Sunday, May 30, 2010

Maverick Employee



Sangat sulit untuk mengelola para pekerja yang sangat dengan mudah dapat frustasi, tetapi banyak problem pekerja juga mempunyai efek positif jika manager dapat menggunakan kemampuan mereka dengan baik dan meminimalisasi problem. Pada artikel ini akan memperlihatkan maverick employee, orang yang senang melakukan kepentingan pribadi, tetapi mungkin memiliki beberapa kemampuan yang special.

Mengerti Maverick

Dia terlihat seperti memainkan dunia sendiri yang terpisah dari groupnya. Mereka cenderung untuk cuek dan tidak pernah sangat cocok dengan satu buah group. Maverick biasanya menantang cara yang sudah dilakukan, mencoba mencari cara baru agar terlaksananya segala hal, meskipun terkadang tidak membangun. Maverick sangat sulit untuk dikelola.

Maverick mempunyai banyak kontribusi terhadap organisasi karena mendorong setiap orang untuk melakukan hal yang berbeda. Sayangnya, maverick terkadang terlihat agresif dan pada kasus lain dapat menyebabkan ketakutan bila harus mengelola mereka.
Yang baik, yang buruk dan yang jelek

Organisasi butuh untuk memeriksa mereka sehingga mereka dapat berubah. Apa yang bekerja di tahun sebelumnya mungkin tidak bekerja di tahun ini, dan riset pada organisasi yang sukses menunjukan bahwa mereka mampu untuk melakukan reinvestasi. Sayangnya, banyak organisasi cenderung untuk mempertahankan cara yang lama dan tidak memukan cara yang terbaik.

Maverick akan merubah cara tersebut. Mereka akan secara konstan bertanya, terkadang teramat kritis, tetapi maverick yang baik akan menawarkan soluso dan alternative. Mereka menawarkan argumen yang sangat sulit diabaikan. Maverick yang kuat akan menganalisis dan mengevaluasi asumsi yang terjadi di dalam sebuah group.

Maverick dapat menciptakan kreativitas dan perubahan. Menciptakan lingkungan kerja Maverick dapat menambahkan nilai kontribusi, hubungan antara boss dan maverick dapat sangat menarik dan paling tidak terbebas dari animosity.

Sayang menciptakn kontribusi ini sangat mahal. Karena biasanya maverick akan cenderung merusak sebuah tim umumnya pada organisasi yang mempunya toleransi terhadap konflik yang sangat rendah. Mereka sangat sulit dikelola dan cenderung mengabaikan arahan bos. Problem lebih lanjut adalah bahwa mavericks bukanlah team player yang baik. Mereka agresif dan mengabaikan keputusan yang dibuat boss mereka. Ini adalah buruk.

Kejeleken adalah sangat jelek. Manakala mavericks sangat memiliki kemampuan dan pengetahuan. Mereka dapat menyediakan kontribusi positif dan mungkin mavericks sangat sempurna atas apa yang mereka lakukan. Tetapi jika mavericks tidak memiliki kemampuan dan pengertahuan, kontribusi mereka akan selalu buruk. Mereka dapat menciptakan konflik dan frustasi tanpa sesuatu yang bernilai atau ide yang beguna.

Situasi yang jelek terjadi manakala organisasi tidak menemukan kontribusi maverick. Sepanjang periode waktu, maverick berpindah menjadi seseorang yang tidak dapat diatur. Pada fase ini, organisasi menjadi sedikit toleran terhadap perilaku yang tidak bisa diatur. Sebagai solusinya manfaatkanlah employee maverick pada perusahaan anda, mejadi para pekerja yang dapat membangkitkan organisasi melalui berbagai inovasi.


Manajer dapat melakukan cara yang baik untuk memanfaatkan energi maverick employee, disamping bekerja dengan mereka untuk meminimalisasi efek negative dari gaya social maverick employee. Pada bagian yang besar, pendekatan manager adalah untuk menentukan apakah baik, buruk atau jelek. Dibawah ini adalah beberapa saran :

1. Dapatkan Sinyal Lurus Anda
Anda mungkin tidak akan mampu untuk mengurung maverick, tetapi anda dapat mengarahkan mereka. Trik ini sangat jelas mengenai bagaimana anda melihat kontribusi maverick employee terhadap organisasi dan meyakinkan kontribusi ini mungkin berbeda dengan pekerja lainnya. Trick sangat jelas mengenai bagaimana anda melihat kontribusi maverick employee pada organisasi, menentukan bahwa kontribusi ini mungkin berbeda dengan pekerja lainnya. Maverick membutuhkan untuk mengetahui apa yang anda ekspektasikan dan apa yang anda butuhkan.

2. Bekerja untuk penghargaan, bukan otoritas
Otoritas formal anda mungkin tidak mempunyai efek pada maverick. Jangan mengekspektasikan mereka untuk merespon permintaan. Dengarkankanlah keinginan para maverick dengan menanyakan banyak pertanyaan. Hal ini juga berarti menunjukan anda menilai kontribusi nya.

3. Feedback
Mavericks tidak bertujuan untuk obstructive. Karena alas an ini, sangat penting bahwa mereka menerima feedback yang berfokus pada bagaimana mereka melakukannya. Cara terbaik untuk mengkomunikasikan feedback pada maverick adalah mengatakan mengenai prinsip mendasar dan nilai kemudian berpindah pada hal yang spesifik.
Feedback tidak hanya mengenai prilaku yang negative dan manager membutuhkan untuk mengetahui bahwa kontribusi keanehan mereka diapresiasikan dan dinilai. Jika anda ingin maverick berkontribusi secara positif, anda membutuhkan mereka untuk mengetahui.

4. Berhadapan dengan keburukan
Jika maverick anda buruk atau tidak mempunyai keahlian serta tidak kompeten, anda menghadapi problem kinerja yang harus di selesaikan. Hal ini akan meracuni organisasi. Sehingga orang-orang seperti ini harus selalu diselesaikan masalahnya.

5. Pemenang dan proteksi
Ingatlah bahwa para maverick cenderung untuk tidak bergantung pada group tertentu, dan sehingga tidak menerima dukungan yang banyak. Mereka lebih bergantung pada kekuatan fikiran mereka dibandingkan dukungan social. Jika anda menilai kontribusi positif dari maverick anda, anda membutuhkan untuk menggariskan kontribusi ini pada pekerja yang konvensional. Menunujukan nilai dan ide kreatif mereka, meskipun jika anda tidak menyukaunya.

6. Tentukan batas
Maverick membutuhkan untuk mengetahui tujuan organisasi. Bantulah para maverick untuk berfokus pada tujuan.

Demikianlah keenam cara yang dapat dilakukan untuk mengelola maverick employee menjadi pekerja yang berguna dan sangat bermanfaat bagi perusahaan anda.

Talent Pool BCA

Fenomena pembajakan karyawan sangat sering terjadi. Masih ingatkah dengan kasus pindahnya Erick Meyer dari Telkomsel ke Esia. Tentunya hal ini akan membuat perusahaan yang ditinggalkan menjadi kerepotan untuk mencari pegawai yang berkualitas sama dalam waktu yang sangat singkat.

Fenomena ini menjadi perhatian di Bank Central Asia. Mulanya dalam melakukan proses suksesi, BCA menerapkan cara tradisional yaitu menggunakan succession tree. Setiap posisi first level manager ke atas memiliki 2-3 calon pengganti. Saat posisi tersebut kosong karena berbagai sebab, maka salah satu dari 2-3 calon tersebut akan mengisi posisi tersebut. Hal ini akan terjadi pula dengan posisi calon pengganti tersebut. Ia akan digantikan oleh calon lain di bawahnya. Sistem seperti ini sangat merepotkan secara administratif karena pada saat terdapat satu posisi kosong, harus segera mencari posisi baru tersebut.

Manajemen BCA mengganti dengan menggunakan system baru yang dikenal dengan nama talent pool yaitu sebuah sistem yang mengumpulkan para karyawan potensial (talent). Setiap karyawan potensial dikembangkan terlebih dahulu tanpa menetapkan dia akan menggantikan posisi siapa kelak. Di setiap eselon, BCA memiliki talent pool. Sehingga, jika nanti ada posisi yang kosong, maka akan dicari talent yang memenuhi syarat secara umum maupun secara khusus. Dengan cara ini, BCA tidak lagi direpotkan oleh urusan administrasi.

Sistem talent pool ini disusun dan mulai diterapkan di BCA semenjak tahun 2000 yang bermula dari pembelajaran beberapa buku seperti TheWar for Talent dan Grow Your Own Leader dan menyesuaikannya dengan kondisi bisnis dan budaya BCA. Sistem ini mulai berjalan secara penuh tahun 2001.

Tahapan pertama system talent management yang diterapkan pada BCA, manajemen perusahaan membuat beberapa kualifikasi mendasar. Keputusan apakah seseorang akan masuk ke dalam talent pool atau tidak akan ditentukan oleh panel manajemen yang didominasi oleh kalangan manajemen tingkat menengah.

Sistem panel ini terlihat lebih obyektif karena melibatkan banyak pihak.Bahan pengambilan keputusan tidak hanya berasal dari pimpinan yang bersangkutan. Pada level menengah, jumlah anggota panel berkisar 15-20 orang. Para pimpinan cabang di wilayah tersebut ikut serta dalam keanggotaan panel manajemen. Para pimpinan cabang juga harus mempresentasikan anak buah yang akan direkomendasikan agar dapat masuk kedalam talent pool di hadapan para panel manajemen.

Para talent adalah karyawan yang memiliki potensi tinggi dan prestasi tinggi. Orang-orang yang berpotensi tinggi namun prestasinya sedang-sedang saja (high valued people) juga bisa dimasukkan ke dalam kategori talent. Fokus dari talentmemang kepada potensi ketimbang prestasi. Mereka yang potensinya sedang-sedang saja namun berprestasi tinggi tidak mungkin masuk talent pool. Alasannya, prestasi yang bagus itu karena sudah lama menangani pekerjaan itu. Kalau orang itu dipindah ke tempat lain, prestasinya belum tentu bagus.

Sumber utama talent pool adalah para Management Trainee dalam hal ini pada kasus BCA dikenal dengan para Management Development Program, kendati mereka tidak otomatis bisa masuk talent pool. Sekitar 1-2 tahun pendidikan dan ditempatkan, biasanya sudah bisa ditentukan apakah Management Trainee itu sudah layak menjadi talent. Sementara menentukan rekrutmen baru dengan jalur bukan Management Trainee, setidaknya butuh waktu 3 tahun.

Karyawan yang telah masuk talent pool tidak bisa berleha-leha atau besar kepala (menurut Michael, mereka bisa tahu apakah termasuk talent atau tidak). Kalau prestasinya menurun atau melakukan pelanggaran, para karyawan itu bisa dikeluarkan dari talent pool. Sebaliknya, karyawan potensial lainnya boleh masuk ke dalam talent pool bila memenuhi syarat. Kisaran usia para talent BCA mulai dari 27 hingga 45 tahun.

Mengenai keefektifan talent pool ini sudah sangat teruji, terutama bila dihadapkan pada maraknya kasus pembajakan karyawan saat ini. Karena menggunakan talent pool, perusahaan tidak dihadapkan pada kesulitan mencari karyawan jika terjadi pembajakan oleh perusahaan lain.
Mengelola SDM Berbasis Talenta

Manajemen berbasis talenta mengubah pendekatan “superman” menjadi “superteam”. Bagaimana konsep lengkapnya? Benarkah bisa mengatrol kompetensi karyawan dan menjawab kebutuhan perusahaan?

Ketika diserahi tanggung jawab sebagai Presdir PT Inti Ganda Perdana (Grup IGP) pada tahun 2000, Gunardi Hadi Atmodjo melihat perusahaan manufaktur yang memproduksi rear axle dan propeller shaft ini memiliki kompetensi yang rendah. Dengan kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang minim, Gun — demikian ia biasa disapa — menyadari, perusahaannya tak akan mampu bersaing di pasar global. Pada saat itu, ia pun teringat Pande N. Agus Jaya, teman lamanya ketika sama-sama di Astra-Honda Motor.

Mereka akhirnya bertemu. Di situ Gun mengemukakan visinya yang ingin membawa IGP menjadi perusahaan berkelas dunia. ”Saya ceritakan masalah di IGP. Lalu, saya minta Pak Pande membantu saya menangani SDM di sini. Saya ingin IGP mampu berkompetisi secara global. Untuk itu, kami sepakat agar SDM-nya dibenahi lebih dulu,” tutur Gun memaparkan visinya.

Bersama Direktur SDM IGP, Jan Burhanudin, Gun serta Pande yang kemudian ditunjuk sebagai Kepala SDM & Knowledge Management, mulai memikirkan langkah untuk membangun kompetensi karyawan IGP yang berjumlah 2.000 orang. Mulanya, mereka melihat, yang perlu dibenahi adalah mentalnya dulu. ”Seingat saya, Pak Jan butuh waktu setahun lebih untuk mengubah mental karyawan,” ungkap Gun yang dibenarkan Jan dengan anggukan kepala.

”Dulu, orang yang rajin dan tidak rajin hanya dilihat dari disiplin masuk kerja. Tapi, itu terlalu standar. Sekarang, bukan hanya sekadar masuk kerja. Tetapi, selama bekerja orang itu menghasilkan apa,” tukas Jan menambahkan. Contoh lainnya, masih kata Jan, ”Karyawan biasanya menunggu ditelepon customer untuk mengetahui barangnya ditolak atau tidak. Padahal, seharusnya kita sudah tahu sebelum customer menelepon. Jadi, karyawan harus lebih proaktif,” katanya menandaskan.

Dari berbagai kondisi yang dihadapi, disertai perenungan mengenai masa depan IGP, Pande kemudian menemukan ide yang diyakininya dapat meningkatkan performa karyawan. Ide ini didasari pada pengamatan dan pengalamannya selama berkutat di bagian SDM sejak 1990. Ketika masuk ke IGP, Pande menilai, salah satu penyebab kurangnya kompetensi SDM karena mereka tidak ditempatkan selaras dengan talenta atau bakatnya. Bakat?

