Ph.D/profesor di PT lain yang hanya memproduksi para master/magister yang tidak cukup berguna selain semata status sudah selesai S-2!? BEGITULAH Cucu Magek Dirih merasa bangga/salut pada dosen muda Efrinaldi MA, Ph.D, yang sudah menulis lima buku -- buku ke-5 tentang Fiqh Siasah: Dasar-dasar Pemikiran Islam. Buku terbaru Efrinaldi itu dibedah pada hari pertama pembukaan Padang Book Fair 2007, Sabtu (10/11), di Gedung Bagindo Azis Chan dengan pembahas Prof. Dr. H. Yashwirman MA -- Cucu Magek Dirih diminta jadi moderator. Kami bertiga (Efrinadi/Yaswirman/Cucu) seperinduan/sama-sama keluarga Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang -- hanya Cucu tersesat jadi saudagar media.
Alhamdulillah, pengunjung yang mengikuti bedah buku cukup tinggi. Bedah buku pun jadi menarik karena kegenialan/kepiawaian Prof Yaswirman bermantiq-ria tentang salah kaprah dalam menerapkan ilmu-ilmu dasar Islam. Ia mencontohkan gagasan penetapan satu Syawal melalui voting, yang membuat sebagian hadirin menggelinjang karena tergelitik. Yashwirman merasa senang karena selama ini Syariah dan ilmu fiqh dikrangkeng sebatas hukum Islam. Syariah tidak sebatas hukum, tapi, berbagai aspek kehidupan. Ada sedikit perbedaan tesis Efrinaldi dengan seniornya (Yaswirman), bahwa pilihan bernegara tidak mesti melalui jalan politik praktis/partai politik seperti cenderung diajukan Efrinaldi. Yaswirman belum percaya kader/petinggi partai politik berlabel Islam tak akan memperkosa/memperalat/menjadikan hanya kendaraan politik. Lagi pula, partai politik terbukti mereduksi/mengerdilkan Islam. Membuat kaum muslimin terpecah.
”Islam yang benar” adalah yang diklaim partai politik Islam yang menang -- kasihan Islam partai politik Islam yang kalah. Ia juga ”meledek”, (selama ini) buku-buku pemikiran Islam tidak bestseller. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unand menawarkan Efrinaldi misbar/Universiti Sains Malaysia mencari pakar pemkiran Islam dengan salary menggiurkan. Master/Ph.D/profesor yang menulis buku memiliki posisi tawar yang menjanjikan. Nah, buat apa meraih/bergelar S-2/S-3 (master/Ph.D) dan ditahbiskan jadi profesor kalau hanya mencukupkan memberi kuliah dua jam/pekan, lalu berburu jam kuliah di PT lain/berburu proyek penelitian instansi pemerintahan untuk semata berharap tambahan penghasilan dengan membuat analisis/telaah sesuai keinginan pemesan. Bagaimana dengan master/Ph.D/profesor yang tidak ada karya ilmiah/tidak menulis artikel -- apalagi akan menulis/menerbitkan buku!?
Bagaimana kalau master/Ph.D/profesor hanya sebatas guru/memberi kuliah -- tidak sama sekali hendak memberi konsribusi/menunai tanggungjawab intelektualitas sebagai kaum terdidik seperti dikatakan Bung Hatta mengutip Harry J. Benda!? Buat apa meraih master/Ph.D/profesor jiaka tidak mencerdaskan masyarakat dalam berkehidupan, dalam membantu merumuskan cita-cita/tujuan/sasaran target, dan menentukan pilihan tindakan/cara bekerja (proses) mencapai tujuan/sasaran/target!? Apa nanti -- sebagaimana hanya dengan sebagian besar guru yang tidak lulus sertifiksi guru -- para master/Ph.D/profesor nanti juga tidak akan lulus dalam sertifikasi dosen, dan tidak dapat menikmati tunjangan fungsional -- atau dicabut saja semua label akademis yang disandang!?**
Dikutip dari : Harian padang Ekspres |
No comments:
Post a Comment