Pande mengangguk seraya menjelaskan, seseorang yang bekerja tidak berdasarkan bakat alaminya akan mengerjakan tugas-tugasnya dengan terpaksa. Akibatnya, hasil pekerjaannya tidak optimal. Tak percaya?

Untuk membuktikannya, Pande memberi satu kasus di perusahaannya. ”Suatu ketika, saya dipanggil Pak Gun untuk membahas seorang karyawan di perusahaan kami. Karyawan yang dipanggil ke ruang direksi ini menduduki jabatan sebagai Kepala Pabrik. Karyawan ini dinilai kurang menjalankan tugasnya dengan baik. Sebagai Kepala Pabrik yang seharusnya dapat mengontrol dan mengawasi operasional pabrik, ia kelihatan kurang menjiwai,” ungkap Pande memaparkan. Oleh manajemen, karyawan ini lalu dipindahkan ke bagian lain. Pekerjaan baru yang diberikan kepadanya adalah cost control. Adapun tugasnya, mengontrol semua biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan. Namun, apa yang terjadi kemudian?

”Setelah setahun dengan pekerjaan barunya, karyawan ini tetap tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Lalu, bersama-sama kami me-review karyawan bersangkutan. Dari hasil review, saya baru menyadari bahwa selama ini dia berada di posisi yang salah,” lanjut Pande bercerita. Kenapa demikian?

Pande lalu menjelaskan. Pekerjaan sebagai cost control memiliki job caracter tertentu, di antaranya dibutuhkan fungsi kontrol yang kuat. ”Itu berarti, dia harus mempunyai karakter detail dalam menangani pekerjaan,” Pande menuturkan. Masalahnya, karyawan yang bersangkutan tidak memiliki talenta tersebut. ”Dari hasil review, yang kami lihat justru sebaliknya: orangnya ekstrover dan berpikir global. Dari situ kami menemukan bahwa orang ini cocoknya sebagai resource investigator, yang tugasnya mencari berbagai informasi dari karyawan,” katanya seraya melanjutkan, ”Akhirnya, job role baru yang kami berikan kepadanya adalah business performance control.” Di posisi ini dia diharapkan dapat memberi informasi kepada perusahaan di bagian mana saja yang tidak efektif.

Menurut Pande, posisi ini sebelumnya tidak ada. Bila karyawan tersebut tetap dipertahankan di posisinya yang lama, selain tidak bahagia, dia juga tidak dapat memberi kontribusi yang besar kepada perusahaan. ”Kalau sudah begitu, perusahaan harus bisa menyediakan job role baru yang sesuai dengan talenta karyawan.”

Barangkali, job role baru yang disediakan Pande untuk karyawan terkesan mengada-ada. ”Tapi, sebenarnya tidak,” katanya tegas. Dalam menghadapi kompetisi yang semakin ketat, banyak pekerjaan yang selama ini tidak tertangani karena keterbatasan SDM di perusahaan. ”Jadi, job role sebagai business performance control itu memang dibutuhkan di perusahaan kami,” tuturnya menyimpulkan.

Berawal dari kasus-kasus yang ditanganinya, Pande kemudian merumuskan konsep SDM yang dinamakan Talent Based Human Resources Management (Talent Based-HRM). Pengembangan SDM berbasis talenta ini didefinisikan Pande sebagai berikut: membangun keunggulan kompetensi seseorang hingga mencapai tingkat kelas dunia selaras dengan bakatnya. Mengingat IGP adalah perusahaan manufaktur, karyawan yang dibutuhkan harus yang bakatnya cocok dengan bidang pekerjaan di perusahaan ini.

Bila dikaitkan dengan persaingan yang makin ketat saat ini, Pande menerangkan, perusahaan membutuhkan karyawan yang memiliki kompetensi tinggi di bidangnya. Karena itu, konsep Talent Based dipandang lebih baik daripada konsep human resource management (HRM) lainnya. Alasannya, dijelaskan pria kelahiran Gianyar, Bali, 45 tahun lalu ini, pertama, dalam hal kecepatan (speed). ”Orang yang beraktivitas berdasarkan bakatnya akan memiliki kemampuan belajar yang lebih baik,” ujar lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga ini. Kedua, berbicara tentang performa (prestasi), orang-orang yang bekerja sesuai dengan talentanya mampu mencapai prestasi yang tinggi dan memberi kontribusi yang besar kepada perusahaan. Ketiga, mereka juga memiliki daya tahan yang lebih tinggi terhadap pekerjaan yang digelutinya. Dan keempat, orang yang bekerja sesuai dengan bakatnya akan mempunyai komitmen yang lebih tinggi.

Di IGP, konsep ini dinilai pas dan mendapat dukungan penuh dari para direksi. Dilihat dari proses produksinya, perusahaan yang beroperasi di lahan seluas 20 hektare ini memproduksi barang sesuai dengan pesanan customer. Berarti, yang dijual IGP adalah kompetensi SDM-nya. Sejauh ini, barang yang dihasilkan merupakan bagian dari produk yang dimiliki customer. Dengan demikian, bila kompetensi SDM-nya rendah, besar kemungkinan customer akan mengorder ke perusahaan lain atau memutuskan membuatnya sendiri. Pasalnya, ”Customer IGP adalah perusahaan-perusahaan mobil. Sehingga, bila mereka tidak puas dengan hasil buatan kami, mereka tinggal bikin pabriknya sendiri. Jika ini yang terjadi, kami bakal kehilangan pasarnya,” ungkap Pande. Atas dasar itu, IGP memandang penting kompetensi SDM. Tanpa kompetensi yang didasari bakat, mustahil dapat menjadi perusahaan kelas dunia.

Lantas, apa bedanya Talent Based dengan Competency Based? Bukankah keduanya sama-sama menekankan pentingnya kompetensi?

“Fokusnya yang berbeda,” ujar Pande. Di Talent Based, ia menjelaskan, kita memotret dan mengenali bakat setiap orang, lalu kita bangun kompetensinya selaras dengan bakat yang dimilikinya sehingga dalam waktu singkat dia memiliki kompetensi kelas dunia.

Sementara di Competency Based, dibutuhkan role model untuk melihat ciri-ciri pada suatu jabatan. Dari hasil penelusuran itu, SDM yang menempati posisi tersebut harus memiliki kompetensi sesuai dengan ciri-ciri tersebut. Setelah itu, kompetensi karyawan akan dipotret oleh bagian assesment center. Dari penilaian ini, akan diketahui dimana letak kekurangan dan kekuatan kompetensinya. Bila terdapat gap antara kemampuan saat ini dengan kompetensi yang seharusnya dimiliki, orang yang bersangkutan akan diberi berbagai pelatihan yang dibutuhkan sehingga kompetensinya terpenuhi. ”Jadi, pada Competency Based, perusahaan fokus untuk mengatasi gap antara kemampuan orang tersebut dan kompetensi yang seharusnya dimiliki,” katanya. Ia menambahkan, upaya ini akan mengarahkan karyawan menjadi superman. Sebab, dia harus selalu memenuhi kompetensi yang dibutuhkan, tanpa memedulikan bakat yang dimilikinya.

Staf SDM Grup IGP Agustinus Agung Wirawan menambahkan, konsep Talent Based lebih memprioritaskan kelebihan seseorang. Selama ini dia sering melihat, banyak orang berkemampuan intelektual bagus, tapi tidak perform. Ketika orang ini ditelusuri lebih dalam, ternyata dia menempati posisi yang tidak cocok dengan bakatnya. Karena itulah, Agustinus sependapat dengan Pande, ”Kalau perusahaan ingin mengoptimalkan seseorang, sebaiknya fokus pada kekuatannya, bukan kelemahannya.” Bila perusahaan memilih fokus pada kelemahan seseorang, menurutnya, hanya buang-buang waktu. ”Hasilnya tidak optimal,” kata lulusan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada itu. Lalu, bagaimana menutupi kelemahannya? Di Talent Based, kelemahan seseorang bisa ditutupi anggota tim yang lain. ”Kami tidak menciptakan superman, tapi superteam,” ujarnya menguatkan pernyataan Pande.

Secara konkret konsep Talent Based dirumuskan sejak dua tahun lalu. Pande memperkenalkan konsep ini pertama kali pada Desember 2004 dalam forum HRD Club. Setelah itu, ia mulai mengujicobakan konsep ini di IGP, tapi masih dalam tahap coba-coba. Mulanya, pemetaan talenta (talent mapping) dilakukan melalui pengenalan (observasi) yang intensif pada seseorang. Dari situ dapat dilihat karakter personalnya. ”Sekarang, kami sudah berhasil membuat tools-nya, sehingga dapat melakukan talent mapping secara massal,” ungkapnya. Karena itu pula, sejak awal tahun ini Talent Based diterapkan penuh di lingkungan IGP.

Menurut Agustinus, talenta seseorang bisa dilihat dari interaksi sosialnya. Dari sana bisa terungkap empat hal yang berhubungan dengan karakter personalnya. Pertama, seseorang mempunyai perhatian pada orang (focus on people) ataukah tidak. Kedua, ditinjau dari concern-nya, lebih menekankan ke hal-hal yang bersifat aktual (present) atau konsep (future). Ketiga, ditilik dari consideration-nya, bagaimana caranya mengambil keputusan: didasarkan pada sesuatu yang logis (based on thinking/based on head) atau lebih menggunakan intuisi (based on feeling/based on heart). Dan keempat, dilihat dari working style seseorang, dapat diketahui apakah ia seorang yang well organize atau fleksibel. Selanjutnya, ”Keempat hal itu kami ramu sehingga bisa kelihatan, orang yang bersangkutan talentanya di mana atau dalam bidang apa,” tutur Agustinus.

Di IGP, Pande melanjutkan, proses pemetaan talenta dilakukan secara bertahap, lapis demi lapis. Proses ini dilakukan dimulai dari lapis ke-2 (general manager atau kepala divisi) hingga lapis ke-7. Pertama, yang dilakukan Pande adalah mengumpulkan orang-orang di lapis ke-2 (jumlahnya 9 orang) dalam satu ruangan untuk memetakan talenta. Di sini, mereka diberi kuesioner untuk diisi. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner diarahkan untuk menggali talenta masing-masing orang. Setelah datanya diolah, akan diketahui profil talentanya. Selanjutnya, orang yang bersangkutan akan diberitahu hasilnya.

Setelah pemetaan talenta di lapis ke-2 selesai, dilanjutkan ke lapis ke-3 (kepala departemen atau manajer), berlanjut ke lapis ke-4 (kepala seksi atau supervisor), dan seterusnya hingga ke lapis ke-7. Saat ini, proses pemetaan talenta karyawan IGP sudah berjalan hingga lapis ke-5. Pande menargetkan, tahun depan seluruh karyawan IGP yang berjumlah 2.000 orang sudah dipetakan talentanya. Dari yang telah dipetakan, ternyata, lebih dari 60% karyawan bekerja tidak sesuai dengan talentanya. ”Ini fakta. Hal inilah yang membuat perusahaan menjadi tidak efektif,” ungkapnya lugas. Agar IGP bisa berlari kencang, Pande dan timnya harus bekerja keras menyelaraskan antara pekerjaan yang ditangani karyawan dan bakat yang dimilikinya.

Nah, bagi karyawan yang talentanya sudah pas, selanjutnya tinggal dibangun kompetensinya. Berikutnya, pelatihan untuk orang ini akan difokuskan pada bidang yang ditekuninya. Kalaupun dirotasi ke bagian lain, tujuannya hanya untuk belajar dalam rangka mendukung keahliannya. Di sisi lain, bagi karyawan yang bakatnya belum sesuai dengan pekerjaannya saat ini, Pande berusaha mencarikan job role baru. Di IGP, jumlah karyawan di lapis ke-2 hingga ke-4 ada sekitar 200 orang atau 10% dari total karyawan IGP. Mereka inilah yang, menurut Pande, membutuhkan penanganan serius. Bila ke-200 orang ini dapat bekerja selaras dengan talentanya, IGP bisa berlari lebih kencang.

Lantas, bagaimana menanggulangi 60% karyawan yang berada di posisi tidak cocok dengan talentanya? Ada beberapa cara yang dilakukan Pande. Pertama, karyawan bersangkutan akan dirotasi ke bagian lain yang karakter kerjanya selaras dengan talenta yang dimilikinya. Hanya saja, ketika ia berpindah ke bagian yang sesuai, harus ada orang lain yang siap menggantikan posisinya. ”Seperti tukar guling begitulah,” kata ayah dua anak ini.

Bila seorang karyawan yang seharusnya dipindahkan ke bagian lain tapi tak ada yang menggantikan posisinya, untuk sementara waktu akan dipertahankan terlebih dulu. Dengan catatan, karyawan tersebut selama ini dinilai perform, tetapi tidak optimal. Agar pekerjaannya bisa berjalan lebih baik, dia akan dicarikan orang lain dari lapis di bawahnya yang bisa mem-back up kekurangannya. Dengan cara seperti ini, karyawan yang bersangkutan menjadi superteam dan bisa memberi kontribusi lebih besar kepada perusahaan. Namun, karyawan ini tidak bisa selamanya dipertahankan di bidang tersebut. Ia berhak memperoleh pekerjaan yang cocok dengan talentanya. Karena itu, sambil berjalan perusahaan mengader karyawan lain yang bisa menggantikan posisinya.

Bila tidak bisa dikader dari dalam, mau tak mau manajemen akan mencarinya dari luar. Untuk saat ini, di lapis ke-2 IGP telah menambah dua orang, demikian pula di lapis ke-3. Sementara untuk lapis ke-4, IGP melakukan rekrutmen baru sekalian untuk memenuhi kebutuhan di masa mendatang.

Cara kedua, bagi karyawan yang talentanya tidak cocok dengan semua bidang pekerjaan di IGP, Pande akan menciptakan job title baru untuk memberi kesempatan kepadanya berkontribusi kepada perusahaan. Tentu saja, karakter kerjanya akan disesuaikan dengan talenta yang bersangkutan. Karyawan yang masuk dalam kategori ini akan ditangani Pande langsung. ”Sebetulnya atasan punya otoritas menciptakan job title baru bagi anak buahnya. Hanya saja, ada keterbatasan dalam hal penanganannya. Karena itu, orang-orang yang ditempatkan pada job title baru akan saya tangani sendiri sesuai dengan kebutuhan perusahaan,” tuturnya. Setidak-tidaknya, cara ini akan menghindarkan IGP dari kesalahan dalam menempatkan SDM. ”Daripada saya menempatkan orang bagus di tempat yang salah, lebih baik kami menciptakan job title baru yang sesuai dengan talenta orang tersebut,” ujarnya tandas.

Apakah pekerjaan ini sulit dan memakan waktu? Menurut Pande, tidak. Mengingat pemetaan talenta dimulai dari lapis atas, di lapis bawahnya menjadi lebih mudah penanganannya. ”Ketika kami memotret bakat karyawan di layer berikutnya, atasan mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan pada anak buahnya. Dalam eksekusinya, orang-orang yang berada di layer atas berperan dalam penempatan yang cocok bagi anak buahnya. Sebab, mereka pun ingin anak buahnya bekerja sesuai dengan bakatnya agar hasilnya optimal,” ujarnya mengakui.

Upaya menempatkan SDM selaras dengan talenta dinilai Pande tidak merepotkan perusahaan. Penerapannya pun tidak memakan biaya. Bila dilihat dari biaya yang dikeluarkan di perusahaan manufaktur, yang dialokasikan untuk karyawan hanya berkisar 5%-10%. Hanya dengan menambah sedikit biaya, organisasi perusahaan dapat berjalan lebih efektif. Penambahannya tidak sampai 1%. ”Untuk perusahaan manufaktur, pengeluaran terbesar ada pada material cost,” ungkapnya.

Terlepas dari biaya yang dikeluarkan, Pande melihat, manfaat yang dirasakan dari penerapan Talent Based sangat besar. Setelah fokus membangun kompetensi SDM berdasarkan talentanya, akhirnya kompetensi institusi juga meningkat. Pada akhirnya, perusahaan memperoleh kepercayaan dari customer dalam bentuk pesanan yang lebih banyak lagi. ”Kini organisasi menjadi lebih efektif. Bahkan, dalam waktu kurang dari 6 bulan sudah terlihat hasilnya,” katanya bangga. Pande berani mengatakan, sekarang IGP mendapat pengakuan internasional dan produknya diapresiasi sehingga masuk ke ring satu (perusahaan-perusahaan yang dimiliki langsung oleh Toyota – Red.).

Terbukti, setelah menerapkan Talent Based, IGP berhasil mendapatkan proyek baru, di antaranya dari General Motor, Daihatsu dan Suzuki, untuk mendesain beberapa produk seperti propeller shaft. Selain itu, bagi invidunya sendiri, Talent Based dapat mendongkrak motivasi kerja karyawan sehingga lebih bergairah dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, mengalami proses belajar yang lebih cepat dan kompetensinya pun meningkat. Setelah itu, diharapkan karyawan tersebut akan menularkan energi positifnya kepada teman-teman dan anak buahnya.

Sejauh ini Pande tidak menjumpai kesulitan dalam menerapkan Talent Based karena konsep ini telah dipahami dan didukung sepenuhnya oleh Board of Director. Demikian pula karyawan di lapis atas, sejak awal sudah diperkenalkan denganTalent Based satu per satu sehingga ketika konsep ini benar-benar dijalankan, mereka langsung bisa menangkap maksudnya. Diakuinya, ada beberapa karyawan yang bersikap resisten ketika diberitahukan tentang konsep ini. ”Resistensi terbesar ada di layer ke-2,” ia membuka rahasia. Misalnya, ada seorang Kepala Pabrik yang ditarik keluar dan mendapat job role baru. Pande bisa memaklumi kenapa karyawan ini merasa berat meninggalkan posisinya. Sebagai Kepala Pabrik, ia tentu memiliki banyak bawahan. Bila dipindahkan ke bagian lain, tentu merasa kehilangan kebanggaan yang selama ini dimilikinya. ”Mulanya, orang ini tidak bisa menerima. Namun, setelah dijelaskan dengan baik mengenai konsep ini, ia pun bisa memahaminya,” katanya mengenang. Sekarang, karyawan yang dimaksud mendapat job role sebagai spesialis bidang perbaikan sistem produksi.

Dua karyawan IGP yang kami wawancarai mengungkapkan, mereka merasa lebih enjoy setelah ditempatkan di posisinya sekarang. Abun Gunawan, misalnya. Ketika bergabung ke IGP pada 2001, ia ditempatkan di bagian mesin di salah satu pabrik. Kebetulan latar belakang pendidikannya adalah bidang teknik mesin (Institut Teknologi Bandung). ”Jadi, sebenarnya pas dengan kompetensi saya. Tetapi, pekerjaan di pabrik hanya 50% yang bersifat teknis. Selebihnya manajerial,” ujarnya. Pekerjaan di pabrik dijalaninya hanya sekitar setahun.

Setelah dipetakan, manajemen melihat, talenta Abun bukan di sana. Hasil pemetaannya memperlihatkan bahwa ia seorang yang introvert, present, thinking (based on head) serta organized. Dengan talenta seperti itu, jelas saja pekerjaan di pabrik tidak cocok baginya. Oleh Pande, Abun diarahkan menjadi seorang spesialis dan ditempatkan di pengembangan produk. Untuk menggali bakat Abun, perusahaan pun tak segan mengirimnya belajar tentang desain komponen ke luar negeri. “Saya memang bukan tipe orang yang senang mengatur orang lain atau memiliki anak buah yang mempunyai masalah, lalu saya harus mendengarkan keluh kesahnya. Saya lebih suka mengurusi proyek daripada masalah-masalah di pabrik yang berkaitan dengan manusia. Sekarang saya merasa enjoy, karena sudah berada di dunia saya,” ujar Abun blak-blakan. Saat ini ia menggarap beberapa proyek dari customer yang — menurut istilahnya — bukan kacangan, seperti General Motor, Daihatsu dan Suzuki. “Mereka mengorder barang yang saya desain sendiri,” ungkapnya senang.

Cerita Djungdjung Bonar Panjaitan lain lagi. Sejak Mei 2006 ia ditempatkan sebagai spesialis pengembangan kultur. Sejak masuk IGP pada 1996, Djungdjung sudah dirotasi ke mana-mana. Berbagai bidang — mulai dari produksi, organisasi, manajemen proyek, engineering, purchasing, budgeting, dan maintenance — telah dijalaninya. ”Yang sekarang ini merupakan pos saya ke-9,” ungkapnya. Hingga suatu hari, manajemen menyodorinya kuesioner untuk mengetahui talentanya. Setelah mengisi kuesioner, Djungdjung baru mengerti bahwa dirinya bukan tergolong seorang leader, tapi spesialis. “Hasil mapping menyatakan, saya orang yang introvert, future, thinking (based on head), dan organized,” kata Djungdjung tentang talentanya.

Dari situ ia mulai diarahkan menjadi spesialis. ”Perusahaan sedang membangun kultur yang digali dari masing-masing orang. Sekarang, saya diminta menanganinya agar kami menjadi perusahaan kelas dunia,” tuturnya mengenai pekerjaannya saat ini. Ketika masih di bagian produksi, Djungdjung memiliki 120 anak buah. Sekarang, ia tidak lagi menangani anak buah. Namun, baginya itu bukan masalah. ”Saya jadi bisa fokus ke pekerjaan saya karena tidak perlu memikirkan orang lain.”

Mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan Tuty Herlina yang bertajuk ”Nilai Stratejik SDM” (LM-FEUI, 2006), bila perusahaan ingin mencapai keunggulan kompetitif melalui SDM, dibutuhkan banyak waktu dalam pencapaiannya. Akan tetapi, bila tujuan tu telah tercapai, secara substansial dapat bertahan lebih lama dan lebih sulit diduplikasi pesaing. Di sisi lain, diperlukan banyak waktu untuk menerapkan banyak praktik serta output yang dihasilkannya.

Kendati penerapan Talent Based di IGP sudah berjalan baik, Pande menyadari, untuk mengetahui hasilnya harus ada evaluasi. Namun, bagaimana mengevaluasinya? Yang menarik, ia tidak mengukur keberhasilan seseorang dari sisi performanya. Lalu, dari mana? ”Kami mengukurnya dari peningkatan kompetensi plus motivasi karyawan. Sedangkan performa merupakan hasil kali dari kompetensi dan motivasi seseorang. Jadi, bila kompetensi dan motivasinya meningkat, dapat dipastikan performanya pun akan naik,” Pande menjelaskan dengan bersemangat. Namun, demi menghindari subjektivitas di dalam proses evaluasinya, semua karyawan di lapis ke-2 dikumpulkan untuk memberi penilaian.

Hasil positif dari penerapan Talent Based, setidak-tidaknya telah meringankan tugas salah seorang Kepala Pabrik, Marusaha Sitorus. Sejak perusahaannya mengimplementasi konsep ini, ia mengaku, beban pekerjaannya berkurang. Sebelumnya, Marusaha tak pernah pulang cepat. ”Saya sering pulang tengah malam karena selalu saja ada pekerjaan di pabrik yang harus saya bereskan,” ujarnya mengenang. Sebagai Kepala Pabrik, dia dituntut harus bisa menangani berbagai masalah di pabrik. Semestinya, tugas itu bisa dibagi kepada lima manajer di bawahnya. Namun, menurutnya, selalu saja ada yang kurang beres sehingga ia mesti turun tangan. Hal ini membuat lulusan Teknik Industri ITB ini tak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Bahkan, sekadar mengikuti pelatihan yang bisa meningkatkan kompetensinya pun ia sering tak bisa.

Ketika ide mengenai Talent Based dilontarkan, ayah tiga anak ini termasuk yang mendukung. Ia berpendapat, bila anak buahnya bekerja selaras dengan talentanya, tentu akan memudahkan pekerjaannya juga. Dan, memang benar. ”Sekarang pekerjaan saya jadi lebih ringan. Para manajer di bawah saya sudah bisa dipercaya. Saya juga tidak perlu lagi pulang larut malam, sehingga bisa sering berkumpul dengan keluarga,” katanya senang.

Berdasarkan pengalaman di IGP, Pande yakin, Talent Based bisa diterapkan di perusahaan apa pun. ”Perusahaan kecil pun bisa mengimplementasi konsep ini,” katanya optimistis. Hanya saja, bagi perusahaan yang ingin menerapkannya, dibutuhkan komitmen yang tinggi dari semua level, terutama para pemimpinnya. Sebab, bila ternyata sebagian besar karyawan bekerja tidak sesuai dengan bakatnya, perusahaan harus mampu mencarikan job role baru.

Monday, May 24, 2010

PROSEDUR EKSPOR IMPOR

Dalam era perdagangan global sekarang ini arus barang masuk dan keluar sangatlah cepat. Untuk memperlancar urusan bisnisnya, para pengusaha dituntut untuk memiliki pengetahuan yang cukup mengenai prosedur ekspor dan impor, baik dari kepabeanan, shipping maupun perbankan, yang semuanya ini saling berkaitan dan selama ini sering terjadi permasalahan dilapangan. Pemahaman Prosedur Kepabeanan dan Pembayaran Internasional dalam Transaksi Ekspor-Impor sangat penting untuk kesuksesan perdangan ekspor dan impor.

Para pelaku forwarder, trader dan eksekutif ekspor impor haruslah mengerti secara details apa saja komponen dan prosedur export dan import dan dokumen ekspor-impor dengan benar serta permasalahan-permasalahan yang selama ini sering dialami dilapangan terutama yang berkaitan dgn Bea Cukai, Shipping Company dan Banking. ada beberapa hal dan faktor yang perlu diketahui seperti dibawah ini:
1. Gambaran umum kepabeanan
o Daerah pabean
o kawasan pabean
o Kewenangan pabean
o Mengenal buku tarif bea masuk Indonesia (BTBMI)
o Cara mengklasifikasi barang /HS
1. Prosedur Impor
o Pengertian Impor
o Persyaratan Impor
o Kedatangan Barang Impor
o Pembongkaran & Penimbunan
a. Di kawasan pabean / tempat penimbunan sementara
b. Di tempat lain
o Pungutan Negara dalam Rangka Impor
a. Nilai Dasar Perhitungan Bea Masuk (NDPBM)
b. Surat Setoran Pabean Cukai & Pajak (SSPCP)
c. Cara perhitungan
 Bea Masuk
 Cukai
 PPN & PPnBM
 PPH psl 22
d. Tata Cara Pembayaran BM, Cukai, PPN, PPnBM dan PPH psl 22
o Pengeluaran Barang Impor
a. Pengisian PIB
b. Prosedur Manual
c. Prosedur Disket
d. Prosedur EDI
1. Penetapan Jalur :
o Jalur Merah
o Jalur Hijau
o Jalur Prioritas
Pemeriksaan Pabean :
1.
o Pemeriksaan Dokumen
o Pemeriksaan Fisik
1. Tata Cara Penyelesaian Barang Impor dgn sistem
o EDI-Jalur Merah
o EDI-Jalur Hijau
o EDI-Jalur Prioritas
1. Fasilitas Kepabeanan (Custom Facility)
o Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE)
o Kawasan Berikat
o Jalur Prioritas
o Truck-Lossing-dll
1. Incoterms 2000 (Syarat Peyerahan Barang)
o EX Works
o FCA, FAS, FOB
o CFR, CIP, CPT, CIP
o DAF, DES, DEQ, DDU, DDP.
1. Shipment (Pengapalan).
o Pengertian dari Shipment
o Pihak-pihak ang terlibat dalam shipment
o Tanggung Jawab & Kewajiban :
a. Shipper/Pengirim
b. Carrier/Pengangkut
c. Consignee/Penerima Barang.
o Fungsi Kapal
a. Jenis-jenis perusahaan pelayaran
b. Pengertian Shipping Conference
c. Transport Documents
d. Fungsi & Sifat B/L & AWB
e. Jenis-jenis B/L
f. Shipping guarantee
o Containerized
a. Full container Load
b. Less than container Load
c. Consilidation
1. Aktifitas dan Jasa yang ada atau yg dilakukan di Pelabuhan
o Shipping Clearance
o Custom Clearance
o Port Clearance
o Ekpedisi Muatan Kapal Laut (EMKL)
o Freight Forwarder
o Perusahaan Bongkar Muat (PBM)
o Pergudangan (Warehousing)
o Lighterage
1. Proses Pengapalan ke Luar Negeri
o Tata Cara booking space kapal
o Latihan membuat shipping Instruction
o Proses Penerbitab Bill of Lading (B/L)
o Fungsi dari B/L
o Hal-hal yg perlu diperhatikan di dalam B/L
o Cara peralihan/endorsement B/L
1. Data-data & Statement pada B/L
o Shipper, Consignee, Notif Party
o Carrier, Cargo dan Freight
o Clean On Board
o Unclean/Dirty B/L
o Said To Contain (STC)
o Shipper Load & Count (SLAC)
1. Method of Payment
o Advance Payment
o Open Account
o Cosigment
o Collection
o Letter of Credit
1. Prosedur Ekspor dengan Menggunakan Letter of Credit (L/C)
o Pengertian Ekspor
o Persyaratan Ekspor
o Pengelompokkan Barang Ekspor
o Dasar & Tujuan Pengelompokkan Barang
o Pajak/Pungutan Ekspor
a. Dasar & Tujuan Barang dikenakan Pajak Ekspor
b. Tata Cara perhitungan pajak ekspor
 Harga Patokan Ekspor (HPE)
 Surat Tanda Bukti Setoran (STBS)
 Surat Sanggup Bayar (SSB)
o Memahami Syarat & Kondisi L/C
o Tata Cara Memeriksa Dokumen

HAL-HAL PENTING DALAM PROSEDUR EKSPOR IMPOR

1. INCOTERMS 2000 ( SYARAT PENYERAHAN BARANG )

* EX Works
* FCA, FAS, FOB
* CFR, CIP, CPT, CIP
* DAF, DES, DEQ, DDU, DDP.

2. METODE PEMBAYARAN INTERNATIONAL

* Advance Payment
* Open Account
* Consignment
* Collection
* L/C

3. SHIPMENT ( PENGAPALAN )

* Pengertian dari Shipment
* Pihak- pihak ang terlibat dalam shipment
* Tanggung Jawab & Kewajiban pihak yg terlibat
* Regular line services
* Tramper
* Charter Party

4. TRANPORT DOCUMENTS

* Pengertian
* Bill of Lading ( B/L )
* Master & House B/L
* AWB
* Master & House AWB

5. BILL OF LADING ( B/L )

* Fungsi dari B/L
* Hal – hal yg perlu diperhatikan di dalam B/L
* Cara peralihan / endorsement B/L
* Received For Shipment
* Shipped on Board
* Clean on Board
* Dirty/Foul B/L
* Shipped on Deck

6. DOKUMEN EKSPOR IMPOR

* Dokumen Finansial ( Financial Documents )
* Shipping Documents

* Commercial Invoice
* Packing / Weight List
* Marine Insurance
* Certificate of Origin ( SKA )
* dll

7. PROSEDUR IMPOR

* Pengertian Impor

* Persyaratan Impor
* Kedatangan Barang Impor
* Pembayaran Pajak & Pungutan Negara dalam Rangka Impor

* Nilai Dasar Perhitungan Bea Masuk ( NDPBM )
* Surat Setoran Pabean Cukai & Pajak ( SSPCP )
* Cara perhitungan
o – Bea Masuk
o – Cukai
o – PPN & PPnBM
o – PPH psl 22
* Tata Cara Pembayaran BM, Cukai, PPN, PPnBM dan PPH psl 22

8. PROSEDUR PENGELUARAN BARANG IMPOR

* Dokumen Pemberitahuan
* Penetapan Jalur

* Jalur Merah
* Jalur Hijau
* Jalur Prioritas
o Pengertian
o Kemudahan / Manfaat
o Persyaratan
o Cara Pengajuan / Mendapatkan Jalur Prioritas
* d.Pemeriksaan Pabean
o Pemeriksaan Dokumen
o Pemeriksaan Fisik

9. TATA CARA PENYELESAIAN BARANG IMPOR

* Penyelesaian barang impor melalui jalur merah
* Penyelesaian barang impor melalui jalur hijau
* Penyelesaian barang impor melalui jalur prioritas.

10. PROSEDUR EKSPOR

* Pengertian Ekspor
* Persyaratan Ekspor
* Pengelompokkan Barang Ekspor
* Dasar & Tujuan Pengelompokkan Barang
* Pajak / Pungutan Ekspor
o Dasar & Tujuan Barang dikenakan Pajak Ekspor
o Tata Cara perhitungan pajak ekspor
o Harga Patokan Ekspor ( HPE )

11. PRODUR EKSPOR DENGAN MENGGUNAKAN LETTER OF CREDIT (L/C) DAN TANPA LETTER OF CREDIT (L/C)

* Overview Kebijakan Internasional Tentang L/C, yaitu UCPDC 600
* Negosiasi
* Pihak-pihak Dalam L/C

* Applicant
* Beneficiary
* Issuing / Opening Bank
* Advising Bank
* Negotiating Bank
* Confirming Bank
* Reimbursing Bank

* Pembiayaan Ekspor

* Post Shipment Financing
o Negosiasi WE
o Diskonto WE
o Usance Payable At Sight (UPAS) L/C
o Forfaiting
o Factoring
o Banker’s Acceptance
* Pre Shipment Financing
o Advance Payment
o Red Clause
o KMK Ekspor
o Fasilitas DHE Yang Akan Datang
o Off Shore Loan (Borrowing)

* Jenis-jenis Pembayaran Ekspor

* With L/C
o Advance Payment
o Open Account
o Collection
o Consignment
o Counter Trade
* Without L/C
o Red Clause
o Sight
o Usance

* Jenis-jenis L/C
* Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam L/C
* Mekanisme Transaksi Menggunakan L/C

* L/C Sight
* L/C Usance

* Hal-hal Yang Diperhatikan Dalam L/C
* Contoh / Membaca L/C & Case Study
* Jenis-jenis Dokumen
* Tahap-tahap Negosiasi

12. FASILITAS KEPABEANAN ( CUSTOM FACILITIES )

* Kemudahan Impor Tujuan Ekspor ( KITE )
* Kawasan Berikat
* Gudang Berikat
* Returnable Package
* Jalur Prioritas
* Customs Advice & Valuation Ruling
* Pre Notification
* Truck

Saturday, May 22, 2010

Etnis Tionghoa Pertama Lulusan AKPOL, jadi headline BBC London

Ada kawan-kawan lain yang berminat juga ?




Happy Saputra bersama Heyder Affan


Etnis Tionghoa pertama lulus Akpol


Keputusan Happy Saputra masuk akademi kepolisian tidak direncanakan
Happy Saputra merupakan segelintir warga Indonesia keturunan Tionghoa yang menjadi perwira polisi, sebuah pilihan yang dibentuk oleh sikap keluarganya yang tidak disibukkan oleh sebutan sebagai kelompok minoritas.

"Mama selalu bilang 'kamu beda, tetapi bukan berarti berbeda'," kata Happy Saputra yang lulus dari Sekolah Akademi Kepolisian di Semarang, setahun lalu.

"Dalam arti tak boleh membeda-bedakan diri, walaupun kamu keturunan Tionghoa, tetapi kamu tetap harus berbaur," jelas Happy saat ditemui BBC di asrama Polda Jawa Timur di Surabaya.

Lelaki kelahiran 4 Juli 1984 ini sekarang bertugas di Polres Ponorogo, Jawa Timur, dengan pangkat Inspektur tingkat dua atau Ipda.

Happy lulus cemerlang dari akademi kepolisian sebagai 20 orang lulusan terbaik. Dia sempat pula dipilih mengikuti pertukaran taruna kepolisian ke Korea Selatan dan Jepang.

Namun demikian Happy yang punya nama lain Law Kwan Kwang ini mengaku apa yang dilakoninya sekarang tidak datang dengan tiba-tiba.
Bukan penghinaan

Nasihat sang ibu agar dia berbaur dengan warga mayoritas etnis Betawi di lingkungan tempat tinggalnya di kawasan Kalisari, Jakarta Timur, membuatnya "tidak pilih-pilih teman".
Happy Saputra

Happy menuturkan dia menuruti nasihat ibu agar tidak pilih-pilih teman

"Saya pun berteman dengan tukang ojek (di lingkungan tempat tinggalnya), karena saya suka motor. Sehingga ketika saya dewasa, mereka tahu saya. Mereka bahkan menyebut saya 'Oh itu Si Acong anaknya Soi Song'... Mereka menyebut hal seperti itu bukan untuk menjelekkan, tapi cuma label, karena banyak panggilan saya, seperti Acong, Ahong, Encek, Cokin. Tapi saya senang," jelas Happy seraya tertawa lebar.

Happy tidak setuju jika panggilan seperti itu disebut sebagai bentuk penghinaan.

"Kalau penghinaan, berarti saya akan disakiti. Tapi mereka care (perhatian) dengan saya," tandas Happy, anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Syahrial Efay dan Songgowati Tjoeng ini.

Sikap seperti ini kemudian mengantarnya masuk sekolah menengah atas negeri, yang lebih dari 85% siswanya beragama Islam dan bukan etnis Tionghoa.

Di SMA Negeri 98 ini, Happy kemudian bersahabat dengan teman-teman Muslim. Salah-seorang sahabatnya itulah yang kemudian mendorongnya masuk akademi kepolisian, setelah dia meraih titel sarjana dari Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Bina Nusantara.
Kerusuhan etnis 1998

Pergaulannya yang melampaui latar etnis, juga membuat Happy dan keluarganya tidak begitu khawatir ketika kerusuhan berbau etnis meledak tahun 1998 di sebagian wilayah Jakarta.



Kalau parkir, biasanya mereka memaksa untuk meminta upah lebih. Hal-hal seperti itu membuat saya sedih

Disaat kepanikan timbul melanda kelompok etnisnya, ibunya, Songgowati Tjoeng kembali menjadi sandaran Happy yang saat itu beranjak remaja. Juga teman-temannya secara tulus memberi perlindungan terhadap dirinya.

"Karena sejak kecil bermain dengan mereka, sehingga mereka tahu bahwa keluarga saya tidak seperti di media massa yang menutup diri. Dan terbukti, saat kerusuhan itu, kawasan tempat saya tinggal aman-aman saja," jelasnya.

Kendati demikian, Happy sebagai warga etnis Tionghoa mengaku pernah mengalami perlakuan diskriminatif.

Dia memberi contoh sikap seorang pedagang di sebuah pasar di Jakarta Selatan yang menaikkan harga barang setelah melihat wajahnya. Juga pengalamannya, diperlakukan diskriminatif oleh seorang juru parkir.

"Kalau parkir, biasanya mereka memaksa untuk meminta lebih. Hal-hal seperti itu membuat saya sedih," katanya.

Namun Happy buru-buru kemudian menambahkan. "Tapi kembali lagi, karena konsep saya kuat, ya sudahlah saya anggap ini sebagai cerita 'lain' di Jakarta 'lain' yang harus saya pahami. Saya tak boleh menyamakan (kasus ini) dengan di Kali Besar. Suatu saat nanti saya bisa atasi semua ini," tegasnya.

Dia menambahkan langkah seperti ini juga dia terapkan di lingkungannya. Sebagai minoritas, Happy mengaku tidak mau memakai kacamata kuda dalam melihat sesuatu.

"Dalam arti hanya melihat satu sisi, seolah-seolah semua orang Indonesia sepert itu. Padahal tidak! Nah, kita harus memberitahu mereka bahwa Indonesia tidak seperti itu."
Masuk Akademi Kepolisian

Tiga tahun lalu, kehadiran sosok Happy sebagai salah-seorang dari 300 taruna Akademi Kepolisian di Semarang angkatan 2007, sempat menyedot perhatian. Dia saat itu merupakan satu-satunya yang berlatar dari etnis Tionghoa.

Sebuah laporan media lokal saat itu menyebut kehadiran Happy itu sebagai "peristiwa langka", atau "sebuah keanehan seorang etnis Tionghoa bekerja di sektor pejabat publik".

Laporan-laporan itu menyebut Law Kwan Kwang -nama lain Happy Saputra- sebagai orang Tionghoa Indonesia pertama yang masuk akademi elit kepolisian tersebut.



Padahal menurut Happy, keputusannya masuk akadami kepolisian itu tidak direncanakan jauh-jauh hari. Saat itu dia hampir menyelesaikan masa kuliah strata 1 di Universitas Bina Nusantara.

Adalah seorang sahabatnya yang mendorong agar dia menjadi polisi. Alasannya karena "cara dia bergaul yang berbeda dengan kebanyakan etnis Tionghoa lainnya." Lainnya adalah kemampuannya dalam berbahasa Inggris dan Mandarin.

"Sahabat saya itu mengatakan 'polisi sekarang membutuhkan figur yang berbeda'. Kini menurutnya, polisi butuh pencitraan yang beda. Nggak lagi seperti dulu, berkumis atau berkacamata hitam," ungkapnya.

Walaupun merasa rendah diri, Happy akhirnya mendaftarkan diri. Sempat khawatir karena latar belakang etnisnya, Happy kemudian mampu menepis semua itu.

Dia bersama 300 orang lainnya diterima masuk akademi kepolisian yang dikenal elit itu, dari 12.000 pelamar.

Dia juga patut berbangga karena perekrutan akademi kepolisian tahun 2007 itu "dianggap paling bersih dibandingkan proses rekrutmen tahun-tahun sebelumnya".

"Rekrutmen tahun 2007, segala elemen masyarakat mulai wartawan sampai LSM, boleh melihat sampai ke dalam. Mereka bisa melihat penilaian rekrutmen Akpol. Dan saya tidak terdeteksi sedikitpun bahwa 'ini orang titipan', bahwa 'Happy bayar ke sini untuk masuk Akpol'. Semua tidak terbukti."

Bahkan menurutnya, wartawan sempat mendatangi rumahnya, saat itu. Mereka mengecek kekayaan ibunya, serta meneliti siapa saja yang dikenal ayahnya.

"Ternyata tidak terbukti semua. Inilah yang membuat saya cukup berbangga hati, karena orang tua saya cuma mengeluarkan uang Rp 38.000,00 untuk membeli meterai 3 lembar, serta uang makan," paparnya.

Tahun lalu, Happy lulus dari akademi itu dengan nilai cemerlang bersama 20 taruna lainnya. Dia bahkan sempat mewakili Akpol untuk pertukaran pelajar ke Korea Selatan dan Jepang.
Tips Menghadapi Psikotest


Phsicology Test/Tes Psikologi atau psikotes/psikotest sebagai bagian dalam tahapan penerimaan calon pegawai maupun untuk promosi jabatan. Keunikan dari tes ini adalah pada “ketidakpastiannya”. Mengapa? Karena faktor ini dapat memutarbalikan perhitungan logis potensi seseorang. Psikotes memang merupakan fenomena tersendiri bagi para pelamar kerja maupun yang mau naik promosi jabatan. Penulis juga pernah menghadapi hal serupa, untuk kemudian harus bangkit melalui proses “learning by doing”.

1. Kemampuan Penalaran Analitik
Contoh soal :
Di sini ada perempatan jalan yang saling tegak lurus. Salah satu jalan itu menuju ke kota Semarang. Jika saya menghadap utara, maka jalan yang ke kiri dan belakang saya adalah jalan yang menuju ke tempat lain. Jalan yang tepat di hadapan saya menuju ke Laut Jawa. Jalan mananakah yang menuju Semarang ?
a. Ke utara
b. Ke Timur
c. Ke Barat
d. Jawaban a, b, dan c salah

2. Soal Cerita Matematika
Contoh Soal:
Tomo mengendarai sepeda dalam 5 hari dapat menempuh 426 km. Hari pertama 90 km, hari kedua mencapai 65 km, hari ketiga 110 km dan hari keempat 95 km. Berapakah Km di tempuh pada hari kelima?

Jawab.
Jarak yang ditempuh Tomo pada hari kelima
= 426 km – (90+65+110+95) km
= 426 km – 360 km
= 66 km

3. Soal Penalaran
Contoh soal:
Tidak semua sarjana sastra menguasai bahasa Prancis.
Tidak semua sarjana jurusan Prancis lancar berbicara bahasa Prancis. Semua sarjana sastra lancar berbahasa Indonesia.
Hartini adalah sarjana jurusan Jerman kesimpulan:
a. Hartini lancar berbahasa Jerman
b. Hartini mungkin tidak lancar berbicara berbahasa Rusia
c. Hartini lancar berbahasa Indonesia
d. Hartini tidak mungkin lancar berbicara bahasa Jerman
e. Hartini tidak mungkin tidak lancar berbahasa Jerman

4. Tes Logika Aritmatika. Tes ini terdiri atas deret angka. Yang diukur dalam tes ini adalah kemampuan analisa anda dalam memahami pola-pola/kecenderungan tertentu (dalam wujud deret angka) untuk kemudian memprediksikan hal-hal lain berdasarkan pola tersebut.

Tipsnya:

  • jangan terpaku pada deret hitung atau deret ukur perhitungan matematika saja yaitu jangan terpaku pada 3 -4 angka terdepan dalam deret namun adakalanya anda melihat deret secara keseluruhan karena pola bisa berupa urutan, pengelompokan berurutan maupun pengelompokan loncat.
  • Ingat keterbatasan waktu. Jangan terlalu asyik dan terpaku hanya pada sebuah soal yang penasaran ingin anda pecahkan, lompati ke soal berikutnya karena terkadang soal di bawahnya lebih mudah dipecahkan dibandingkan soal sebelumnya.
  • Anda bisa melatih kemampuan anda ini dari buku-buku tes UMPTN/SPMB untuk materi deret hitung/deret ukur.

Contoh:

- 16 8 4 2 1 1/2 … …

- 45 15 18 6 9 3 … …

-7 – 9 – 12 – 14 – 17 …. ….

A – B – D – G …. ….

5. Tes Logika Penalaran. Tes ini terdiri atas deret gambar baik 2 maupun 3 dimensi. Yang ingin diukur dalam tes ini adalah kemapuan anda dalam memahami pola-pola/kecenderungan tertentu (dalam wujud gambar) untuk kemudian melakukan prediksi berdasarkan pola anda tersebut:

Tipsnya: konsetrasi, hati-hati dan teliti. Karena bentuk-bentuk yang ditawarkan hampir serupa walau tak sama.

Contoh:

LOGIKA

6. Analog Verbal Test. Tes ini terdiri atas 40 soal yang berisi sinonim/antonim/analog suatu kata. Yang diukur dalam tes ini adalah kemampuan logika anda terhadap sebuah kondisi, untuk melihat sejauh mana anda memahami sebab-akibat suatu permasalahan.

Tipsnya: Apabila anda bermasalah dengan konsentrasi dan logika, anda bisa mem-bypass-nya dengan menghafal soal dan jawaban. Karena beberapa kali penulis menghadapi tes in, soal yang diberikan relatif sama.

Contoh:

- wanita : kebaya = pria :

- a. sepatu b. baju c. topi d. jas

- kubus : pyramid = empat persegi :

- a. peti b. mesir c. pentagon d. segitiga

7. Kraeplien/Pauli. Tes ini terdiri atas gugusan angka-angka yang tersusun secara membujur (atas-bawah) dalam bentuk lajur-lajur. Calon pegawai diminta untuk menjumlahkan dua angka yang berdekatan dalam waktu tertentu di setiap kolom dan menuliskan disampingnya. Yang diukur dalam tes ini adalah konsistensi, ketahanan, sikap terhadap tekanan, kemampuan daya penyesuaian diri, ketelitian sekaligus kecepatan dalam mengerjakan suatu pekerjaan.

Tipsnya :

  • Jangan sekalipun menggunakan pensil mekanis dalam tes ini selainkan pensil biasa atau pulpen saja, karena tes ini sangat terikat dengan waktu. Pensil mekanis membutuhkan di-reload ketika ujung granitnya habis, mekanisme ini membutuhkan waktu sekitar 0.5-1 detik. Apabila anda melakukan reload dalam 10 lajur berarti anda telah kehilangan waktu 5-10 detik.
  • Usahakan jumlah angka yang dijumlahkan di masing-masing kolom stabil. Hasilnya akan lebih baik jika dibandingkan anda memaksakan diri di awal tes namun tergopoh-gopoh di pertengahan dan akhir tes. Kendalikan diri anda untuk menghemat tenaga.
  • Jangan sekalipun melakukan cheating terhadap waktu maupun hasil penjumlahan. Hal ini akan merugikan anda sendiri karena justru untuk cheating anda akan membutuhkan waktu sekian detik untuk memutuskan dan itu berarti justru membuang waktu dan memubuat grafik penjumlahan anda tidak alami.
  • Hal yang paling penting dari keseluruhan tes kraeplein adalah konsentrasi. Terkadang anda akan merasa blank padapertengahan tes, namun anda harus bisa bangkit & fokus lagi pada tes. Untuk itu kondisi fisik sangat berpengaruh. Usahakan tidak begadang dan sarapan dahulu sebelum berangkat tes karena model tes ini sangat menyedot energi anda.
    5 8 5 6
    8 6 6 5
    9 7 8 7
    7 9 4 8
    0 9 9 4
    5 5 8 8
    8 6 7 9
    3 7 4 5
    6 4 0 4
    7 6 9 7
    9 3 0 8
    3 8 6 3
    1 6 5 8
    9 5 3 6
    5 7 6 8
    8 8 8 6
    7 9 9 7
    3 7 7 8

8. Wartegg Test. Tes ini terdiri atas 8 kotak yang berisi bentukan-bentukan tertentu seperti titik, garis kurva, 3 garis sejajar, kotak, dua garis saling memotong, dua garis terpisah, tujuh buah titik tersusun melengkung dan garis melengkung. Anda akan diminta menggambar kemudian menuliskan urutan gambar yang telah anda buat, lalu menuliskan nomor gambar mana paling disukai, tidak disukai, sulit dan mudah menurut anda. Yang diukur dalam tes ini adalah emosi, imajinasi, intelektual dan aktifitas subjek. Contoh:

WARTEGG_TEST

Tipsnya adalah:

  • Urutan menggambar sebaiknya anda buat kombinasi antara sesuai nomor dan acak. Misalnya 1,2,3,4 kemudian 8,7,6,5. Karena apabila anda menggambar berdasarkan urutan 1,2,3,4,5,6,7,8 anda dipandang HRD sebagai orang yang kaku/konservatif sedangkan apabila anda menggambar secara acak misalnya 5,7,6,8,3,2,4,1 anda akan dipandang HRD sebagai orang yang terlalu kreatif, inovatif dan cenderung suka akan ‘breaking the low‘.
  • Kalau anda bergender lelaki jangan mulai dengan nomor 5, karena beberapa anggapan menyebutkan hal ini berpengaruh terhadap orientasi seks anda. Berikut ini adalah salah satu contoh pengerjaan yang pernah digunakan penulis untuk melewati tahap psikotes ini:

JAWABAN_WARTEGG_TEST

Tips & Trik Mengerjakan Psikotes Gambar Wartegg


Tes menggambar ini (wartegg) tidak memerlukan kemampuan menggambar, melainkan hal ini hanya suatu cara bagi seorang penguji/psikolog untuk mengetahui kepribadian anda dari cara menggambar dan apa yang anda gambar. Berikut Rahasianya :Tes Wartegg mengharuskan peserta untuk melengkapi gambar yang terdiri dari 8 gambar, 4 diantaranya berupa garis lurus (Gambar III, IV, V, dan VI) dan empat lainnya berupa garis lengkung (Gambar I, II, VII, VIII). Yang perlu anda ingat adalah untuk garis lengkung sebaiknya anda menggambar benda hidup dan untuk garis lurus yang kaku sebaiknya anda menggambar benda mati. Jika anda menggambar terbalik, misal garis lurus digambar dengan bunga, hewan dan sebagainya atau garis lengkung digambar dengan mobil, mesin dan sebagainya, hal ini menandakan “ada yang salah” dengan jiwa atau kepribadian anda.Selanjutnya dari cara menggambar pun bisa kelihatan kepribadian seseorang misal : jika saat mengambar anda terlalu sering menghapus atau kotor menandakan bahwa anda adalah orang yang peragu atau tidak terencana dan jika anda menggambar terlalu kuat untuk garis yang seharusnya lembut berarti anda termasuk orang yang keras kepala.

Apa yang anda gambarpun juga menunjukan kepribadian atau kemampuan IQ anda. Jika anda menggambar sesuatu yang “biasa saja dan umum” tentu penilaian tingkat kecerdasannya akan berbeda dibanding jika anda menggambar “sesuatu yang tidak terpikirkan oleh orang lain dan berwawasan”

Namun demikian, tes psiko hanyalah merupakan suatu alat buatan manusia untuk mengetahui kepribadian seseorang secara umum saja. Kesimpulan yang dihasilkannya boleh jadi berbeda dengan kepribadian yang sesungguhnya. Hal ini diakui oleh para psikolog sendiri bahwa tidak ada satu pun tes di jagad raya ini yang benar-benar akurat dapat menilai kemampuan dan kepribadian seseorang.

Isi dari masing2 gambar :
gbr 1. berupa titik ditengah kotak : ini menyangkut hal2 yg berhubungan dengan penyesuaian diri yaitu bagaimana seseorang menempatkan diri dlm lingkungan
gbr 2. berupa ~ tp berada di kotak sebelah kiri : menunjukkan fleksibilitas perasaan.
gbr 3. berupa 3 garis horisontal dr pendek, sedang tinggi sejajar: mengukur hasrat untuk maju/ ambisi
gbr 4. berupa kotak kecil di sebelah kanan : mengukur bagaimana seseorang mengatasi kesulitan
gbr 5. seperti huruf T tp miring (susah gambarin nya) : mengukur bagaimana cara bertindak.
gbr 6. berupa garis horisontal & vertikal : mengukur cara berpikir / analisa & sintesa
gbr 7. berupa titik2 : menyangkut kehidupan dan perasaan ( apakah sudah stabil, kekanakan)
gbr 8. berupa lengkungan : mengenai kehidupan sosial/ hubungan social

9. Draw A Man Test (DAM). Tes ini mengharuskan anda untuk menggambar sesorang, unuk kemudian anda deskripsikan usia, jenis kelamin dan aktifitas orang tersebut. Tes ini dipergunakan untuk mengatahui tanggung jawab, kepercayaan diri, kestabilan dan ketahanan kerja.

Tipsnya:

  • Gambarlah orang tersebut secara utuh mulai dari ujung kepala sampai ke ujung kaki, termasuk detil muka seperti mata, hidung, mulut dan telinga.
  • Gambarlah orang tersebut dalam keadaan sedang melakukan aktifitas, misalnya pak tani sedang membawa cangkul, eksekutif muda sedang menenteng koper dsb.

10. Army Alpha Intelegence Test. Tes ini terdiri atas 12 soal yang berisi kombinasi deretan angka dan deretan bentuk. Soal satu soal kadang terkait dengan soal sebelumya. Yang diukur dalam tes ini adalah kemampuan daya tangkap Anda dalam menerima dan melaksanakan instruksi dengan cepat dan tepat.

Tipsnya : konsentrasilah kepada apa yang dikatakan narator, karena narator tidak akan mengulang instruksi tersebut dan waktu yang diberikan sangat terbatas. Sabar, jangan terburu menjawab, sebelum narator selesai memberikan instruksi.

Contoh:

Narator akan mediktekan soal sebagai berikut : “Coretlah angka ganjil dalam kotak dan coretlah angka genap yang berhuruf dalam lingkaran, kerjakan!” dan pada lembar jawaban akan diberikan gambar sebagai berikut:

ARMY_ALPHA_INTELEGENCE

11. Menggambar Pohon. Tes ini terdiri atas tugas untuk menggambar pohon dengan kriteria : berkambium (dicotyl), bercabang dan berbuah. Sehingga tidak diperbolehkan kepada anda menggambar pohon jenis bambu, pisang, semak belukar ataupun jenis tanaman monocotyl lainnya.

Tipsnya :

  • Pada setiap tes menggambar pohon yang pernah dilalui, penulis selalu menggambar pohon nangka. Karena pohon tersebut mewakili jenis tanaman dicotyl / berkambium.
  • Walaupun anda tidak begitu pandai dalam hal menggambar, usahakan menggambar secara detil dan rinci setiap komponen dari pohon tersebut seperti tangkai, bentuk daun, kerapatan daun, buah, akar bahkan alur pohon.
  • Untuk hasil yang lebih maksimal, fotolah pohon tersebut, pelajari karakter jenis pohonnya, kemudian latihlah kemampuan menggambar anda dengan mengacu pada foto tersebut.

12. Edwards Personal Preference Schedule (EPPS). Tes ini terdiri atas pilihan-pilhan jawaban yang paling mencerminkan diri anda. Tes ini dipergunakan untuk mengetahui seberapa besar motivasi, kebutuhan dan motif seseorang.

Tipsnya:

  • Jawablah setiap pertanyaan dengan jujur sesuai dengan kondisi anda, setidaknya yang paling mendekati, karena pertanyaan akan berulang di nomor-nomor berikutnya, sehingga apabila jawaban anda tidak sinkron, hal ini akan merugikan Anda. Kejujuran anda terkait dengan cerminan kesesuaian diri anda terhadap lowongan pekerjaan yang anda lamar.
  • Secara keseluruhan, tes EPPS ini memang paling sulit untuk di-adjustment (diakali), namun setidaknya ada beberapa pertanyaan yang bisa di-adjustment untuk disesuaikan dengan lowongan pekerjaan yang anda pilihan. Misalnya ketika anda melamar menjadi pegawai Bank, pilihlah jawaban-jawaban yang mencerminkan kejujuran, keteraturan, kedisiplinan dan mampu bekerja dalam teamwork.
  • Karena sulitnya proses adjusment tehadap tes ini, jalan paling praktis yang dapat ditempuh adalah memperbaiki diri (self improvement) anda dalam segala hal, setup diri anda menjadi seakan-akan seseorang profesional dalam setiap tingkah laku keseharian anda seperti: jujur, tepat janji, tanggung jawab dan disiplin. Karena cerminan pola pikir dan tingkah laku positif diri anda, akan tertuang tanpa anda sadari dalam hasil tes.

Contoh Soalnya:

- A. Saya suka memuji orang yang saya kagumi

- B. Saya ingin merasa bebas untuk melakukan apa saja yang saya kehendaki

- A. Saya merasa bahwa dalam banyak hal saya kalah dibandingkan orang lain

- B. Saya suka mengelakkan tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban

13. Learning By Doing. Pengalaman memang guru yang paling baik. Lakukan perbaikan-perbaikan secara continue baik terhadap diri anda maupun terhadap kemampuan anda, di setiap psikotes yang anda hadapi. Misalnya seperti : melatih diri terhadap kesalahan/kesulitan yang dihadapi pada psikotes sebelumnya, membaca kembali materi psikotes secara keseluruhan semalam sebelum menghadapi psikotes (refreshment) dan mempersiapkan fisik sebaik-baiknya karena pada dasarnya psikotes akan selalu Anda kerjakan dalam keadaan tegang dan tekanan. Karena dengan mekanisme tersebut, psikotes bukan meruapakan momok yang harus anda hindari, namun anda akan lambat laun berteman dan akrab dengan psikotes.


Thursday, May 20, 2010

Patriot Mohammad Hatta

bung-hatta

“…Hujan air mata saat dari pelosok negeri saat melepas engkau pergi. Berjuta kepala tertunduk haru, …”

Itu adalah cuplikan lagu Bung Hatta karya Iwan Fals ketika sang proklamator ini pergi. Berikut ini adalah kisah perjalanan salah seorang putra terbaik bangsa kita, seorang proklamator, seorang yang sangat peduli pada negara ini, seorang nasionalis sejati.

Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Bung Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya. Bung Hatta memiliki enam saudara perempuan. Beliau adalah anak laki-laki satu-satunya.

Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, dan Jong Ambon. Bung Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.

Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, beliau menyadari pentingnya arti keuangan bagi kehidupan perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar jika para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.

Masa Studi di Negeri Belanda
Pada tahun 1921 Bung Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Beliau mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Bung Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antar anggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta lulus dalam ujian Handels Economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula beliau bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 beliau non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Bung Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.

Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Bung Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul “Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen“-Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Beliau mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.

Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa.

PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.

Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama “Indonesia”, Bung Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intenasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, “Indonesia” secara resmi diakui oleh kongres. Nama “Indonesia” untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.

Bung Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Bung Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.

Pada tahun 1927 itu pula, Bung Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi “Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan” di Gland, Swiss. Judul ceramah Bung Hatta L ‘Indonesie et son Probleme de I’ Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).

Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Bung Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama “Indonesia Vrij”, dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.

Antara tahun 1930-1931, Bung Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra’jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.

Kembali ke Tanah Air
Pada bulan Juli 1932, Bung Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Bung Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.

Reaksi Bung Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul “Soekarno Ditahan” (10 Agustus 1933), “Tragedi Soekarno” (30 Nopember 1933), dan “Sikap Pemimpin” (10 Desember 1933).

Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Bung Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.

Masa Pembuangan
Pada bulan Januari 1935, Bung Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Bung Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.

Dalam pembuangan, Bung Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Bung Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, “Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan” dan “Alam Pikiran Yunani.” (empat jilid).

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Bung Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.

Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Bung Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Bung Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.

Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Beliau mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali.”

Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.

Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Bung Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Bung Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Bung Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.

Soekarno mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh.

Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama Bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.

Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.

Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.

Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.

Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soedirman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.

Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.

Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.

Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).

Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 beliau akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.

Pada tangal 27 Nopember 1956, beliau memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.

Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.

Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis “Demokrasi Kita” dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.

Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.

Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu: Meutia Farida, Gemala Rabi’ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.

Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi “Bintang Republik Indonesia Kelas I” pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.

Kuliah umum Prof. DR Boediono di Universitas Gadjah Mada, 3 Mei 2010: Membangun Demokrasi di Indonesia

Dua belas tahun lalu kita memutuskan untuk membangun demokrasi di tanah air kita. Tahun 1998 itu berarti lebih dari setengah abad setelah bangsa kita membebaskan diri dari penjajahan. Tekad kita adalah membangun masyarakat yang berdasarkan keadilan dan kemerdekaan. Saya akan membuka uraian saya dengan mendalami makna tiga kata kunci ini: demokrasi, keadilan dan kemerdekaan. Selanjutnya saya akan mengajak hadirin sejenak mengingat kembali perjalanan bangsa kita dalam mewujudkan ketiga hal itu. Saya akan tutup uraian saya dengan beberapa catatan mengenai masalah-masalah yang sering dihadapi negara-negara berkembang dalam membangun demokrasi, yang relevan bagi bangsa kita dalam membangun demokrasi.

Keadilan dan kemerdekaan adalah cita-cita yang tidak dapat dipisahkan dari agenda politik ke masa depan, yang berupa sebuah masyarakat yang demokratis. Artinya, sebuah masyarakat yang senantiasa berusaha membangun persamaan hak bagi warganya. Seperti dicita-citakan para perintis kemerdekaan dan pendiri Republik kita, persamaan hak itu bukan hanya akan dihormati secara formal. Kesetaraan itu juga didukung oleh kondisi ekonomi dan sosial yang merata, tidak timpang.

Kita tahu, sejarah demokrasi dimulai dengan kehendak membuka ruang bagi berperannya anggota masyarakat yang “di bawah” dalam strata sosial. Mereka yang “di bawah” itu terdiri dari yang lemah, yang dipinggirkan, dan diabaikan. Dalam sejarahnya, seperti di dalam sejarah politik Eropa, demokrasi pernah mengalami distorsi, yaitu ketika hanya mereka yang secara sosial-ekonomi mampu saja yang mendapatkan hak-hak kewarganegaraan. Atau, hanya mereka yang dengan latar belakang etnis tertentu saja yang boleh ikut serta dalam percaturan, khususnya percaturan politik, sosial dan ekonomi.

Syukurlah, manusia mempunyai kesanggupan mengoreksi kesalahannya sendiri. Berangsur-angsur, kesempatan partisipasi semakin terbuka. Sejak kurang-lebih 200 tahun yang lalu, di Eropa, kaum buruh dan kaum perempuan mulai mendapatkan tempat yang mulanya hanya dimonopoli oleh kaum laki-laki dan kaum yang berpunya. Di Amerika Serikat, setelah berjuang ratusan tahun, semenjak tahun 1970-an, orang-orang hitam juga berhasil merebut hak asasi mereka.

Ini tidak berarti bahwa dengan perbaikan itu, tatanan demokrasi, juga di Eropa dan Amerika, sudah sempurna. Di hari-hari ini, perlakuan terhadap imigran dari Meksiko di Arizona, Amerika Serikat, dan terhadap minoritas Muslim di beberapa tempat di Eropa, masih dianggap sebagai belum meratanya penghormatan terhadap hak-hak asasi secara universal.

Melihat perkembangan dalam sejarah demokrasi yang seperti itu, ada dua hal yang dapat kita simpulkan.

Pertama , bahwa sistem demokrasi bukanlah sistem yang menjamin terciptanya masyarakat yang sempurna. Demokrasi adalah justru sebuah sistem yang mengasumsikan bahwa masyarakat selamanya tidak sempurna, karena itulah kodrat kehidupan dunia. Tetapi dalam ketidak-sempurnaannya, dengan demokrasi, masyarakat dapat diperbaiki terus menerus.

Kedua , bahwa hubungan antara keadilan dan kemerdekaan adalah hubungan yang kompleks: kadang-kadang tampak saling bertentangan, kadang-kadang saling mendukung. Tetapi kedua-duanya tak dapat ditanggalkan dari proses perjuangan sebuah masyarakat untuk meningkatkan martabat kehidupannya.

Itulah sebabnya dalam Pancasila, kita menemukan asas yang menegaskan keadilan sosial dan juga asas kedaulatan rakyat dan asas yang menegaskan hak-hak kemanusiaan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia di pertengahan tahun 1945, para pendiri Republik berembug, berdebat, dan dalam percaturan pendapat mereka muncul kearifan, bahwa kita tidak dapat menjadikan kemerdekaan atau hak-hak asasi sebagai satu-satunya sendi masyarakat, sementara keadilan diabaikan.

Kemerdekaan memang membuka kesempatan seluas-seluasnya untuk tiap-tiap warga negara mengembangkan diri, berinisiatif, berwirausaha, berkompetisi, dan mencapai prestasi. Kemajuan Eropa yang luar biasa terjadi -- yang juga diakui oleh Karl Marx sendiri – disebabkan oleh adanya individu atau lapisan sosial dalam masyarakat yang berhasil memanfaatkan kemerdekaan itu, dengan cara bersaing. Tetapi hasil persaingan itu tidak jarang menyebabkan sebagian, malah sebagian besar, orang tidak mendapatkan tempat. Bahkan mereka kehilangan hak bersuara.

Dalam keadaan itu, kemerdekaan hanya berlaku bagi sebagian kecil manusia saja. Pertukaran ide-ide di dalam arena publik terbatas. Maka menjadi sempitlah kemungkinan untuk banyak ragam melihat cacat masyarakat itu sendiri. Kemerdekaan tanpa keadilan akan mengerdilkan dirinya sendiri.

Demikian pula sebaliknya. Keadilan tidak mungkin menjadi satu-satunya asas dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Contoh yang dapat dijadikan contoh. Di negeri-negeri komunis, dengan semangat egaliter, semangat sama rata sama rasa, kemerdekaan ditangguhkan. Kemudian terbukti, tidak ada lagi kemerdekaan warga negara untuk menyatakan pendapat. Maka terjadilah penyelewengan, sehingga keadilan sosial itu sendiri jadi korban. Ingat, perlawanan kaum buruh yang menuntut hak-hak asasi di Polandia lahir setelah mereka bertahun-tahun hidup dalam sebuah kediktaturan. Bagi para buruh ini, kemerdekaan tak boleh ditiadakan untuk keadilan.

Dari paparan di atas saya harap kita dapat memetik kearifan para perintis Republik kita dan pengalaman sejarah sejak awal abad ke-20 sampai dengan sekarang.

Hadirin yang terhormat.

Dengan berbekal itu semua, dalam tugas saya sekarang saya, dengan segala kerendahan hati bermaksud ikut meneruskan usaha pembangunan demokrasi di negeri kita – sebagai cara untuk meneruskan cita-cita pendiri Republik dan para pejuang Reformasi.

Sejauh ini, Alhamdulillah, dunia mengapresiasi Indonesia sebagai contoh demokratisasi yang sukses, paling tidak sampai saat ini. Memang pernah ada keraguan, bisakah demokrasi ini akan bertahan terus di Indonesia. Dalam bukunya The Future of Freedom, yang ditulis sebelum tahun 2003, Fareed Zakaria mengatakan, mustahil bagi Indonesia untuk mencoba demokratisasi ketika rakyatnya masih hidup dengan pendapatan per kapita yang rendah, yaitu sekitar $ 2.600. Zakaria meramalkan, eksperimen demokrasi Indonesia hanya akan berumur sekitar 18 tahun.

Pendapat seperti itu tidak sepenuhnya tepat. Pertama , ada negara seperti India yang bukan termasuk negeri kaya, tetapi sistem demokrasinya bertahan sampai sekarang, meskipun ada interupsi dan kekurangan di dalamnya. Kedua , bukan tidak mungkin bahwa selama pemerintahan demokratis seperti Indonesia sekarang, pertumbuhan ekonomi akan dapat mengangkat pendapatan per kapita itu lebih tinggi lagi. Ketiga , kelanjutan atau terputusnya hidup sebuah sistem politik tidak pernah semata-mata ditentukan oleh kondisi sosial-ekonomi. Yang tidak kalah penting adalah peran para pelaku politik dengan cita-cita dan tekad mereka untuk melanjutkan atau menghentikan sistem demokrasi.

Seperti saya katakan di atas, sistem demokrasi bukanlah sistem yang menjamin terciptanya masyarakat yang sempurna. Demokrasi, hanyalah sistem yang lebih baik bila dibandingkan dengan sistem lain yang pernah dicoba manusia. Seperti kata-kata Winston Churchill yang terkenal: “It has been said that democracy is the worst form of government except all the others that have been tried.” Dalam ketidak-sempurnaan dirinya, ada sesuatu yang bisa diandalkan pada demokrasi. “Sesuatu” itu adalah kemampuan adaptifnya dan oleh karena itu (mengikuti Charles Darwin) kemampuan survivalnya. Terutama dengan media yang bebas, terutama juga dengan pemilihan umum, tersedia peralatan dan metode korektif untuk memperbaiki apa yang kurang dan cacat dengan cara damai dan teratur.

Yang perlu kita ingat, membangun demokrasi adalah jalan yang panjang, bahkan sangat panjang. Dan jalan itu tidak akan selalu mulus dan penuh risiko. Sekarang ini kita sudah berada di tahap awal. Tetapi kita sadar, awal yang baik tidak menjamin akhir yang baik. Sejarah penuh dengan contoh bangsa-bangsa yang pada mulanya nampak berhasil memulai demokrasi tapi kemudian kehilangan momentum atau salah arah. Awal yang baik hanyalah sekadar awal yang baik. Selanjutnya tergantung bagaimana kita, khususnya elite politik kita, membawa perjalanan bangsa kita.

Berdasarkan pengalaman Indonesia sendiri, upaya membangun demokrasi yang kita lakukan sekarang ini adalah yang kedua sejak kemerdekaan. Yang pertama antara 1945 sampai dengan 1958, antara Proklamasi 17 Agustus sampai diberlakukannya “Demokrasi Terpimpin” (bersama “Ekonomi Terpimpin”).

Masa demokrasi itu, yang sering disebut sebagai masa “demokrasi liberal” atau “masa demokrasi konstitutional,” kita menemukan hak-hak warga negara untuk membentuk organisasi sosial politik. Kita juga mempunyai pers yang bebas, artinya tidak ada keharusan mempunyai surat izin terbit dan sensor. Di tahun 1955, sebuah pemilihan umum yang bebas dan rahasia – yang pertama kalinya dalam sejarah Indonesia – diselenggarakan dengan sukses.

Tetapi sayangnya dalam masa ini pula, stabilitas pemerintahan praktis tidak ada. Dengan menggunakan sistem parlementer yang seperti di negeri-negeri Eropa, dan karena tidak ada partai yang dominan seperti Partai Kongres di India, kabinet dengan mudah dijatuhkan. Praktis tidak ada Perdana Menteri yang mengurus negara yang dapat bertahan lebih dari setahun.

Akibatnya hampir tidak ada program perbaikan ekonomi yang berjalan konsisten. Keadaan perekonomian, terutama disebabkan buruknya prasarana terus merosot. Dan ia punya akibat yang serius. Banyak daerah di Indonesia yang telantar. Masyarakat di daerah, notabene yang merupakan penyumbang terbesar devisa, tidak menikmati hasil pertumbuhan ekonomi, meskipun dewasa itu di Asia berlangsung apa yang disebut “Korean Boom”, yakni kenaikan harga-harga komoditi ekspor dan pertumbuhan ekonomi yang terkait dengan kebutuhan akibat berlangsungnya Perang Korea di awal tahun 1950-an.

Keadaan itulah yang menjadi dasar bagi apa yang kemudian disebut sebagai “pemberontakan daerah”, yang dimulai di Sumatra dengan “PRRI” dan di Sulawesi dengan “Permesta”.

Pergolakan yang diakhiri dengan jalan perang ini tentu tidak dapat dilepaskan dari suasana Perang Dingin antara Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya dalam menghadapi “Blok Komunis” yang dipimpin Uni Soviet dan RRC. Bahkan terbukti ada campur tangan CIA dalam aksi-aksi militer dari daerah. Meskipun demikian, sebenarnya semua itu bukanlah pemberontakan untuk memisahkan diri dari Indonesia, melainkan lebih sebagai pernyataan ketidak-puasan beberapa tokoh militer di daerah terhadap kebijakan pusat. Tetapi di dalamnya dipakai alasan yang kuat bahwa daerah-daerah itu tidak mendapatkan perhatian yang pantas.

Jalin-menjalinnya pemberontakan daerah dengan konflik-konflik di kalangan partai politik itu menimbulkan perasaan yang meluas bahwa Indonesia sedang terpecah-belah. Pemilihan Umum yang berhasil di tahun 1955 ternyata tidak memenuhi harapan untuk menghasilkan pemerintahan yang stabil dan demokrasi yang mampu membangun dengan baik. Dalam sidang-sidang dewan perumus konsitusi, yang disebut “Konstituante”, berlangsung perdebatan yang alot untuk menentukan apakah dasar negara Indonesia itu “Pancasila” atau “Islam”. Situasi benturan di bidang paham-paham dasar ini, yang disebut “konflik ideologis”, sangat melelahkan bangsa dan menimbulkan krisis kepercayaan yang serius terhadap partai-partai politik.

Sementara itu, pengaruh Perang Dingin di dunia ikut merasuk ke dalam kehidupan politik nasional. Karena suasana itu, elite politik Indonesia yang dominan semakin ingin menjauhi apa saja yang berbau “Barat”, dengan akibat bahwa lembaga-lembaga demokrasi yang dianggap dicangkok dari “Barat” harus dibuang.

Maka, di tahun 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan sebuah dekrit, yang disebut “Dekrit 5 Juli”. Dengan dekrit ini, diharapkan friksi-friksi politik yang ada dapat ditiadakan, dan Indonesia kembali ke persatuan nasional yang kuat. Suasana kembalinya semangat “Revolusi 1945” hendak dibangun kembali. UUD 1945 dihidupkan kembali dan UUD 1950 (yang mencantumkan jaminan bagi hak-hak asasi manusia) dicabut. Langkah ini didahului dengan pernyataan keadaan darurat perang (SOB), di mana peran militer menjadi sangat penting di segala segi kehidupan.

Sesuai dengan itu, “demokrasi parlementer” yang dianggap “Barat” dibuang dan digantikan “demokrasi terpimpin”. Lembaga kontitusi dan DPR hasil pilihan rakyat dibubarkan. Beberapa partai dilarang. Pers diharuskan mempunyai surat ijin terbit dan surat ijin cetak. Asas Trias Politica – pemisahan yang tegas antara eksekutif, yudikatif dan legislatif – dihapuskan.

Sementara itu, pada waktu itu pula, “Konfrontasi” terhadap pembentukan Malaysia yang didukung Inggris dilancarkan. Indonesia mempersiapkan perang. Pembelian senjata secara besar-besaran dilakukan ke negeri-negeri sosialis.

Keadaan ini berlangsung sampai 1965. Semangat revolusi dan nasionalisme memang berapi-api. Nama Indonesia terdengar gaungnya di dunia internasional, terutama ketika Indonesia memutuskan untuk keluar dari PBB dan menyaingi Olimpiade dengan menyelenggarakan pesta olahraga internasional yang disebut “Games of the New Emerging Forces” (Ganefo). Tetapi di dalam negeri, keadaan ekonomi semakin memprihatinkan.

Sistem “ekonomi terpimpin” yang hendak menerapkan sosialisme – sebagai konfrontasi dengan ekonomi “Barat” yang kapitalistis – memang bermaksud meniru kemajuan negeri sosialis dalam mengejar ketertinggalan dari Barat. Indonesia memperkenalkan “Pembangunan Berencana”. Perusahaan asing di bidang perkebunan, pertambangan dan transportasi diambil alih oleh Negara.

Namun dalam prakteknya, pengendalian proses produksi dan distribusi itu berada di tangan para birokrat. Sumber-sumber ekonomi yang vital dikelola oleh orang-orang yang tidak digerakkan oleh persaingan dan motif ekonomi, dan juga tidak selamanya mempunyai kemampuan yang diperlukan. Menumpukkan kekuasaan para birokrat dalam kehidupan ekonomi inilah yang menjadi sumber salah urus dan korupsi, sebuah masalah yang menghantui Indonesia sampai beberapa puluh tahun kemudian, bahkan sampai hari ini.

Sementara itu, persatuan nasional yang mula-mula tampak mengesankan selama tahun-tahun awal “demokrasi terpimpin” tidak bertahan lama. Seperti kita ketahui, dalam kehidupan politik, persaingan untuk mendapatkan kekuasaan adalah sebuah dinamika yang lumrah.

Di masa “demokrasi terpimpin”, persaingan itu tidak menemukan cara pengelolaan yang melembaga. Kekuasaan terpusat pada pribadi Presiden. Tidak ada tanda-tanda akan diadakan pemilihan umum, sebagai cara untuk menyalurkan kompetisi guna menentukan kepemimpinan politik.

Sebagai akibatnya, kekuatan-kekuatan politik yang ada bersiap mendapatkan kekuasaan bukan melalui proses elektoral, melainkan dengan mobilisasi massa. Bahkan tampak persiapan untuk menggunakan jalan kekerasan. Apalagi persaingan ini juga diwarnai oleh persengketaan di bidang pemilikan tanah, yang sering disebut sebagai “aksi sepihak” oleh petani yang didukung oleh PKI. Sementara itu, makin lama konflik makin berkembang jadi ketegangan antara ABRI dan PKI.

Di tahun 1965, meledaklah kekerasan yang sangat mengerikan dan paling berdarah dalam sejarah Indonesia modern. Suatu penggal sejarah bangsa yang kita berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT agar tidak akan terulang lagi.

“Demokrasi Terpimpin” ternyata gagal membangun sebuah cara mengelola persaingan dan konflik politik secara teratur dan damai. “Ekonomi Terpimpin” juga gagal membuat Indonesia maju pesat secara ekonomi. Yang terjadi justru sebaliknya - kemacetan di mana-mana karena kontrol birokrasi yang berlebih-lebihan.

“Orde Baru” yang menggantikan “demokrasi terpimpin” merupakan transformasi besar dari kehidupan politik sebelumnya. Pemerintahan Presiden Suharto sejak mula bertekad membalikkan keadaan ekonomi yang parah di masa “ekonomi terpimpin”. Modal asing yang diusir dari Indonesia diundang kembali. Usaha-usaha mengembalikan kekuatan pasar terus dilakukan, meskipun jumlah perusahaan-perusahaan yang dikuasai Negara tidak berkurang dan malah meningkat. Indonesia masuk kembali ke PBB dan “Konfrontasi” dengan Malaysia dihentikan; bahkan dibangunlah kerja sama ASEAN. Dengan demikian, segala dana dan daya untuk peningkatan kekuatan militer dan biaya perang dapat dialihkan untuk ikhtiar nasional lain.

“Orde Baru” berhasil membangun ekonomi Indonesia ke tingkat yang belum pernah tercapai oleh sistem demokrasi sebelumnya. Walaupun demikian, “demokrasi”-nya mempunyai ciri yang tidak jauh berbeda dengan “demokrasi terpimpin”. Bahkan mempunyai sistem pengawasan yang ketat. Pers dan media massa tetap memerlukan surat izin untuk terbit – yang sewaktu-waktu dapat dicabut. Partai-partai politik dikendalikan Pemerintah, baik dalam memilih nama, lambang maupun kepengurusan. Tidak boleh ada partai yang didirikan selain yang sudah ditentukan. UUD 1945 yang diperkenalkan kembali oleh “demokrasi terpimpin” diteruskan. Ciri UUD ini adalah dipusatkannya kekuasaan yang luar biasa besar di tangan eksekutif, khususnya Presiden.

Berangsur-angsur, seperti halnya “demokrasi terpimpin”, juga “demokrasi Pancasila” dari Orde Baru semakin tergantung kepada diri Presiden. Kita ingat bahwa di dalam kedua demokrasi itu, tidak ada batas waktu bagi pemegang jabatan ini. Sistem pemerintahan Orde Baru yang semula oleh sejumlah pengamat disebut sebagai kekuasaan “otoriter birokratik” makin lama makin menjadi kekuasaan otokratik, yang ditentukan oleh satu orang.

Bila sebuah sistem hampir sepenuhnya tergantung kepada seorang tokoh, betapapun besar dan kuatnya tokoh itu, sistem itu akan lebih labil dan lebih mudah ambruk dibandingkan dengan sistem yang dibangun dengan institusi politik dan hukum yang efektif.

Kelemahan pola otokratik ini juga terletak di tempat lain. Merupakan ucapan yang sudah jadi klise, tetapi tetap benar, bahwa “power corrupts, and absolute power corrupts absolutely”. Belum lepas dari ingatan kita bahwa di masa Orde Baru, terutama di masa lanjutnya, berkembang apa yang kemudian dikenal sebagai “KKN”, kroniisme, koncoisme, dan nepotisme. Dalam KKN, tidak akan ada keadilan. Dan itu yang menyebabkan Orde Baru, yang tidak menjadikan dirinya sebuah sistem yang bekerja secara “fair”, tidak berat sebelah, tidak bisa bertahan, meskipun kinerja di bidang ekonomi bagus.

Di tahun 1998, gerakan Reformasi berhasil mengubah secara mendasar kehidupan politik kita. Dengan Reformasi, lahirlah sebuah demokrasi yang lahir dari pengalaman pahit masa lalu dan meneruskan semangat pendiri Republik Indonesia. Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dibatasi, peran dan posisi DPR menjadi bebas, dan hak-hak asasi manusia dicantumkan dengan jelas dalam UUD.

Sejak masa pemerintahan Presiden Habibie, terbukalah kembali kehidupan politik dan media, dan kemerdekaan pun meluas. Hal ini dilanjutkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, terutama dalam mengakui kembali hak-hak warga negara mereka yang selama ini tersisih dan terasing; bukan tanpa alasan Gus Dur oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disebut dengan hormat sebagai “bapak pluralisme”. Presiden Megawati tidak kalah berjasa dalam merawat demokrasi yang diteruskan hingga hari ini oleh Presiden SBY.

Hadiri yang terhormat.

Itulah sekilas sejarah perjalanan bangsa kita, perjalanan yang sarat dengan pelajaran, apabila kita mau menariknya. Dalam uraian berikut ini saya ingin melengkapinya dengan beberapa catatan yang diambil dari pengalaman negara-negara lain, khususnya negara-negara berkembang, yang sedang mengkonsolidasi demokrasinya. Saya uraikan satu persatu.

Yang pertama, sejarah mencatat tidak sedikit demokrasi yang gagal karena tidak dapat memberikan manfaat nyata kepada rakyat. Yang paling nyata dan paling mendasar adalah manfaat ekonomi berupa peningkatan kesejahteraan yang dirasakan merata.

Tentu saja ada pula yang disebabkan oleh faktor-faktor lain, misalnya masalah keamanan yang berlarut dan apa yang disebut kekerasan bukan oleh Negara (non-state violence) termasuk kriminalitas yang lepas kendali. Ada juga sebab lain yang tak kalah penting, yakni korupsi yang menggerogoti dari dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat yang sehat. Dalam kenyataan faktor-faktor penyebab ini saling berinteraksi dan saling memperkuat.

Inilah beberapa contoh. Dalam sejarah demokrasi Jerman, Republik Weimar (1919 – 1933), yang dirundung pengangguran dan hiperinflasi, akhirnya membuka peluang bagi datangnya gerakan Nazi dan kediktaturan Adolf Hitler. Dalam akhir abad ke-20, sejak 1989 Venezuela yang kaya minyak mengalami krisis ekonomi karena salah kelola dan korupsi yang merajalela; kemudian terjadilah kudeta militer pada 1992. Di masa yang hampir sama, di Peru, juga karena salah kelola dan korupsi, terjadi pemiskinan dan hiperinflasi; keadaan ini memperbesar gerakan Sendero Luminoso “Shining Path” yang melawan pemerintah dan menyebabkan akhirnya demokrasi dibekukan.

Dari pengalaman perjalanan itu dengan segera dapat dilihat bahwa gagalnya demokrasi adalah karena gagal pula terbentuk pemerintahan yang efektif yang dapat menghasilkan manfaat nyata bagi rakyat banyak. Manfaat itu berupa perbaikan kesejahteraan, rasa keadilan dan rasa aman. Atau, seperti saya kemukakan di atas, jaminan atas proses menuju keadilan dan kemerdekaan. Tanpa pemerintahan yang efektif, demokrasi sulit untuk memberikan hasil nyata yang didambakan rakyat. Tanpa hasil nyata, demokrasi akan kehilangan legitimasinya.

Pemerintahan yang efektif adalah kuncinya. Pemerintahan yang efektif dapat terbangun bila ada tiga unsur.
Pertama , suasana politik yang stabil. Kedua , ada birokrasi pemerintahan yang berjalan baik. Ketiga , ada kebijakan dasar yang rasional dan realisitis, dan didukung oleh rakyat, untuk menyusun langkah-langkah di bidang pembangunan sosial dan ekonomi.

Marilah kita cermati unsur yang pertama. Kestabilan politik dalam demokrasi, apalagi demokrasi yang sedang dalam tahap konsolidasi, bukanlah persoalan yang mudah. Tetapi seperti pengalaman sejarah kita sendiri, ide tentang kestabilan politik harus selalu mengasumsikan bahwa tidak ada masyarakat yang tanpa konflik dan perbedaan. Seperti dikatakan oleh pepatah kita “kepala sama berbulu, pendapat berlainan”.

Maka yang diperlukan bukanlah meniadakan atau melakukan tiindakan represif terhadap perbedaan pendapat; yang juga harus dihindarkan ialah menganggap konflik sebagai sekedar anomali. Dari sinilah kita harus mencari cara mengelola agar perbedaan dan konflik itu tidak berkembang menjadi destruktif.

Untuk mencegah kemungkinan yang negatif itu diperlukan tatanan hukum yang menjaga perasaan adil, dalam arti ditegakkan dengan benar, tidak diskriminatif dan terbuka bagi siapa saja.

Juga diperlukan lembaga dan proses politik yang dapat menyalurkan dengan leluasa kepentingan dan aspirasi yang berbeda-beda secara damai dan reguler.

Tidak kalah penting adalah adanya media yang bebas, yang dapat menyampaikan informasi tanpa distorsi, informasi yang tidak dikendalikan kekuasaan politik ataupun uang.

Last but not least perlunya pembangunan ekonomi yang melecut pertumbuhan tanpa mengabaikan asas pemerataan atau “keadilan redistributif”.

Untuk membangun itu semua, kita mau tak mau harus mengembangkan kepemimpinan (atau yang sering disebut sebagai “elite politik”) yang mempunyai setidak-tidaknya konsensus dan komitmen minimal dalam hal-hal pokok bernegara dan bermasyarakat.

Bagi Indonesia, konsensus itu menurut hemat saya didasari setidaknya empat komitmen:

Pertama , komitmen kepada Indonesia, sebagai satu tanahair -- dan satu-satunya tanahair -- yang merupakan amanah Tuhan yang diberikan kepada kita melalui sejarah.

Kedua , komitmen kepada Pancasila, bukan sebagai doktrin yang beku, melainkan sebagai semangat untuk mensyukuri dan menjaga kebhinekaan Indonesia. Dengan semangat itu ada tekad untuk mengelola perbedaan asal usul suku, etnis, agama, kebudayaan – juga bidang pekerjaan atau lapisan sosial -- tanpa kekerasan atau represi.

Ketiga , komitmen kepada demokrasi sebagai sistem yang menjamin, melaksanakan, dan menumbuhkan partisipasi rakyat banyak, termasuk mereka yang disisihkan atau dipinggirkan, untuk mengembangkan keadilan bersama dengan kemerdekaan.

Keempat , komitmen untuk meletakkan Indonesia dalam tata dunia yang lebih damai dan lebih adil. Perkuat tekad untuk tidak melibatkan Indonesia ke dalam pertikaian bersenjata, untuk menentang penggunaan senjata pemusnah massal, untuk menumbuhkan keadaan di mana tidak ada negara superkuat yang dapat menganggap dirinya di luar aturan bersama internasional, dan untuk mengembangkan penghormatan yang layak bagi hak-hak asasi manusia serta ke-bhineka-tunggal-ika-an dunia.

Keempat komitmen itu, untuk membangun konsensus nasional, tidak akan memerlukan usaha yang berlebih-lebihan. Sebab keempatnya bukan saja merupakan legacy atau peninggalan dari para perintis dan pendiri Republik. Keempatnya juga merupakan jawaban terhadap tantangan dan kenyataan yang membentuk Indonesia dewasa ini.


Hadirin yang terhormat.

Sekarang izinkanlah saya membicarakan unsur yang kedua dalam pemerintahan yang efektif. Yakni tentang birokrasi pemerintahan.

Setiap kali di dunia akademia kita berbicara tentang birokrasi, kita akan menyebut teori Max Weber. Dalam uraian Weber, birokrasi tumbuh sebagai konsekuensi dari lahirnya negara modern. Birokrasi adalah instrumen atau piranti dari otoritas yang legal-rasional. Instrumen ini menggantikan bentuk otoritas tradisional yang sepenuhnya bersumber pada kewibawaan tokoh yang kharismatis, atau wewenang yang diperoleh karena warisan, seperti di jaman raja-raja. Dengan sifatnya yang rasional dan dengan bekerja sesuai aturan, birokrasi diasumsikan akan bersikap obyektif atau tidak tergantung kepada keputusan pribadi, juga bersifat ajeg.

Birokrasi Indonesia tidak sepenuhnya mendukung asumsi Weber itu. Pertumbuhan birokrasi kita berjalan bersama dengan semakin besarnya peran Negara dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Hal ini tampak sekali sejak masa “demokrasi terpimpin”.

Sementara itu, pertumbuhan kuantitatif itu tidak dengan sendirinya disertai perbaikan kualitatif. Meningkatnya jumlah urusan pemerintah tak jarang tergantung pada pertimbangan politik, bukan berdasarkan desain yang sudah disusun dengan cermat. Bergantinya sebuah kebijakan umumnya akan melahirkan jawatan-jawatan baru. Sementara itu, pelaksanaan rekruitmen tidak ajeg, baik karena favoritisme berdasarkan ikatan politik, ikatan keluarga atau uang. Bentuk-bentuk KKN dalam rekrutmen birokrasi sudah lama terjadi. Aparatur Negara tidak sepenuhnya bekerja secara legal dan rasional. Kadang-kadang, seperti dikeluhkan masyarakat, aparatur itu bekerja untuk kepentingan-kepentingan yang partikular, bahkan pribadi, bukan kepentingan umum.

Dalam pada itu, ekspansi birokrasi baik dalam bentuk jumlah dan maupun dalam jenis – ekspansi yang tidak berdasarkan desain yang rasional -- telah mengakibatkan paling sedikit lima hal.

Pertama , terbentuknya sebuah “arsitektur” birokrasi yang rumit dan ruwet sehingga sangat menghambat pengendalian dan koordinasi.

Kedua , terjadinya ketimpangan antara kebutuhan hidup aparatur negara dan kemampuan belanja negara untuk memberikan remunerasi yang layak.

Ketiga , tumbuhnya dorongan di dalam birokrasi untuk menciptakan sendiri sumber-sumber kesejahteraan sendiri. Di sinilah awal terjadinya korupsi yang melembaga dalam tubuh birokrasi.

Keempat , tumbuhnya kecenderungan birokrasi untuk bertahan dari pengawasan dari pihak di luar dirinya.

Kelima , bertambah sukarnya keputusan pimpinan negara -- Presiden dan kabinetnya -- dilaksanakan oleh birokrasi pendukungnya.

Kelima hal itulah yang berkembang kurang-lebih semenjak tahun 1960-an, meskipun ada usaha-usaha kuat yang di sana-sini efektif untuk memperbaikinya.

Tekad pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono persis untuk mengatasi perkembangan yang kurang sehat dalam birokrasi kita. Dalam pemerintahan ini, bukan hanya de-birokratisasi saja yang hendak dijalankan, tetapi juga reformasi birokrasi yang terkait erat dengan perjuangan melawan korupsi.

Sejumlah ahli mengatakan bahwa demokrasi dapat berperan sebagai meta-institution atau institusi induk yang dapat menciptakan suasana kondusif bagi institusi-institusi lain, termasuk birokrasi, untuk berkembang secara efektif. Syaratnya adalah bahwa demokrasi itu dipraktekkan sesuai dengan kaidah-kaidah dasarnya, seperti transparansi, sportivitas, akuntabilitas dan sebagainya.

Birokrasi yang bersih dan efektif tidak datang dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil dari upaya sadar untuk membangunnya. Berdasarkan pengalaman negara lain, kita tahu upaya itu memakan waktu lama, dan harus dilaksanakan secara sistematis dan konsisten dengan disiplin tinggi. Oleh sebab itu program reformasi birokrasi harus menjadi program negara jangka panjang yang tidak boleh terputus - juga setelah masa bakti pemerintahan yang sekarang selesai.

Resiko terbesar di sini adalah apabila kontinuitas itu tidak terjadi. Kita juga harus merasa cemas bila birokrasi terkena politisasi, tercabik-cabik oleh faksi-faksi politik atau menjadi sandera dari kepentingan bisnis. Jika demikian halnya, seluruh bangsa akan jadi korban karena tidak ada lagi penyelenggara kepentingan umum atau kepentingan bersama. Negara hanya akan menjadi ajang perebutan kekuasaan dan kekayaan kelompok-kelompok kepentingan.

Sebab itu, sebuah blueprint reformasi birokrasi yang rasional dan realistis harus disusun beserta rencana aksinya yang jelas dan terprogram. Dan yang sangat penting adalah bahwa untuk mendukung pelaksanaannya harus ada kesepahaman dasar diantara para elite bangsa mengenai penanganan masalah-masalah yang terkait erat dengan reformasi birokrasi, yaitu masalah korupsi, money politics dan bagaimana mengatur agar kepentingan publik tidak tercampur aduk dengan kepentingan bisnis.

Tanpa kesepahaman dasar itu reformasi birokrasi tidak akan membawa perubahan mendasar kinerja birokrasi. Hanya penampilannya saja yang berubah.

Dengan kestabilan politik dan birokrasi yang efektif satu kerja lagi diperlukan. Yaitu adanya rencana kerja pemerintah untuk menghasilkan berbagai manfaat nyata yang diharapkan oleh rakyat. Rencana kerja itu tidak boleh hanya berupa daftar keinginan, tetapi harus punya sasaran yang jelas, sejauh mungkin dinyatakan dalam angka dengan langkah-langkah kongkrit untuk mencapainya disertai perhitungan biaya, jadwal waktunya dan siapa yang bertanggungjawab.

Semua langkah itu harus tersusun secara logis, konsisten, realistis dan dalam pelaksanaannya ada sistem baku untuk memonitor, mengevaluasi dan mengkoreksi.

Para hadirin yang terhormat,

Dalam demokrasi, tentulah rencana dasar itu tidak dapat dan tidak patut disusun secara sepihak. Setiap kebijakan Negara terbuka untuk dibahas dan diperdebatkan oleh masyarakat. Debat publik adalah cara terbaik untuk memantau kepentingan dan aspirasi orang banyak, dan juga untuk mengasah lebih tajam gagasan serta kebijakan yang hendak dipakai.

Namun untuk itu, sangat dibutuhkan mutu debat publik yang matang dan produktif. Kita harus mengakui, bahwa di Indonesia – juga di negara-negara lain -- debat publik yang rasional tidak selalu terjadi. Tidak jarang nalar terkalahkan oleh emosi dan prasangka. Argumentasi faktual terkalahkan oleh demagogi dan disinformasi. Penguasaan media oleh sekelompok kecil mengandung risiko, bahwa informasi yang berkembang tidak sepenuhnya mencerminkan kepentingan masyarakat.

Dalam proses pembangunan demokrasi yang jadi tekad pemerintah sekarang, yang juga merupakan panggilan hati setiap orang yang mencintai Indonesia, kita tidak boleh mundur dari yang sudah dicapai selama ini. Tetapi juga kita harus menyadari bahwa ini adalah perjuangan yang akan lama. Bahkan mungkin tidak akan pernah berhenti, sebab tidak akan pernah ada negeri dan masyarakat yang sempurna. Seperti dikatakan Bung Karno, mengutip Jawaharlal Nehru, “For a fighting nation, there is no journey’s end.”

Dengan perspektif itu, setiap langkah untuk membangun harapan kembali adalah sebuah langkah kecil tetapi yang sebenarnya tak ternilai. Marilah masing-masing kita berlomba, mulai hari ini memberikan yang terbaik bagi bangsa ini, mengkoreksi apa-apa yang belum pas, demi anak cucu kita.

Terimakasih